Jika mengingat luka di masa lalu tentang bagaimana militer tentu akan merefleksikan fikiran kita tentang bagaimana pemberontakan permberontakan yang memunculkan kofrontasi militer. Mulai dari DI/TII hingga G30SPKI. Dan seceara kebetulan akhir-akhir ini fikiran tersebut terbangun kembali di fikiran masyarakat dikarenakan 'pemain' di elite perpolitikan sedang mencari kambing hitamnya masyarakat dengan melemparkan isyu dikotomi sipil dan militer. Dengan berbekal kepedulian untuk melihat apa itu sipil dan militer tentu saja kita bisa mengetahui siapa, apa dan bagaimana kadar tingkat emosi dan ambisi tokoh-tokoh itu terhadap masalah kepemimpinan sipil dan kepemimpinan militer. Lalu pertanyaannya adalah.
Apa sih sebenarnya 'Sipil' dan mahluk apa gerangan itu 'Militer'?
Kalau orang bilang militer lebih siap memimpin dibanding sipil, point-nyasebenarnya menyangkut tema organisasional Militer di manapun, atau TNI di indonesia, tentu merupakan suatu bangunan organisasi dengan mekanisme yang solid. Setiap gagasan, aspirasi dan visi yang lahir didalamnya, sudah terkontrol oleh realitas organisasionalnya serta dibatasi oleh batas-batas mekanismenya. Sehingga militer lebih hemat enerji,lebih solid langkahnya, lebih akurat orientasinya, terlepas apakah ia benar atau salah, baik atau buruk.
Sebaliknya sipil adalah masyarakat bebas. Tak ada baris berbaris, tak ada stratifikasi ketat kecuali bersifat kultural, tak ada pagar-pagar ketat. Ia lebih demokratis, tapi dengan begitu juga menjadi kurang efektif dan efisien. Di dalam mekanisme sipil, pengorganisasian gagasan saja sangat sukar dicapai, antara lain justru karena homogenitas pemikiran biasanya di indikasikan sebagai bertentangan dengan tradisi demokrasi. Di satu RT saja bisa ada lima golongan. Disatu lingkarankelompok diskusi yang anggotanya hanya dua puluh orang saja faksi-faksinya begitu beragam.
Dalam tubuh militer sebenarnya juga bukan tidak terjadi perbedaan, pertentangan atau persaingan. Tetapi ia tetap berujung pada pilihan efisiensi akhir untuk menjadi suatu langkah konkret. Sementara pada masyarakat sipil, perbedaan, pertentangan dan persaingan akan dimerdekakan untuk berkepanjangan.
Penulis tidak mengatakan bahwa dengan demikian penulis berpendapat dan memilih militer untuk memimpin bangsa Indonesia. Karena sisi masalahnya tidak hanya itu, juga karena sifat relativ dan dinamisnya hubungan antara sipil-militer sangatlah luas. Dan itulah sebabnya penulis mengajak anda berpikir lebih 'santai' namun tetap tidak mengenyampingkan persatuan. Mengapa? Coba ditelaah baik baik, mungkin saja dan sangat hampir mungkin terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara sipil dan militer dari banyak segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi sinergitas antara sipil dan militer tentu sangat dibutuhkan dan bukannya malah pecah dan saling melempar kesalahan.
Sumber :
- Nadjib, Emha Ainun. 1999. Ziarah politik, ziarah kebangsaan. Yogyakarta : Zaituna Â
*Penulis masih banyak membutuhkan sumber untuk menunjang tulisan penulis, dan juga saran yang bersifat konstruktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H