[caption id="attachment_282837" align="aligncenter" width="300" caption=""Pohon-pohon" menyambut"][/caption] Kalau tidak salah 5 September 2010 lalu, gue ngobatin rasa penasaran gue untuk melihat goa peninggalan penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Sore itu, pukul 16.00, bersama seorang temen, gue langsung tancap gas motor menuju Dago Pakar, tempat kedua goa itu dibangun. Tempatnya lumayan jauh dari jalan besar utama, dan naik ke atas. Sebab, keberadaannya memang di bukit. Sesampainya di sana, kami disambut dengan pepohonan yang masih rindang, semak, rerumputan yang masih hijau, dan jalanan yang menurun. Goa itu berada di bawah. Kami menyusuri anak-anak tangga yang entah berapa jumlahnya. Lalu, sampailah kami di dinding-dinding bukit yang ada lubang-lubang besar. Dinding bukit berwarna putih, diselingin tumbuh-tumbuhan liar itu membentang panjang, seperti tak ada ujungnya. Dinding bukit berlubang berjarak beberapa meter, selang-seling. Inilah pintu goa Jepang. Entah berapa jumlah pintu goa ini. Tak ambil pikir lagi, kami memasuki salah satu pintu goa yang berukuran besar dan gelap hanya bermodal sinar dari handphone teman saya. Sesekali penjaja lampu senter menampakkan suaranya di kegelapan goa,"A, senter 3000 rupiah saja." Kami menolaknya. Sebab, inilah seninya masuk goa Jepang dengan sinar seadanya! Sepi. Sunyi. Gulita. Bikin merinding. [caption id="attachment_282819" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu Goa Jepang"][/caption] Bosan keliling di dalam goa Jepang, kami segera melangkahkan kaki menuju goa Belanda yang jaraknya lumayan jauh dari goa Jepang. Motor sudah terlanjur kami perkir di atas. Apa boleh buat. Kaki jadi kendaraan kami sekarang. Penelusuran mengikuti petunjuk dari plang yang berdiri di tepi jurang dan bertanya sesekali dengan orang yang kami temui. [caption id="attachment_282849" align="aligncenter" width="225" caption="Lorong Goa Belanda"][/caption] Akhirnya, kami sampai di gapura bertuliskan GOA BELANDA. Tidak jauh, kami mendapati bukit yang besar berwarna agak cokelat dan ditumbuhi pohon serta tumbuhan lain di atasnya. Berbeda dengan goa Jepang, di goa Belanda terdapat gerbang besar berwarna hijau. Lagi-lagi ada tukang senter di bibir pintu goa Belanda menawarkan jasanya. Kami menolak lagi. Lalu, kami pun masuk ke dalamnya. Di ujung goa ada cahaya, seperti pintu akhir. Benar, itu merupakan pintu akhir goa ini setelah kami berjalan lurus. Namun di dalam, ada juga lorong-lorong yang jika kita masuki lorong itu buntu. Semula kami tidak tau untuk apa goa ini dibangun. Namun, setelah membaca penjelasan mengenai goa ini, saya paham kalau goa ini mempunyai fungsi berbeda di zamannya. Di zaman Belanda, goa ini merupakan sebuah tempat untuk "mengendalikan" PLTA di sekitar Bandung. Di zaman Jepang, goa ini dimanfaatkan sebagai tempat pertahanan perang. Dan di zaman revolusi fisik, ini digunakan untuk tempat persembunyian dan menyusun strategi perang.
Azan menggema di kejauhan. Ternyata, sudah saatnya waktu berbuka. Untung saja saya tidak puasa waktu itu, hehe. Kami melangkahkan kaki untuk naik kembali, dan menuju keramaian pusat kota Bandung untuk makan malam. [caption id="attachment_282893" align="aligncenter" width="300" caption="Senja pengantar pulang"][/caption] Setelah penelusuran dua goa itu, saya jadi mengerti perbedaan antara goa Jepang dan goa Belanda. Kalau goa Jepang cenderung sederhana, tembok-temboknya asli bukit, dan banyak pintu masuk di sekitar bukitnya, serta tidak ada pintu alternatif di ujung yang lainnya. Sedangkan goa Belanda, banguanannya lebih modern, sudah ada bias-bias plesteran semen, lebih tertata, dan ada pintu keluar di ujungnya, dengan konstruksi lebih sempit daripada goa Jepang. Entah apa fungsi goa Jepang zaman itu. Mungkin ada yang tau? []
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI