Hong Jue terduduk. Dia tidak menyukai musim gugur, karena itu akan mengingatkan dirinya pada seseorang yang sangat ia cintai.
Siang hari yang cerah, di bawah rindangnya pohon dengan kedua mata terpejam,Ling Wen.
Seseorang yang memotivasi dirinya untuk selalu berbuat baik kepada setiap orang dan mempercayai diri sendiri. Namun, seseorang yang sangat ia cintai itu telah tiada.
Hong Jue menghela nafasnya pelan, memori di kepalanya mengulas kejadian mengerikan saat dirinya melihat orang terkasihnya tergeletak bersimbah darah di sebuah dolmen atau batu yang biasa digunakan untuk meletakan sesaji sebagai persembahan kepada dewa.
Hong Jue menangis dengan keras pada saat itu, bersimpuh di depan mayat Ling Wen seraya mencengkram jubah putih yang dikenakan oleh wanita itu. Beberapa kali Hong Jue berteriak memanggil nama Ling Wen, mengharapkan sisa-sisa kesadaran milik wanita itu. Namun, ia tidak mendapatkan respon apapun.
Wanitanya telah pergi meninggalkan dirinya di musim gugur.
Keesokan harinya, dia mencoba mengikhlaskan kepergian wanita itu, namun sungguh berat rasanya melihat orang yang kita sayangi terbaring kaku di sebuah peti mati. Hong Jue menundukkan kepalanya dan membenamkannya jauh ke dalam dadanya, tenggorokannya dalam kesakitan yang menyempit, tidak dapat berbicara. Dia mengusap wajah basah nya dengan kasar, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Tangan kanannya terulur untuk menggenggam tangan dingin milik Ling Wen, dia melingkarkan seutas benang merah pada jari kelingking milik wanita itu. Seolah-olah dia bergantung pada jerami terakhir hidupnya, dia memohon,
“Aku harap kita dapat bertemu kembali.”
Setelah itu dia mengecup punggung tangan dingin milik wanita itu, dan kembali meneteskan air matanya.
Hong Jue percaya bahwa benang merah yang melingkari jari kelingking Ling Wen akan membawa wanita itu bertemu dengan dirinya lagi di masa depan dan Hong Jue berharap hari itu akan cepat datang.