Mohon tunggu...
Fanesa Aulia
Fanesa Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Andalas

Penulis adalah seorang mahasiswi hukum di Universitas Andalas yang memiliki minat mendalam pada isu-isu hukum. Sebagai seorang akademisi muda, penulis berkomitmen untuk berkontribusi dalam membangun kesadaran hukum dan meningkatkan transparansi serta efisiensi hukum di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kementerian Baru dalam Pemerintahan Indonesia: Tantangan Hukum dan Efisiensi Birokrasi

3 Agustus 2024   14:43 Diperbarui: 3 Agustus 2024   15:25 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Wacana penambahan jumlah kementerian dalam pemerintahan Indonesia yang baru menarik perhatian banyak pihak akhir-akhir ini. Namun perlu ditinjau kembali apakah langkah ini benar-benar akan membawa kemajuan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau  justru menjadi alat bagi kepentingan politisi semata. Pengaturan mengenai struktur pemerintahan dan kementerian telah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kementerian merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang tertentu sesuai dengan amanat undang-undang. Dalam konteks ini, pembentukan kementerian baru haruslah didasarkan pada kebutuhan nyata dan efisiensi organisasi pemerintahan sesuai dengan mandat konstitusi.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara turut menegaskan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945 terkait pembentukan kementerian. Undang-undang tersebut menekankan bahwa pembentukan kementerian haruslah berlandaskan pada kebutuhan nyata, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan politik. Oleh karena itu, penambahan jumlah kementerian seharusnya merupakan langkah yang diambil berdasarkan analisis yang mendalam terhadap kebutuhan masyarakat dan efisiensi pemerintahan. Dengan demikian, penambahan jumlah kementerian yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945 dapat dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Langkah-langkah reformasi birokrasi dan pemerintahan haruslah selaras dengan semangat konstitusi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien, transparan, dan bertanggung jawab kepada rakyat.

Data empiris menunjukkan bahwa pembentukan kementerian baru memerlukan anggaran yang besar. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, biaya operasional kementerian dan lembaga negara merupakan salah satu komponen yang signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2023, alokasi untuk belanja pegawai dan operasional kementerian mencapai lebih dari 30% dari total belanja negara. Penambahan kementerian akan meningkatkan beban ini, yang pada gilirannya dapat mengurangi alokasi anggaran untuk sektor-sektor kritis seperti pendidikan dan kesehatan.

Selain data empiris yang menunjukkan bahwa pembentukan kementerian baru memerlukan anggaran yang besar, hal ini juga ditegaskan oleh dasar hukum yang mengatur tentang pengelolaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjadi landasan utama dalam penetapan dan penggunaan anggaran negara. Dalam undang-undang ini, dijelaskan bahwa setiap penggunaan anggaran negara harus dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan nasional. Penambahan kementerian akan mengakibatkan peningkatan belanja pegawai dan operasional kementerian yang harus dianggarkan dalam APBN. Hal ini bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Pasal 23 ayat (1) dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa penggunaan anggaran negara harus memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.

Dengan peningkatan belanja pegawai dan operasional kementerian akibat penambahan jumlah kementerian, akan terjadi peningkatan beban anggaran yang dapat mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor kritis seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal, pembangunan sektor-sektor tersebut merupakan prioritas utama dalam pembangunan nasional sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Oleh karena itu, penambahan jumlah kementerian yang tidak didasari oleh kebutuhan nyata dan pertimbangan efisiensi anggaran dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang keuangan negara.

Selain itu, penambahan jumlah kementerian sering kali menambah kompleksitas birokrasi. Berdasarkan laporan dari Bank Dunia, tingkat efisiensi birokrasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Dengan menambah jumlah kementerian, koordinasi antar lembaga menjadi lebih rumit dan sering kali terjadi tumpang tindih kewenangan. Hal ini dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat.

Analisis hukum juga menunjukkan bahwa penambahan kementerian harus melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kerangka hukum yang ada. Pembentukan kementerian baru memerlukan perubahan atau penyesuaian terhadap struktur pemerintahan yang sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini memerlukan proses legislasi yang tidak sederhana dan membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tanpa persetujuan legislatif, pembentukan kementerian baru tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan rentan terhadap gugatan hukum.

Lebih jauh lagi, dari perspektif politik, penambahan kementerian dapat digunakan sebagai alat untuk mengakomodasi kepentingan politisi. Misalnya, penambahan kementerian dapat dijadikan sebagai bargaining chip dalam negosiasi politik antar partai. Hal ini dapat merusak integritas pemerintahan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip good governance, di mana kepentingan publik harus diutamakan di atas kepentingan politik jangka pendek.

Secara keseluruhan, penambahan jumlah kementerian bukanlah solusi yang optimal untuk memajukan NKRI. Berdasarkan fakta dan data yang ada, penambahan kementerian cenderung menambah beban anggaran, memperumit birokrasi, dan lebih banyak diwarnai oleh kepentingan politik daripada kebutuhan nyata. Pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan efisiensi dan efektivitas kementerian yang sudah ada melalui reformasi birokrasi yang menyeluruh. Dengan demikian, pemerintahan yang efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dapat tercipta tanpa harus menambah jumlah kementerian yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun