Mohon tunggu...
Fania Ayu Harsanti
Fania Ayu Harsanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi membaca cerita fiksi romantis

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Culture Shock Mahasiswa Asal Jogja Merantau ke Surabaya: Catcalling yang Meresahkan Kami

25 Juni 2024   07:00 Diperbarui: 25 Juni 2024   07:06 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surabaya. Sumber ilustrasi: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Sebagai mahasiswa yang berasal dari Jogja dan merantau ke kota besar seperti Kota Surabaya tidak mudah dalam beradaptasi dengan lingkungan. Kota kecil seperti Yogyakarta sangat berbeda dengan kota besar seperti Surabaya.

Jogja yang identik dengan warga yang memiliki sifat ramah kepada semua orang baik itu yang dikenal maupun yang tak dikenal. Kota kecil dengan akses kendaraan umum yang cukup memadai seperti terdapat bus TransJogjakarta, KRL, dan lain sebagainya yang memudahkan warga local maupun pendatang bepergian area Yogyakarta.

Sedangkan, Surabaya yang disebut kota besar sangat berbanding terbalik dengan Jogja dalam akses transportasi umum seperti bus kota. Mulai dari akses trotoar yang tidak ramah bagi pejalan kaki, jarak halte yang berjauhan, bus kota yang sangat lama, dan masih banyak lagi permasalahan dalam transportasi umum.

Sebagai mahasiswa yang lahir dan besar di Jogja, hal yang paling lumrah dalam bersosialisasi adalah menyapa entah siapapun saat melewati warga. Sifat ini sudah sudah sangat umum dan menunjukkan bukti sopan santun kepada orang yang kami lewati seperti mengucapkan "Monggo Pak/Bu/Mbak/Mas" atau "Ndherek langkung Mbah/Pak/Bu".

Namun, yang mau saya tonjolkan perbedaan dalam bersosialisasi ini adalah banyaknya kejadian catcalling yang saya alami sebagai mahasiswa selama merantau ke Surabaya. Pelaku dari catcalling sendiri biasanya mas-mas atau bapak-bapak yang merupakan warga asli atau yang sering bapak-bapak tukang yang mengerjakan bangunan.

Catcalling sangat meresahkan bagi saya terutama saat saya ingin menyapa saat melewati warga. Catcalling tidak memandang cara berpakaian baik itu pakaian terbuka maupun pakaian sopan atau tertutup tidak menjamin dapat atau tidak tindakan tersebut.

Tindakan tidak senonoh ini biasanya dijumpai di daerah perkampungan bahkan yang paling parah di area kampus yang seharusnya lingkungan aman bagi mahasiswa menjadi tidak aman atau was-was. Di kampus, catcalling biasa dilakukan oleh para tukang yang sedang bekerja.

Tindakan catcalling termasuk dalam kategori pelecehan seksual yang paling sering umum di lingkungan masyarakat. Saat melakukan tindakan tersebut, biasanya orang-orang mengucapkan "kiw kiw", "cantik mau kemana?", dan ucapan yang sangat menjijikan bagi saya dan lainnya.

Karena hal itulah, saya menjadi trauma dalam menyapa orang-orang saat lewat walaupun ada warga yang ramah tetapi tetap saja saya harus waspada terhadap itu. Tindakan catcalling tidak seharusnya diwajarkan dan harus mendapat tindakan tegas bagi orang-orang yang melakukannya. Perlu diingat juga bahwa catcalling tidak memandang jenis kelamin baik lakip-laki maupun perempuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun