Memang proses menerbitkan indie karya tulis kita cukup sederhana. Pertama, tentu saja yang harus dilakukan adalah menulis naskahnya. Kedua, proses menyunting (mengedit). Kalau masih ragu oleh kemampuan mengedit, kita tinggal membayar editor profesional atau meminta bantuan teman yang berkompeten. Ketiga, mengatur tata letak (layout). Keempat, mendesain sampul (cover). Proses layout dan desain cover juga bisa memanfaatkan editor profesional atau meminta bantuan teman. Kelima, mencetak naskah, lalu mencari nomor International Standart Book Number(ISBN). ISBN sendiri dapat diperoleh di Perpustakaan Nasional dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 25.000, atau Rp. 60.000 untuk barcode dan nomor ISBN. Proses terakhir adalah distribusi atau memasarkan. Untuk promosi bisa memanfaatkan situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, atau mendiskusikannya kecil-kecilan. Ada beberapa cara untuk menerbitkan naskah secara indie. Pertama, terbitkan sendiri sepenuhnya. Kedua, terbitkan bersama komunitas. Dan ketiga, terbitkan dengan kerja sama penerbit indie.
Bagaimana dengan peluang penerbitan indie ini? Sundea mengatakan, peluangnya terbilang baik. “Baik. Yang penting dia (penulis) percaya sama karyanya, sekalipun perjalanannya lambat,” ungkap Sundea yang juga anak dari kurator Jim Supangkat ini.
Senada dengan Sundea, Irwan Bajang pendiri penerbitan indie bernama Indie Book Corner, mengatakan peluang penerbit indie, khususnya di Bandung cukup cerah. “Kalau di Bandung ada beberapa teman yang sudah kami bantu, setidaknya ada lima penulis lebih. Peluang di Bandung justru sangat besar. Di sana banyak industri kreatif, desainer banyak. Nah, kalau ada jasa print in deman mungkin bisa lebih asyik. Selama ini desainer Indie Book Corner malah dari Bandung ada dua orang,” katanya. Irwan juga meyakini, suatu saat penerbitan indie akan mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan mampu menggeser penerbitan-penerbitan konvensional. “Saya masih mencari cara, bagaimana buku itu bisa kita produksi semuran mungkin. Kalau mengungkap bagaimana menerbitkan buku dan ‘menidaksucikan’ penerbit besar, saya sudah memulai dan sudah terlihat agak berhasil. Karena kapital belum kuat, solusi ini yang saya belum temukan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Irwan berencana menyisihkan beberapa persen dari hasil penjualan buku-buku indie, di mana nanti penulis bisa meminjam dan mengembalikan uangnya untuk mencetak bukunya sendiri. “Kalau misalnya begitu, sepertinya tidak akanada kesusahan diakses kapital penulis dalam mempublikasikan karyanya,” ujar Irwan yang juga sudah menghasilkan beberapa karya berupa kumpulan puisi dan novel ini.Irwan sedikit membuka strateginya dalam hal kapital tadi. Ia mengungkapkan, dana itu merupakan dana bersama. Misalnya, anggap saja tiga juta. Lalu, uang itu bisa dimanfaatkan oleh tiga penulis, masing-masing satu juta untuk menerbitkan bukunya. Jika bukunya sudah jadi, mereka harus mengembalikan satu juta itu untuk memberikan kesempatan penulis keempat, kelima, dan seterusnya mendapat giliran meminjam. “Yang sudah meminjam bisa saja melebihkan, mungkin sepuluh atau dua puluh ribu, supaya bisa berkembang dan saling support,” terangnya.Contoh sukses penulis yang menerbitkan karya-karyanya secara indie adalah Dewi Lestari yang punya nama pena Dee. Buku-bukunya pun laris-manis di pasaran. Namun, yang perlu menjadi catatan kita adalah, menerbitkan buku indie bukan berarti cara instan untuk menjadi seorang penulis terkenal.
Penerbitan indie boleh jadi merupakan sebuah alternatif lain bagi penulis yang sudah terlanjur kecewa terhadap penerbit-penerbit besar. Belakangan ini penerbitan indie banyak berdiri di kota-kota besar. Biasanya mereka mengandalkan situs jejaring sosial atau website untuk menjaring penulis dan mempromosikan eksistensinya. Namun, saya jadi sedikit ragu akan “ketulusan” penerbitan-penerbitan indie ini untuk membantu penulis, terutama penulis pemula. Jangan-jangan ini cuma ladang bisnis mereka semata. Keragu-raguan saya ini bermula ketika melihat beberapa penerbit indie yang memasang tarif gede-gedean untuk melancarkan proses editing, layouting, desain cover, ISBN, pemasaran, dan lain-lain. Biaya yang harus dikeluarkan mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 2.500.000. Saya jadi berpikir, penulis pemula dimanfaatkan untuk menjadi mesin bisnis mereka.
Tapi, mudah-mudahan saja pemikiran saya ini salah. Selanjutnya, biar waktu yang akan menjawab, apakah penerbit-penerbit besar akan tergusur oleh geliat penerbit indie, atau penerbit indie yang mati di tengah jalan.
*Fandy Hutari, penulis lepas dan editor buku. Tinggal di Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H