Penerbitan adalah industri yang berkonsentrasi memproduksi serta memperbanyak suatu literaturatau merupakan aktivitas membuat informasi yang bisa dinikmati publik. Secara tradisional, istilah ini mengacu kepada usaha pendistribusian dari usaha percetakan, seperti surat kabar dan buku.Menurut Heru Sutadi dalam artikelnya berjudul “Sejarah Kelahiran Buku dan Perkembangannya di Indonesia”, di negara kita, buku awalnya masih berupa gulungan daun lontar. Seiring perkembangan zaman, media daun lontar tergantikan oleh kertas. Penulis dan sastrawan kawakan, Ajip Rosidi, seperti yang dikutip Heru, berpendapat bahwa penerbitan buku pada masa awal dibagi menjadi tiga jalur, yakni usaha penerbitan buku pelajaran, umum, dan agama. Di zaman Belanda, penerbitan buku pelajaran dikuasai oleh orang-orang Belanda. Sedangkan buku-buku agama, dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang diusahakan oleh orang-orang Arab. Penerbitan buku umum yang berbahasa Melayu berada di tangan orang-orang Cina. Orang-orang pribumi sendiri bergerak diusaha penerbitan buku umum berbahasa daerah.
Dari sini, perkembangan terjadi. Pemerintah Belanda yang waktu itu khawatir karena perkembangan ini akhirnya mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat, yang di tahun 1908 menjadi Balai Pustaka. Pada 1950-an, penerbit swasta nasional mulai menjamur. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mencatat, penerbit yang menjadi anggotanya yang semula hanya berjumlah 13 di tahun 1965, saat ini membengkak sampai 650-an lebih.
Kini, penerbit bergerak sesuai segmentasinya masing-masing. Ada yang mengkhususkan diri dengan produksi buku-buku pelajaran, sejarah, sastra, filsafat, ilmu sosial, ilmu alam, agama, anak-anak, hingga buku terjemahan. Namun, tak jarang juga yang cuma mengekor penerbit-penerbit besar nasional.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, istilah penerbitan mengalami perluasan makna, dengan memasukan unsur-unsur buku elektronik, seperti e-book di dalam website atau blog pribadi. E-book bisa dibaca secara praktis di depan layar monitor komputer atau laptop. Sistem penerbitan sendiri,kini mengalami perluasan, menjadi penerbitan swasta (major) yang konvensional dan penerbitan dengan sistem indie, di mana penulis bertindak pula sebagai penerbitan.
Menjadi “penerbit”
Penolakan naskah menjadi semacam “hantu” yang menakutkan bagi penulis, terutama penulis pemula. Berkali-kali karya yang diajukan selalu mentok di meja redaksi. Sudah menjadi pemandangan yang biasa jika para penulis menjajakan karyanya dari pintu ke pintu penerbit. Ada pula yang mengeluhkan kurang transparannya penerbit, jika karya kita telah diterbitkan. Misalnya saja soal pembagian royalti. Bila buku kita sudah diterbitkan di pasaran dan terjual, penulis kerap dipusingkan dengan royalti yang tidak bisa dinikmati langsung. Ada yang mengemplang hasil royalti, ada pula yang memberikannya “setetes demi setetes”.
Masalah ini juga pernah saya alami sendiri. Waktu pertama kali menulis novel, saya mencoba mengirimkan ke beberapa penerbit besar di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tapi, hasilnya nihil. Naskah novel pertama saya itu ditolak mereka, dengan alasan klasik: tidak memenuhi selera pasar. Akhirnya, novel saya cuma bisa diterbitkan oleh sebuah penerbit kecil yang baru saja berdiri. Hasilnya, tentu saja kurang memuaskan. Selain itu, dalam hal transparansi royalti dan “akal-akalan” surat kontrak saya pun pernah mengalaminya. Bayangkan betapa jengkelnya kita jika mengalaminya.
Hal ini disebabkan karena selama ini, para penulis sudah terbentuk suatu pemikiran bahwa untuk dapat melahirkan naskah menjadi buku perlu bantuan penerbit besar. Namun, saat ini, hal-hal menjengkelkan tadi secara perlahan mulai dapat teratasi oleh mereka yang membentuk sebuah penerbitan indie. Inti dari penerbitan indie atau self publishing adalah menerbitkan naskah sendiri, tidak bergantung pada penerbit besar yang telah mapan. Penerbit indie bisa dibilang sebuah alternatif untuk menerbitkan buku yang dilakukan oleh penulis independen.
Beberapa keuntungan dari penerbitan indie, yaitu kita tidak perlu mengikuti seleksi naskah yang biasanya ketat, berbelit, dan lama; penyuntingan, desain cover, sampai metode berpromosi ada di tangan penulis; kalau bukunya laris, keuntungan yang kita peroleh bisa lebih besar 50 sampai 100 persen. Namun, di samping keuntungan tadi, kita juga harus melihat beberapa kerugiannya, yaitu kita lebih kerepotan, karena selain menulis, kita pun harus mengurusi penerbitannya, dan mungkin pemasaran; jika buku kita tidak laku, maka kerugiannya ditanggung sendiri; tidak ada seleksi naskah berarti tidak ada ukuran soal kualitas naskah kita. Penerbitan indie mulai terlihat peningkatan seiring dengan kemajuan teknologi penerbitan, misalnya fotokopi, print on demand (mencetak atau menerbitkan sesuai permintaan), website, dan blog pribadi.Meskipun memiliki persentase pasar yang kecil dalam hal pemasaran, dibandingkan dengan penerbit pada umumnya, tetapi ini menjadi sebuah bentuk baru dalam bidang penerbitan buku. Memilih menerbitkan buku sendiri bisa dikatakan kita menjadi “penerbit” pula.
Peluang penulis atau ladang bisnis?
Sundea, seorang penulis indie dari Bandung, yang menerbitkan tulisan-tulisannya di blog pribadinya menjadi sebuah buku berjudul Salamatahari mengatakan bahwa untuk menerbitkan bukunya, ia sisihkan uang tabungannya. Kemudian, ia mencari bahan kertas yang murah, percetakan yang murah, dan barter promo. “Biasanya saya mengandalkan hubungan pertemanan untuk mengetahui informasi-informasi tadi,” katanya. Menurut Sundea, prosesnya pun tidak terlalu rumit. “Mudah, tinggal menulis. Kemudian mencari informasi seputar produksi dan distribusi. Detail naskahnya relatif, bergantung dengan kondisi saja,” ungkap Sundea yang pernah menerbitkan buku Dunia Adin di bawah sebuah anak perusahaan penerbit besar di Bandung. Strategi pemasarannya dilakukan Sundea dengan menjual dan berpromosi di internet dan titip jual di beberapa toko buku. “Lebih banyak online di toko buku online. Tapi ada juga yang ditaruh di toko-toko tertentu, misalnya Reading Lights. Terkadang juga kita jajakan sendiri, seperti sales,” terang Sundea.