Mohon tunggu...
Fandy Hutari
Fandy Hutari Mohon Tunggu... Wartawan dan penulis lepas -

Fandy Hutari adalah penulis, editor, wartawan. Pernah men jadi editor, wartawan, ghostwriter. Artikel dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Buku yang sudah dipublikasikan Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang 1942-1945 (2009, 2015), Ingatan Dodol; Sebuah Catatan Konyol (2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2011), Manusia dalam Gelas Plastik (2012). Komunikasi di Facebook: Fandy Hutari, Twitter @fandyhutari, Blog: http://fandyhutari.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mula Harahap yang (Sedikit) Saya Kenal

27 November 2010   09:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:15 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pikir, kalau nanti saya mati, saya tak mau membuat orang merasa terbeban dan repot. Saya mau dikremasi saja dan—whush—abu jenazah saya silakan dibuang. Kalau para kekasih hati saya ingin menziarahi makam saya maka mereka tak perlu berurusan dengan para tukang palak dan lumpur yang tebal. Dari meja tulisnya masing-masing, dimana pun mereka berada, mereka cukup melakukan ziarah dengan sekali klik dan tiba di makam saya, yaitu blog ini [Mula Harahap ...-16 September 2010]. Hidupku

Hidupku, Hidupmu, Kita hidup di alam fana yang sangat gemilang,

Tak tau kapan malaikat datang menjelang,

Mungkin esok aku tiada,

Atau mungkin kau berpulang,

Kita tak tau siapa yang akan awal menemui Tuhan,

Kau atau aku, Hanya untuk direnungkan.

-Jatinangor 10 Juni 2004 (Puisi saya ini dimuat kompas.com edisi 7 Juli 2010). Yang saya perhatikan selama ini, orang yang sudah menjadi 'artis' dadakan, angkuhnya bukan main. Layaknya dewa, mereka memandang orang lain rendah. Saya pikir, jarang sekali ada orang yang begitu rendah hati, baik, dan bersahaja di tengah pengalamannya yang segunung. Jarang sekali ada orang yang memberikan inspirasi hidup kepada orang lain di sekitarnya. Saya merasa beruntung pernah berkomunikasi dengan orang itu. Bagaimana jika kamu baru bertemu orang yang menyenangkan, tapi seketika ia 'pergi' selamanya... *** Awal bulan April 2010, saat dalam perjalanan pulang ke rumah setelah menginap di rumah teman di Cibinong, karena ada launching buku saya (Ingatan Dodol) di sana sehari sebelumnya, saya mendapat telepon. Saya segera menghentikan laju motor, dan mengangkat telepon itu. Ternyata yang menghubungi Kang Hikmat, bos grup penerbit yang berkantor di bilangan Ciganjur, Jakarta Selatan."Fan, ada kerjaan nih buat kamu," katanya di ujung telepon."Oh, bikin apa, Kang?""Ada. Kamu ada waktu kapan?""Ya, kapan aja.""Ya, udah. Besok ketemu di kantor.""Oke."Pembicaraan berakhir. Telepon saya matikan. Tentu saja yang dimaksud kerjaan tadi adalah menulis naskah, atau menulis ulang naskah untuk buku terbitan salah satu penerbit grup penerbit. Di samping menjadi penulis lepas, saya memang seorang ghostwriter sebelum akhirnya memilih bekerja di Bandung sebagai penulis di salah satu perusahaan agen naskah. Saya pun menghidupkan motor kembali. Dan, melaju lagi ke rumah di bilangan Lubang Buaya, Jakarta Timur. *** Sore di hari Senin, saya ke kantor grup penerbit yang "dipegang" Kang Hikmat. Saya menunggu cukup lama di sana, sekitar setengah jam, karena Kang Hikmat sendiri sedang ada urusan ke luar kantor. Sekira pukul 16.00, mobilnya memasuki halaman kantor, dan saya diperintahkan masuk ke halaman belakang kantor yang rindang pohon. Kami lalu duduk di paviliun. Lalu Kang Hikmat membicarakan pekerjaan yang akan saya kerjakan. Intinya, saya akan menulis sebuah buku biografi seorang terpidana kasus bank Century. Saya terima pekerjaan itu. Dan, saya akan kembali dihubungi untuk membicarakan pekerjaan itu lebih jauh dengan seorang editor dari salah satu grup penerbitannya. *** Handphone saya kembali berderit di hari Rabunya. Saat itu, saya sendiri sedang berada di rumah seorang teman kampus dulu, Bekasi."Mas, ini dari Mas Andik. Bisa dateng besok?" kata seorang pria di ujung handphone."Oke." *** Saya datang ke kantor mereka, Rabu siang. Tapi sepi. Orang yang menelpon saya belum datang. Menunggu kembali sekitar 15 menit, akhirnya dia tiba.Setelah berkenalan,kami menuju ke dalam kantor, dan saya duduk di salah satu meja kerja karyawan yang kosong. Kami berbicara banyak soal kasus biografi orang yang akan saya tulis. Tak lama berselang, muncul sosok pria setengah baya, berambut gondrong beruban, berbadan tinggi besar, dan berpakaian lusuh--celana jeans biru dan kemeja biru---datang. Saya lalu dikenalkan."Ini orangnya?" katanya disertai senyum."Iya, pak. Fandy, pak.""Mula," ujarnya sembari menjabat tangan.Pak Mula kemudian pergi lagi dengan rokok yang mengepul. Dia memberi saya beberapa lembar kertas, sumber untuk buku itu.Sosoknya tidak asing lagi di pikiran saya. Saya pernah meihatnya di halaman belakang kantor ini ketika saya berdiskusi di salah satu 'gardu' di sini. Waktu itu, saya lihat ia sedang asyik merokok dan mengutak-atik laptopnya di salah satu sudut halaman belakang kantor ini.Pukul 14.30 kami berangkat ke tahanan Hermanus, terdakwa kasus bank century yang ingin dituliskan biografinya, itu ditahan. dengan mobil kami bertiga menuju ke sana.Di dalam perjalanan, Pak Mula bertanya soal pekerjaan saya selama ini. Saya bilang saya menulis di media. Dia juga bercerita soal dunia tulis-menulis kepada saya. Sesampainya di tahanan, kami terlibat wawancara atau tepatnya diskusi dengan narasumber tadi. Di sana juga ada Robert Tantular berjalan mondar-mandir melewati kami berempat.Di tengah obrolan, saya lihat Pak Mula tampak gelisah. Ia lalu meminta izin untuk merokok di ruangan sempit tempat para terdakwa beberapa kasus korupsi berkumpul. Pak Mula mengisap rokok puntungnya dalam-dalam setelah mendapat izin. Terbesit di pikiran saya, bahwa ia perokok berat. Dan, dugaan saya tidak salah. Pak Mula memang perokok berat. Di hari kedua pertemuan saya dengannya, saya menyaksikan sendiri puntung-puntung rokok berserak di 'asbak' dekat tipe recorder mobil 'koboinya'. Waktu beranjak lebih cepat. Kami berpisah dengan Pak Hermanus, untuk kembali lagi ke sini. *** Di tengah perjalanan pulang, tak banyak komunikasi. Pak Mula lebih banyak ngobrol dengan mas Andik. Tapi, ada yang membuat saya terpingkal-pingkal. Dia menceritakan dua buah joke. Kata mas Andik, Pak Mula memang sering mengisahkan cerita lucu. Salah satu jokenya begini:"Di sebuah BAR ada seekor kuda. Nah, pemilik BAR ngadain kontes, siapa yang bisa buat kuda itu ketawa dan menangis dikasih duit. Banyak orang dateng dan berusaha buat kuda itu nangis dan tertawa. Tapi, nggak ada yang bisa. Sampai suatu ketika dateng seorang pemuda. Terus pemuda itu mendekati kuda tadi. Dan, kuda itu tertawa. Setelah itu, kuda itu menangis. Pemilik BAR penasaran dan bertanya apa yang dikatakan pemuda itu. Ternyata pemuda itu bilang ke kuda tadi: "punya saya lebih besar lho daripada punya kamu." Terus kuda tertawa. Setelah itu, kuda menangis karena pemuda tadi menunjukkan 'punya-nya' ke kuda tadi." Joke yang sedikit 'nakal' cuma konyol. *** Hari telah gelap. Kami berpisah di depan kantornya. Dia berjanji akan mengontak saya beberapa hari ke depan untuk kembali wawancara dan menyiapkan beberapa keperluan untuk naskah. Beberapa hari sebelum bertemu, saya sudah siap dengan outline. Saya kirimkan outline itu ke emailnya. Dan, di akhir April kami bertemu kembali di kantor ini. Hari itu hari Sabtu. Kantornya sepi. Sebab hari itu memang hari libur. Saya kembali menunggu di pos Satpam kantor. Tak lama, sekitar pukul 13.00 mobil Pak Mula datang. Dia keluar dari mobil dan menjabat tangan saya, setelah sebelumnya meminta maaf karena terlambat datang. Kami pun pergi ke tahanan lagi. Di tengah perjalanan kami membahas sedikit teknis penulisan, outline buatan saya, dan ide dia. Pak Mula juga bercerita tentang kegelisahan dia pada dunia penerbitan dan buku, kisahnya jadi penulis buku anak-anak dahulu, serta blognya. Dengan terus merokok, kami bercerita semuanya. Saya juga sharing cerita soal tulisan-tulisan saya, dan buku-buku saya. "Blog bapak saya lihat serius semua tulisannya," kata saya. "Ah, kata siapa. Nggak. Kau lihat lah. Ada kisah-kisah saya waktu kecil. Kisah-kisah ringanlah," jawabnya. "Oh, hal-hal remeh gitu ya, pak?" "Iya, saya kira menarik membuat cerita-cerita seperti itu. Masih jarang sekali." sahutnya. *** Mobil Pak Mula merayap di tengah macet dan panasnya Jakarta. Pukul 14.30, sampailah kami di tahanan eks dirut bank century itu. Di sana, dengan sedikit basa-basi, kami memulai wawancara. Ada empat penjaga yang sedari tadi memerhatikan kami di ruangan ini. Dua jam berlalu, kami berhenti wawancara. Sebab, memang sudah tak ada lagi informasi yang ingin kami eksplor, di samping perdebatan kecil dengan penjaga-penjaga itu. Kami pulang. Saya lihat air muka Pak Mula sedikit kesal. Di tengah perjalanan, saya sempat terbesit rasa takut. "Ah, kayaknya saya nggak sanggup pak. Kasusnya berat. "Ah, jangan takut lah kau. Jadi penulis harus berani kau, Fan," katanya. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu membuat saya bergetar. Sungguh kalimat yang berharga buat saya. Pak Mula tetap 'melucu' dan bercerita pengalaman-pengalamannya di dunia perbukuan kepada saya di perjalanan pulang kami. Katanya, dia sedang kehabisan uang. Timbul pertanyaan di benak saya, bagaimana mungkin orang yang sudah malang-melintang di dunia tulis-menulis dan menjadi 'orang penting' di kantornya ini masih kekurangan uang? Ah, sosoknya memang bersahaja menurut saya. Tidak saya sangka, setelah kami berpisah, inilah pertemuan terakhir kami. Sebab, proyek itu tak tentu kabarnya di hari berikutnya. Padahal saya sudah mengetik beberapa lembar untuk buku biografi itu. Entah apa sebabnya. Saya pun kurang tahu. Dan, hari itu memang benar-benar pertemuan terakhir dengannya. Pada 16 September 2010 lalu, saya dapat kabar melalui Facebook dari akun Kang Anwar Holid bahwa Pak Mula sudah meninggal dunia. Saya pastikan kabar itu dengan SMS mantan 'atasan' saya sewaktu saya bekerja menjadi ghostwriter. "Iya Fan. Td siang. Kena serangan jantung," katanya di inbox handphone saya. Betapa kaget saya. Karena, persis 3 hari sebelum lebaran saya masih sempat chatting dengannya. Saya bilang, sekarang saya bekerja di Bandung. Saya sempat menanyakan kabar dan kesehatannya. Katanya, dia sedang sakit maag. Kopi sudah dia hentikan. Tapi, rokok tidak. Padahal masih banyak yang ingin saya serap dari pengalaman dan ilmu pak Mula, khususnya di bidang tulis-menulis dan dunia perbukuan. Selamat jalan Pak Mula Harahap... Sedikit tentang Mula Harahap Mula Harahap memulai karir dengan menulis cerita untuk anak-anak takala penulis Julius R Sjiranamual dan Asmara Nababan menggembalakan majalah anak-anak “Kawanku.” Kemudian dia selama bertahun-tahun menjadi editor penerbit buku BPK Gunung Mulia, sebelum akhirnya mendirikan penerbit buku sendiri yaitu “Komindo Mitra Utama,” sekaligus aktif menjadi Sekertaris IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) sejak tahun 1988 sampai 2006. Meskipun tidak lagi menjabat sebagai Sekertaris IKAPI, aktivitas Mula Harahap bukannya surut, dia tetap memberi waktu dan perhatiannya pada IKAPI, lewat Yayasan Adi Karya, sebuah yayasan di bawah naungan IKAPI yang memberikan award untuk buku-buku terbaik setiap tahun. Kesibukannya yang lain sebagai care taker YOKOMA (Yayasan Komunikasi Massa), sebuah organisasi di bawah naungan Persatuan Gereja Indonesia (PGI), yang di masa lalu sempat jadi tempat mangkal seniman-seniman yang cukup punya nama, seperti Teguh Karya, Enteng Tanamal, Julius R Sjiranamual, Franky Rorimpande dan banyak lagi lainnya. Cintanya pada buku membuat Mula tak terpisahkan dari penerbitan, meskipun secara finansial dia lebih banyak menghitung kerugian daripada laba. Mula Harahap beranggapan penerbit buku itu satu keharusan. “Entah bagaimana pun caranya, penerbit buku ‘Mitra Utama’ harus tetap jalan terus,” kata pria yang lahir di Palangkaraya tahun 1953 ini. Mula pernah dicalonkan menjadi Ketua IKAPI, dia menolak, dengan alasan tidak tertarik dengan struktur kekuasaan di IKAPI. Padahal, waktu itu banyak orang menjagokan dia jadi ketua. “Sekarang waktunya bagi saya untuk berkecimpung dalam kebudayaan dalam pengertian yang lebih luas,” jawabnya ketika kongres IKAPI mendaulatnya awal tahun 2009. Sebagai penulis, penerjemah, penerbit buku dan pemerhati budaya, Mula sangat prihatin melihat perkembangan sastra Batak saat ini. Menurutnya, bahasa Batak juga akan hilang.Ia sosok yang rendah hati. Seorang miliser buku yang rajin mengunggah posting. Pemerhati buku yang tekun. Pelaku perbukuan yang rajin. Pernah di IKAPI. Esai-esai bukunya bisa dilihat di blognya: http://mulaharahap.wordpress.com/.

1290850725394415913
1290850725394415913
Tulisan-tulisan Mula Harahap di dunia maya akhirnya disatukan dan dijadikan buku bertajuk Ompung Odong-odong oleh Gradien. Jauh sebelum ia meninggal, saya sempat mengemukakan tulisan-tulisannya di blog itu bagus dan cukup unik kalau dicetak menjadi buku. Tapi, dia cuma tertawa saja. Berikut sinopsisnya: Membaca tulisan-tulisan seorang Mula Harahap, tak ada kata lain selain: Menakjubkan! Seorang yang mengaku gaptek, justru mengoptimalkan penggunaan blog dan Facebook. Di dunia yang katanya ia tergagap-gagap ini, tersimpan harta karun yang melimpah hasil “tabungan” beliau dari minggu ke minggu. Di kedua media ini, dapat kita jumpai tak kurang dari 100 karya tulis beliau. Dan, buku ini menghimpun lebih dari 70 karya tulis pilihan yang dipilah dalam empat bagian: Membingkai Kenangan, Ompung Odong-odong, Gaptek Man, dan Merangkai Makna. Mengapa bertajuk “Ompung Odong-odong”? Selain karena salah satu tulisan beliau berjudul demikian, juga sesuai dengan sosok Si Abang—sederhana dan sangat manusiawi. Dalam banyak tulisan, beliau menempatkan diri dalam posisi seorang “ompung” di hadapan cucunya—tampak benar semburat kebahagiaan yang dinikmatinya dalam saat-saat menjadi ompung. Selebihnya, filosofi apa sebenarnya yang tersiratkan dalam konteks lebih besar, silakan Anda gali melalui rangkaian karya tulis yang sedehana, ringan, jujur, dan luar biasa ini. “Yang aku tahu, memang beginilah gaya Bang Mula sekeluarga kalau bercerita. Lucu tapi bernas. Dan menurutku, itu banyak dipengaruhi ibunya yang memang smart woman” (Helen Sianipar). “Sesederhana apa pun topik yang ditulis Bang Mula, dengan selipan kelucuan-kelucuan, selalu saja menyisipkan pesan penting bagi saya—dan mungkin juga bagi pembaca lain” (Suhunan Situmorang). “Saya sangat menyukai apa pun yang ito tulis. Di tag or not, so pasti kubaca” (Gerda Hutapea). “Tulisannya runtut disertai pengamatan yang sangat tajam dan jeli ... melahirkan catatan yang bernas, padat, menghibur, namun dapat dinikmati di tengah siang yang suntuk sekalipun, bahkan menimbulkan senyum di kulum” (Risma Peggy Tobing). “Catatan-catatan yang sangat menarik. Menggali dari sudut pandang awam tanpa menggurui” (Lina Nababan). “Saya selalu senang dengan cara MH memaparkan gagasannya. Jadul seperti majalah Si Kuncung, tapi selalu renyah dinikmati siapa pun dan kapan pun, ditemani makanan dan minuman apa pun” (Erwinthon P. Napitupulu) Tulisan ini juga bisa dibaca di blog saya sandiwaradanperang.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun