Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Gramedia, Lari ke Mana Kursi-kursimu?

12 Desember 2016   19:16 Diperbarui: 12 Desember 2016   20:30 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ; http://wk-travel.co.id/6-kegiatan-libur-akhir-pekan-yang-berkualitas/

12 Desember, 2016. Pukul 10.09. Datanglah saya ke Gramedia Solo untuk membeli buku. Perasaan janggal sudah mengembus saat mulai memasuki toko buku yang sudah tenar itu. Tapi entah apa, hanya perasaan kiranya. Lalu, mengembaralah saya melewati lorong-lorong yang berisi ribuan buku. Di pengembaraan itu, saya akhirnya menemukan 3 buah buku yang menarik bagi saya. Tak perlulah saya sebutkan judulnya.

Pada saat itulah, saya sadar apa yang kurang pada hari ini: kursi! Ke mana kursi-kursi di Gramedia? Saya mencari kursi dari ujung depan sampai ke belakang pada lantai dua gedung tersebut (yang menjadi tempat toko buku). Tak kelihatan sedikit pun. Bingunglah saya, di mana kursi-kursi yang legendaris itu, di mana kursi-kursi yang menjadi tempat peristirahatan kami usai berjam-jam berdiri mencari buku? Ke mana larinya kursi-kursi yang dahulu tersebar menghiasi seantero Gramedia?

Ya, waktu itu saya tak melihat satu pun pun kursi di Gramedia, kecuali kursi kasir. Kursi, walaupun sepele, saya kira inilah yang menjadi ciri khas Gramedia. Gramedia selalu saya potretkan sebagai sumber literasi yang demokratis. Pengunjung diperbolehkan untuk membuka buku yang masih tersampul (dengan izin dahulu ke pegawai tentunya), dan bisa duduk di kursi yang telah disediakan sambil membaca. Malah sekarang, kursi-kursi tersebar luas di lantai satu, yang bukan merupakan toko buku.

Kursi-kursi sepele itulah yang kami pandang sebagai oase relaksasi di tengah gurun kelelahan. Media kami untuk mengistirahatkan kaki dan sejenak berelaksasi menikmati literasi. Akhirnya tanpa kursi-kursi tersebut, banyak pengunjung (termasuk saya) yang harus membaca sambil berdiri dengan segala kelelahannya. Bahkan, tadi ada seorang ibu-ibu yang duduk bersila di tengah lorong buku bersama 3 anaknya. Otomatis, pengunjung lain tidak bisa lewat di situ dengan bebas. Dan rasanya tidak bisa kita salahkan ibu tersebut, lha wong memang tidak ada infrastruktur yang memadai. 

Ada juga seorang kakek tua, yang juga harus membaca sambil berdiri karena tidak tersedianya kursi. Tidakkah pihak Gramedia sadar bahwa pengunjung mereka itu bersifat heterogen, termasuk dalam usia? Para pelajar dan remaja seperti saya mungkin masih bisa mengatasi kelelahan tersebut, tapi bisakah dibayangkan kelelahan yang diderita oleh kaum-kaum manula, dan seorang ibu yang juga sedang menggendong buah hatinya?

Sumber : https://perempuannya.wordpress.com/2010/02/09/gramedia-dan-teman-baruku-veteran-kutu-buku-yang-membuat-kami-malu/
Sumber : https://perempuannya.wordpress.com/2010/02/09/gramedia-dan-teman-baruku-veteran-kutu-buku-yang-membuat-kami-malu/
Membaca memerlukan ketenangan dan kenyamanan, itu fakta. Kita tidak akan bisa menyelesaikan membaca Max Havelaar sambil berlari dari Solo sampai Semarang. Seperti halnya dengan di atas, saya tidak bisa memilih buku dengan tenang karena kaki ini sudah dilanda oleh pegal habis-habisan. Ternyata, kursi-kursi yang dahulu tersebar itu sekarang dipindah agar terdapat ruang yang lebih luas untuk display buku. 

Saya kira, kursi-kursi itu tidak bisa dengan mudahnya disingkirkan. Kursi adalah benda yang kita gunakan untuk sejenak beristirahat setelah mencari buku. Juga, menjadi tempat untuk membaca-baca buku agar dapat mengetahui isi dari buku tersebut. Don't judge a book by it's cover, rasanya cukup dijadikan  bahan argumen. 

Mari bermain nalar. pengunjung butuh kursi. Pihak toko tidak menyediakan. Pihak toko juga tidak mau apabila pengunjung hanya membaca buku di kursi, tanpa membeli apa pun. Karena jika seperti itu, tempat itu lebih relevan dipanggil perpustakaan. Ini adalah sesuatu yang lumrah, apalagi jika dilihat dari sudut pandang bisnis dengan perbandingan untung-rugi. Di sisi lain, pengunjung perlu mengetahui buku-buku apa yang cocok baginya. Oleh karena itu, pengunjung butuh kursi untuk duduk dan menyortir buku-buku yang telah mereka pilih. 

Kursi juga memberi rasa nyaman, yang menyebabkan mood menjadi bagus, dan akhirnya, membeli buku. Jadi, jangan khawatir untuk kembali menyediakan kursi. Jangan khawatir dengan keberadaan kursi, omzet akan menurun. Malahan kursi adalah bentuk service atau pelayanan pada pengunjung. Pelayanan yang bagus memengaruhi keputusan pengunjung untuk membeli buku.

Begitulah pengalaman saya saat berkunjung ke Gramedia Solo hari ini. Yang saya harapkan dari pihak Gramedia adalah untuk kembali menyediakan fasilitas sederhana yang entah sudah berapa kali saya dengung-dengungkan di atas. Ya, kursi. Saya harapkan Gramedia tidak kehilangan ciri khasnya yang demokratis. Kedemokratisan itulah yang menjadi alasan bagi kami untuk betah mengunjungi toko buku ini.

Sekian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun