Mohon tunggu...
Fani Fauziah Khairunnisa
Fani Fauziah Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Biaya Tinggi Korupsi: Bagaimana Korupsi Menghambat Pertumbuhan Ekonomi di Negara Berkembang? (Indonesia dan Nigeria)

21 Desember 2024   16:00 Diperbarui: 21 Desember 2024   15:54 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Korupsi, ya, kata ini sering kali menjadi bahan perbincangan hangan di berbagai negara karena merupakan salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Dengan merajalelanya praktik korupsi, biaya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan sering kali dialokasikan untuk kepentingan pribadi segelintir orang. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas layanan publik dan menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini, korupsi tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga merusak tatanan sosial dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

            Korupsi telah menjadi momok menakutkan bagi pembangunan sebuah negara. Betapa tidak, di tengah upaya meningkatkan perekonomian dan menciptakan kesejahteraan, korupsi justru menjadi penghalangan di berbagai sektor. Dampak korupsi terhadap perekonomian tidak bisa dianggap enteng. Korupsi memiliki cara unik untuk menghancurkan ekonomi dari dalam. Ia merusak institusi, menghambat investasi, dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin parah. Ketika pejabat pemerintah atau elite bisnis memprioritaskan keuntungan pribadi di atas kepentingan publik, dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan layanan kesehatan, atau mendanai pendidikan malah dialihkan untuk kepentingan sempit. Akibatnya, masyarakat yang paling rentanlah yang menanggung beban terbesar dari korupsi ini.

            Indonesia, salah satu negara berkembang yang telah lama berjuang melawan korupsi, menawarkan contoh yang menarik. Meskipun telah ada upaya untuk memberantas korupsi melalui berbagai reformasi, praktik korupsi masih merajalela. Kasus-kasus besar seperti skandal e-KTP menunjukkan betapa dalamnya masalah ini. Korupsi di sektor publik mengalihkan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik ke kantong pribadi pejabat. Hal ini tidak hanya mengurangi kualitas barang dan jasa yang disediakan untuk masyarakat, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak stabil bagi investasi. Investor asing cenderung ragu untuk menanamkan modal mereka di negara dengan tingkat korupsi tinggi, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi.

            Sementara itu, Nigeria menghadapi tantangan serupa, tetapi dalam konteks yang berbeda. Sebagai salah satu negara penghasil minyak terbesar di Afrika, Nigeria seharusnya memiliki potensi ekonomi yang besar. Namun, korupsi dalam sektor minyak telah menyebabkan kerugian miliaran dolar. Praktik suap dan penggelapan dana publik telah mengakibatkan proyek-proyek infrastruktur terhambat dan pelayanan publik yang buruk. Masyarakat Nigeria sering kali merasakan dampak langsung dari korupsi ini melalui meningkatnya kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Korupsi tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperburuk ketidakstabilan politik, menciptakan lingkaran setan di mana ketidakpuasan masyarakat dapat memicu konflik.

            Kedua negara ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang merugikan terhadap perekonomian. Di Indonesia, penurunan pendapatan dari pajak akibat penggelapan dan penyalahgunaan wewenang memperburuk defisit anggaran, sementara di Nigeria, ketergantungan pada pendapatan minyak yang dikorupsi membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi harga minyak global. Dalam kedua kasus tersebut, korupsi menciptakan inefisiensi dalam alokasi sumber daya dan mengurangi produktivitas.

            Lebih jauh lagi, korupsi juga menambah beban dalam transaksi ekonomi. Biaya tambahan akibat suap dan pengaturan ilegal membuat bisnis menjadi lebih mahal dan tidak efisien. Hal ini berdampak negatif pada daya saing industri lokal dan mengurangi kemampuan mereka untuk berinovasi. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menciptakan jebakan kemiskinan di mana masyarakat tidak dapat keluar dari siklus kemiskinan karena kurangnya akses terhadap layanan dasar yang berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun