Oleh: Fandy Hutari
Dimuat Kompas Jawa Barat, 19 Desember 2009
* Ditulis untuk memperingati Hari Ibu tahun 2009 lalu
Perempuan selalu menjadi inspirasi zamannya, semisal kisah Jeanne d'Arc pada abad ke-15 di Perancis. Ia berhasil menjadi inspirasi semangat kebangsaan Perancis saat negara itu diduduki Inggris. Setelah dianggap menyebar ilmu sihir dan dibakar hidup-hidup oleh Inggris, ia lalu dinobatkan sebagai orang suci.
Saya jadi teringat sosok perempuan Sunda yang tampaknya luput dari perhatian khazanah sejarah Indonesia. Padahal, tokoh ini banyak mengguratkan inspirasinya, jauh sebelum Kartini (1879) dan Dewi Sartika (1884) lahir. Ia adalah Raden Ayu Lasminingrat. Penulis Deddy Effendie menyebutnya sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia. Ada dua bidang yang menjadi perhatiannya, yaitu dunia kepenulisan/kepengarangan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ia sangat peduli nasib kaum hawa, khususnya perempuan Sunda. Mengulas ketokohan Lasminingrat, rasanya penting menjelang peringatan Hari Ibu, yang jatuh pada 22 Desember nanti. Kepengarangan Lasminingrat adalah anak Raden Haji Moehammad Moesa, seorang perintis kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama, dan tokoh Sunda abad ke-19. Ia lahir di Garut pada 1843. Lasminingrat kecil harus berpisah dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk belajar membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa Belanda. Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya. Pada 1871 ia kembali dan menetap di Pendopo Kabupaten Garut. Di tahun itu pula, ia menulis beberapa buku berbahasa Sunda yang ditujukan untuk anak-anak sekolah. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ungkapan ini serasa pas untuk menggambarkan bakat menulis Lasminingrat yang menurun dari ayahnya. Adik Lasminingrat, yaitu Kartawinata, juga dikenal sebagai seorang penulis Sunda. Buku-buku Lasminingrat merupakan buku untuk anak-anak sekolah, baik karangannya sendiri maupun terjemahan. Pada 1875 ia menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin. Setelah karya tersebut, pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian, lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912, dalam aksara Jawa dan Latin. Sungguh mencengangkan jika kita berkaca pada banyaknya eksemplar cetak mengingat pada masa kini saja, sebagian besar penerbit buku hanya mencetak buku sebanyak 1.500 sampai 3.000 eksemplar untuk terbitan pertama. Tidak dibayangkan, bagaimana bisa karyanya laku keras, sedangkan pada masa itu mungkin masyarakat pribumi masih banyak yang buta huruf. Yang lebih mencengangkan lagi, karya-karya Lasminingrat mengalami cetak ulang berkali-kali.Sungguh luar biasa. Terobosan baru yang dicapai Lasminingrat di dunia kepengarangan adalah penggunaan kata ganti orang pertama. Mikihiro Moriyama dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 mencatat bahwa ia merupakan penulis pribumi pertama menggunakan kata ganti orang pertama dalam tulisan berbahasa Sunda. Lasminingrat, tulis Mikihiro, memakai kata kula yang merujuk kepada saya dalam kata pengantar bukunya Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng yang terbit pada 1876. Buku ini merupakan kumpulan berbagai macam karya terjemahan. Dunia pendidikan Setelah menjadi istri Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, Lasminingrat menghentikan aktivitas kepengarangannya. Ia lalu berkonsentrasi di bidang pendidikan bagi kaum perempuan Sunda (Moriyama, 2005: 243). Sejak kecil Lasminingrat bercita-cita memajukan kaum hawa melalui pendidikan. Obsesinya ini terwujud pada 1907. Ketika itu ia mendirikan sekolah Keutamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kabupaten Garut. Di sekolah ini Lasminingrat memakai kurikulum. Tidak disangka, pada 1911 sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun di kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang. Di sekolah Keutamaan Istri, murid-muridnya diajari cara memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan segala hal yang ada hubungannya dengan kehidupan berumah tangga. Tujuannya, supaya kelak saat dewasa dan menikah, mereka bisa membahagiakan suami dan anak, juga mengerjakan sendiri apa saja yang berhubungan dengan rumah tangga. Lasminingrat dikenal sebagai sosok yang peduli terhadap orang lain. Dalam catatan sejarah, ia merupakan salah seorang tokoh yang mendukung Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan pada 1904. Ini berawal saat Dewi Sartika kesulitan dalam meminta izin kepada Bupati Bandung RAA Martanagara untuk mendirikan sekolah. Bupati selalu menolak maksud Dewi Sartika tersebut. Bukan tanpa alasan Bupati Bandung menolak keinginan Dewi Sartika. Menurut sejarawan Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis, dalam bukunya Kehidupan Kaum Menak Priangan, ayah Dewi Sartika diasingkan ke Ternate lantaran dituduh terlibat percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung dan pejabat Belanda di Bandung, pada usianya yang baru sembilan tahun. Karena peristiwa itu, Bupati Bandung menganggap Dewi Sartika adalah anak musuh politiknya. Maka dari itu, permintaannya selalu ditolak. Melihat hal ini, Lasminingrat turun tangan dengan bantuan suaminya. Ia meminta suaminya memberikan saran kepada Bupati Bandung agar maksud Dewi Sartika yang akan mendirikan sekolah terkabulkan. Setelah berbicara dengan RAA Wiratanudatar VIII, Bupati Bandung memberi izin kepada Dewi Sartika. Pada Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya mendirikan Sakola Istri di Bandung. Lasminingrat dan Dewi Sartika memang sering kali berhubungan layaknya seorang ibu kepada anak. Mereka terutama saling memberikan dukungan perjuangan untuk memajukan kaum perempuan. Lasminingrat dikarunia usia yang sangat panjang. Ia meninggal dunia pada 10 April 1948 dalam usia 105 tahun setelah sebelumnya dalam perang kemerdekaan ia mengungsi ke Waaspojok pada 1946. Ia sempat tinggal di sana beberapa lama. Hingga akhirnya ia sakit dan mengembuskan napas terakhir di tanah kelahirannya, Garut. Kalau RA Kartini dijuluki sebagai pahlawan emansipasi dan Dewi Sartika sebagai tokoh pendidikan, tidak berlebihan jika RA Lasminingrat dijuluki sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia karena pikiran-pikiran kritis dan modernnya telah melampaui zamannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi inspirasi di Hari Ibu. Selamat Hari Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H