Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Generasi Penerus Perjuangan, Masih Tersisa kah?

3 April 2016   15:07 Diperbarui: 3 April 2016   15:15 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di zaman kini, segala aspek dalam kehidupan manusia telah dipermudah. Mulai dari perihal yang remeh, sampai hal penting sekalipun. Gaya hidup teknologi telah diadopsi oleh hampir semua orang. Tak terkecuali, saya beserta generasi saya, "Generasi Penerus Perjuangan". Saya sebenarnya ragu terhadap nama generasi yang barusan saya sebutkan. Masihkah julukan itu relevan dipakai untuk generasi saya?

Memang, generasi saya telah mengadopsi gaya hidup serba teknologi dalam keseharian. Termasuk saya, remaja umur 13 tahun yang duduk di bangku kelas 7 SMPI Al Azhar 21 Solo Baru. Keseharian saya tidak pernah luput dari yang namanya teknologi. Toh, sekarang saya juga lagi pakai teknologi untuk nulis di Kompasiana. Tapi, disamping saya sekarang ini juga ada adik sepupu seumuran saya yang tengah asyik bermain game di ponsel pintarnya.

Peristiwa di atas merupakan perbandingan mana yang menggunakan teknologi, dan mana yang diperbudak teknologi. Mana yang mendikte diri sendiri, dan mana yang didikte teknologi. Julukan "Generasi Penerus Perjuangan" terkesan menilai pada satu sisi saja. Julukan yang tepat untuk generasi saya sekarang adalah "Generasi Budak". Mungkin teman-teman saya yang membaca ini sekarang merasa tersinggung dengan julukan tadi. Tapi bagaimana lagi, kalian lebih mirip budak gratisan daripada penerus perjuangan.

Saat saya diundang main ke rumah oleh beberapa teman, saya langsung tolak tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak, palingan maksimal cuma ngumpul di satu ruangan sambil main game online favorit mereka. Sebuah ruangan sepi, tanpa obrolan apalagi canda tawa. Hanya suara game diselingi sorak kecil saat mereka menang, kuburan di ujung jalan saja lebih hidup daripada satu ruangan itu. Setidaknya di kuburan ada pocong, kuntilanak, dan tuyul berdiskusi cara baru untuk menakut-nakuti.

Tidak terbatas pada game saja, terkadang ruangan itu dipenuhi suara bermacam-macam. Siapa lagi biang kerok nya, kalau bukan Youtube. Website untuk nonton video tanpa batas waktu dan biaya. Masing-masing orang memainkan video pilihannya dan sesekali menunjukkan pada temannya. Saat teman saya bercerita kegiatan "main" pada saya esok harinya, saya bersyukur dapat memprediksi hal tersebut. Setidaknya saya tidak ikut "olahraga jari" dan "puasa mulut" yang mereka selenggarakan. Memang miris menyaksikan kenyataan pahit generasi terkini.

Tapi saya yakin, di luar sana masih ada sisa-sisa dari generasi penerus perjuangan (yang saya yakini, saya salah satu diantarnya). Mereka yang rela mengorbankan kesenangan pribadi untuk menebus sebuah janji besar, Indonesia Merdeka. "Lho, kok merdeka? kita kan sudah sudah merdeka 17 Agustus silam!", mungkin itu apa yang terlintas di benak anda sekarang.Ya, indonesia sudah merdeka, tapi apakah rakyat indonesia sudah merdeka? tulis itu dengan tebal.

[caption caption="www.enterberita.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun