Pada 25 Maret 2008 lalu pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengeluarkan undang-undang baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang disingkat UU ITE. Dengan adanya Undang – undang ini disambut positif berbagai kalangan walaupun tidak sedikit juga yang menentangnya.
Pemerintah Indonesia sadar akan adanya bahaya jika penggunaan internet khusunya media dosial perlu adanya pengawasan dan regulasi yang mengikat hal tersebut. Oleh karena ersebut, melahirkan Undang – Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2008. UU ITE bermula dengan dilakukannya penelitian untuk menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) oleh Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI di tahun 1999.
UU ITE membawa asas-asas hukum yang baru di Indonesia, seperti asas kebebasan memilih ataupun engak dalam menggunakannya. Materi UU ITE pun juga mengenalkan cakupan hukum yang cukup baru, seperti mengakui dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah, mengakui tanda tangan elektronik, mengatur hak kekayaan intelektual di dunia digital, dan lain sebagainya.
Bagi yang kontra, UU itu dilihat sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreativitas seseorang di dunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dilihat sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain.
UU ITE diharapkan oleh pemerintah dapat meregulasi tiga aspek dalam dunia digital dalam mencegah masalah dikemudian hari. 3 aspek etrsebut diantaranya ;
- UU ITE mengatur perkara e- commerce dan marketplace.
- UU ITE juga mengatur perkara akses ilegal seperti hacking, penyadapan, dan perusakan sistem.
- UU ITE yang mengatur tentang tindak pidana teknologi informasi. Hal ini mencakup konten-konten yang bersifat ilegal, ucapan berbasis SARA, kebencian, penipuan, hingga pencemaran nama baik.
Lahirnya undang -undang Informasi dan transaksi elektronik menjadi bukti bahwa Pemerintah Indonesia sudah siap menjadi bagian dari system Global dalam semua aspek kehidupan terutama dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi dalam proses pertukaran informasi dan transaksi ekonomi. Sebenarnya Undang-Undang ITE ini terlambat disahkan, padahal kasus-kasus penyalahgunaan internet sudah sering terjadi hingga pada taraf yang sangat mengkhawatirkan masyarakat dan bangsa Indonesia. Serta belum semua masyarakat Indonesia memahami isinya.
Menurut mantan Menteri kominfo Mohammad Nuh saat itu, sedikitnya ada tiga hal mendasar penyalahgunaan internet yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa secara keseluruhan, yakni pornografi, kekerasan, dan informasi yang mengandung hasutan SARA.Â
Kejahatan internet itu menjelaskan bahwa teknologi internet mengalami pergeseran fungsi utamanya sebagai alat penyebarluasan informasi dari segi positifnya ke segi negatif. Internet telah beralih fungsi menjadi media massa elektronik yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan manusia dalam berbagai aspek dari yang positif hingga negatif. Internet masa kini juga digunakan sebagai alat propaganda politik untuk kepentingan elite-elite politik tertentu atas nama hak asasi, kebebasan, dan demokrasi.
Sebenarnya dulu upaya untuk mengatasi kejahatan internet ini sudah disepakati di Hongaria pada 23 November 2001. Pada saat itu ada lebih kurang 30 negara menandatangani convention on cyber crime sebagai wujud kerja sama multilateral untuk menanggulangi aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya. Tetapi, upaya penanggulangan kejahatan internet ini menemukan masalah dalam hal yurisdiksi.
Yurisdiksi sendiri merupakan kekuasaan atau kemampuan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan.
Darel Menthe menyatakan yurisdiksi di ruang maya membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum internasional. Pendapat ini dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional terkait dengan kegiatan dalam ruang maya oleh setiap negara maka akan mudah bagi semua negara untuk mengadakan kerja sama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana untuk menanggulangi kejahatan internet.