Mohon tunggu...
Fandy Hutari
Fandy Hutari Mohon Tunggu... Wartawan dan penulis lepas -

Fandy Hutari adalah penulis, editor, wartawan. Pernah men jadi editor, wartawan, ghostwriter. Artikel dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Buku yang sudah dipublikasikan Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang 1942-1945 (2009, 2015), Ingatan Dodol; Sebuah Catatan Konyol (2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2011), Manusia dalam Gelas Plastik (2012). Komunikasi di Facebook: Fandy Hutari, Twitter @fandyhutari, Blog: http://fandyhutari.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Doa Terakhir

13 Agustus 2010   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dimuat kompas.com, 21 Juli 2010 Kalian akan menjumpai Asnawi alias Baba menangis terisak setiap malam menyergap di sini. Menyaksikan betapa air tak henti-hentinya keluar dari kedua matanya yang sembap. Kini, tubuh kerempeng berbalut kulit hitam Baba terisolasi di dalam ruangan sempit berisi sepuluh orang. Tak ada televisi di sini. Tak ada pula ruang karaoke. Apalagi AC. Sungguh, tidak ada hiburan sama sekali di sini. Hanya lampu redup hasil karya Thomas Alva Edisson yang menerangi setiap sudut. Juga kamar kecil yang menyerbakkan aroma busuk. Pesing. Gerak Baba, lelaki berusia 40 tahunan itu, dibatasi teralis besi yang congkak. Ruangan yang dijaga beberapa orang berseragam cokelat, membuat nyali Baba menciut.  Dia tak lagi segarang dahulu, disaat jalanan menjadi kerajaan baginya. Tak jarang, Baba kerap menjadi bulan-bulanan penghuninya. Ketika polisi-polisi itu lengah, bogem mentah selalu mendarat di wajah, dada, dan perutnya. Di kala malam tiba, cuma pendar cahaya redup, dingin yang menggigit, serta rasa nyeri yang dia rasakan. Ruangan ini selalu terkunci. Tergembok dari luar. Sedangkan dunia di luar sana luas sekali. Namun hanya bisa dia regup dalam mimpi. Itu juga kalau Baba bisa tidur nyenyak. Ya, ruangan sempit ini bernama sel. “Oh...Tuhan, tidak pernah terbesit sedikitpun di dalam benakku, sisa umurku akan dihabiskan di sini...” keluh Baba dalam hati.       Nyawanya sudah dipasrahkan di tangan para algojo yang siap melepaskan pelatuk pistol mereka ke arah jantung. Baba menanti mati di sini. Di sel biadab ini. Setelah hakim mengetuk palunya tiga bulan lalu. Dia pun tak paham soal undang-undang yang melilitnya hingga hukuman tertinggi di muka sidang itu dijatuhkan. Mungkin ini karma terhadap dosa masa lalunya. "Jangan...jangan...jangan...bang!" Teriakan bocah-bocah yang tidak berdosa itu menghantuinya lagi. Muncul kembali di telinganya bersama desis angin malam yang sepi disaat semua penghuni sel ini terlelap. Baru sekarang Baba sadar kalau mereka tidak berdosa. Mereka tak pantas mendapat perlakuan iblis yang menjelma dirinya. Pikirannya melayang. Menyeruak secara acak. Memori semua masa lalu mengemuka. Memutar kembali masa-masa buram. Hitam. Kelam. Ketika itu, hujan turun... *** Trauma dan dendam masih digenggam dalam-dalam di dadanya. Di sini, di halte bus ini dua puluh tahun silam, dia pernah ditindih. Di sini semua orang adalah musuh. Yang kuatlah yang berkuasa dan sanggup bertahan hidup. Di sini, di pinggiran kota Jakarta yang semakin angkuh dengan sesuatu bernama pembangunan dia merasakan sakit yang amat sangat. Di sini, pantatnya yang telanjang dimasukkan sebuah benda tumpul: kelamin lelaki jahanam! "Jangan! Ampun, bang! Jangan....!” teriaknya mengerang minta dikasihani di malam jahanam itu. Tapi, pemuda berbaju kumal yang baru dia kenal di perempatan lampu merah itu terus menyetubuhinya. Napasnya memburu, menderu-deru. Baba tak dapat berbuat apa-apa, selain memohon padanya berulang kali. Pemuda laknat itu mengacungkan sebilah pisau. Mengancamnya jika dia lari atau melawan. "Diam lu bangsat! Nanti gua bunuh lu kalau ngelawan!" ancamnya. Setelah puas, pemuda itu pun merapikan resleting celana jeans hitamnya yang sudah belel, berwarna cokelat debu. Lalu, berlari tergesa-gesa. Menghilang ditelan kegelapan malam dan garis-garis gerimis. Baba ditinggalkan begitu saja, bagaikan seonggok karung sampah. Masih tersisa sakit di liang pantatnya. Pedih. Perih. Dia pun menangis. Tapi, siapa yang peduli. Toh, orang-orang di kota ini sibuk dengan dirinya masing-masing. Sibuk mengurus uang, uang, dan uang. Hujan deras turun lagi... *** Sejak ia dinodai, impiannya untuk mencari penghidupan di kota besar yang menjanjikan segala macam pun sirna. Baba tidak diterima di manapun. Orang-orang mencemoohnya. Pendidikan Baba yang pas-pasan turut membawanya ke dalam jurang kesengsaraan di kota metropolitan. Hari-hari berikutnya, dia hidup menggelandang. Berpindah-pindah dari satu sudut kota ke sudut kota lainnya menjadi pemulung, mengamen, atau pengemis. Akhirnya, di usianya yang semakin merenta, nasib sedikit berpihak padanya. Dia bisa menyambung hidup dengan membangun lapak rokok di rumah gubuknya yang terhimpit rumah-rumah kontrakan di pinggir kali. Selain itu, dia mengkoordinir bocah-bocah jalanan yang mengamen di lampu merah, depan gang. Mereka, para cecunguk jalanan itu, mesti menyetor uang hasil mengamennya kepadanya. Setidaknya, ini adalah bentuk balas budi mereka pada Baba. Baba merasa berjasa karena telah memberikan mereka tumpangan untuk berteduh. Melindungi mereka dari hujan. Membuat mereka terlelap tanpa harus mendengar bisingnya laju mobil yang berseliweran. Baba merupakan nama panggilan anak-anak jalanan itu kepadanya. Panggilan Baba oleh anak-anak itu, karena ia sudah terlihat renta diumurnya yang baru menjelang 40 tahun. Tapi, Asnawi alias Baba bangga. Dia merasa panggilan itu adalah gelarnya sebagai seorang raja jalanan. Lalu, berlanjutlah panggilan itu melekat pada sosoknya. Para tetangga, menyebutnya sebagai “Baba si Juragan Anak Jalanan”. Julukan yang membuat perasaan bangganya melambung tinggi di atas awan. Setiap kali tetangganya menegur dengan sebutan itu, dada Baba langsung membusung dan tertawa terbit dari mulutnya, hingga giginya yang kuning dan tak beraturan terlihat. Sungguh tak sedap dipandang. Di rumah gubuk ini, Baba hidup bersama empat anak jalanan yang dibawanya. Diberinya tempat, bukan berarti tanpa pamrih. Baba, haus akan kelonan tubuh-tubuh mungil tanpa dosa itu. Ketidaklaziman perilaku seks Baba dimulai sejak dirinya disetubuhi di halte bus, dahulu. Setiap malam, jika ada kesempatan, ia kerap meraba tubuh-tubuh mereka. Dan, malam itupun dia mendapatkan kepuasan yang tiada tara. "Ah...jangan, Ba! Jangan!” erangan dari mulut Revan terus keluar, minta dikasihani. "Diem lu! Kalau ngelawan gua bunuh lu! ancamnya. Tubuh mungil Revan di atas dipan terus meronta-ronta. Rintihan Revan diiringi desah memburu dari nafsu berahi Baba yang semakin memuncak. Pantat kecil Revan yang terlihat masih mulus dan licin ditindih berulang-ulang oleh tubuh kurus Baba. Erangan penuh syahwat bertubi-tubi terdengar, diiringi pekik lirih. Revan tak dapat berbuat apa-apa. Tenaganya kalah. Baba pun sudah membelit tangannya dengan seutas tali rapia. Ini lah hangat yang dia cari. Sudah tiga bulanan dia tak merasakannya.  Baba puas! “Ampun, Ba! Ampun!!!” lagi-lagi mulutnya nyerocos. “Diam lu! Huh, lagi pula siapa yang peduli dengan permintaan ampunan lu? Gua? Nggak! Mintalah sana ke orang tua lu di kuburan! Orang tua lu yang sudah menelantarkan lu di jalanan!” hardik Baba kepada bocah yang bahkan melihat orang tua kandungnya pun belum pernah. Ada jeda setelahnya. Revan lemas. Tak berdaya mengerut di atas dipan papan. Mulutnya tak lagi berkicau. Belum lagi ia memakai celana pendeknya itu, Baba menghempaskan tubuhnya ke dipan. Tak lama, dia bingung. Dia tersadar, jika Revan menjerit keras, maka anak-anak lain yang biasa menginap di gubuknya akan tahu. Di ruang sebelah ada Dedi, Suryo, juga Tri yang sudah tertidur. Dan, bisikan iblis hadir lagi. Menghabisi nyawanya merupakan alternatif lain. Saat Revan lemah tak berdaya, tali rapia yang membelit tangannya dimanfaatkan untuk menjerat lehernya. Menyekiknya sampai ia sesak. Belum puas, Baba yang panik mengambil sebilah golok dari dapur. Kemudian tanpa ampun, dengan golok yang telah berkarat itu, dia mencincangnya menjadi enam bagian. Potongan-potongan tubuh Revan yang sudah layak disebut bangkai ini lalu dikemas ke dalam kardus bekas minuman mineral. Baba lalu keluar mencari tempat membuang Revan yang sudah menjadi dendeng. “Taik! Kenapa pula mesti ada polisi ke mari?!” umpat Baba di dalam hati. Ada tiga petugas berseragam cokelat menuju ke rumahnya saat dia baru saja keluar rumah. Dia coba menunduk. Berpura-pura tidak ada kejadian apa-apa di sini. Di rumahnya. Menyembunyikan kardus itu di belakang punggung. “Hey, apa itu yang kau bawa?!” teriak seorang dari mereka.     Dia terkejut. Matanya langsung membelalak. Tanpa diperintah, dia lari tunggang langgang sambil membawa kardus berisi kepala, tangan kanan, tangan kiri, badan, kaki kanan, dan kaki kiri. Mereka mengejar. Yang satu orang memberi tembakan peringatan. Dor! Sedangkan dua orang lainnya masih mengejarnya. Malam ini, benar-benar menjadi malam terakhirnya menghirup udara bebas. Baba tertangkap setelah satu dari mereka melepaskan tembakan ke arah betis, tepat saat dia hampir keluar gang menuju jalan besar. Tubuhnya terjerembab masuk ke dalam selokan kecil di depan gang yang penuh sesak rumah kontrakan. Kardus itu pun lepas dari dekapannya, dan isinya menghambur ke mana-mana. Seketika, ramailah gang padat penduduk itu. *** Ternyata sepak terjangnya selama ini telah terendus polisi. Mereka tahu kalau Baba telah menghabisi lima bocah, selain yang terakhir dia mutilasi tadi. Sebelum penangkapan, laporan-laporan selalu didapatkan polisi. Banyak keluarga yang mencari anak mereka yang hilang. Tak tahu ujung rimbanya. Ternyata, semua bocah-bocah itu tewas di tangan Baba, dan jasadnya dibuang di beberapa sudut kota ini. Pelariannya berakhir di kurungan ini. Degup jantung berdebar. Menanti kematian di tangan para algojo. Pikirnya, apalah arti sebuah tobat jika nanti juga akan mati. Detik-detik hukuman mati terus memburu ketakutannya. Tak ada yang tahu kapan dia akan dipasrahkan di ujung pelatuk pistol algojo. Dalam benaknya, cuma ada satu permintaan terakhir. Permintaan kepada Tuhan dalam do’a yang terbata-bata. Tak pernah sekalipun sebelum ini, dia berdo’a. Apalagi menjalankan solat, mengaji alif-ba-tha-tsa saja tak lancar. Dia cuma berdo’a dalam bahasa Indonesia: “Oh...Tuhan, kiranya Engkau sudi menghilangkan rintihan-rintihan bocah-bocah yang aku bunuh beberapa tahun silam. Rintihan-rintihan mereka sunggup mengganggu aku. Hamba-Mu yang bergelimang dosa...” keluhnya di malam yang sunyi. Malam yang menghadirkan suasana dingin yang menggigit Jakarta, 30 Juni 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun