Mohon tunggu...
Fandy Hutari
Fandy Hutari Mohon Tunggu... Wartawan dan penulis lepas -

Fandy Hutari adalah penulis, editor, wartawan. Pernah men jadi editor, wartawan, ghostwriter. Artikel dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Buku yang sudah dipublikasikan Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang 1942-1945 (2009, 2015), Ingatan Dodol; Sebuah Catatan Konyol (2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2011), Manusia dalam Gelas Plastik (2012). Komunikasi di Facebook: Fandy Hutari, Twitter @fandyhutari, Blog: http://fandyhutari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Andai Vuvuzela itu Suling Bambu

2 Juli 2010   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:08 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebentar lagi ajang sepakbola terbesar di dunia, Piala Dunia, akan berakhir. Negara-negara yang tak mampu bersaing telah berguguran. Bola jabulani dan terompet vuvuzela akan menjadi dua benda yang paling diingat di Piala Dunia Afrika Selatan ini. Konon, jabulani menjadi semacam ‘teror’ karena bola jenis ini sulit dikontrol pemain yang berlaga di ajang sepakbola sejagat ini. Dan, vuvuzela diingat tentu dengan suaranya yang bisingatau memekakan telinga bagi yang mendengarnya.

Vuvuzela dicintai dan dibenci. Dicintai, karena itu alat musik tradisional Afrika Selatan yang harus dilestarikan. Dibenci, karena suaranya yang bising. Kapten Prancis, Patrice Evra, bahkan menyinggung suara bising mirip lebah yang dihasilkan dari vuvuzela secara terang-terangan setelah Prancis bermain tak memuaskan saat laga melawan Uruguay dengan hasil imbang 0-0. “Kami tidak bisa tidur pada malam hari karena vuvuzela. Orang mulai meniupkannya sejak jam enam pagi,” ungkapnya. Hasilnya, Prancis yang merupakan runner-up Piala Dunia di Jerman tahun 2006 lalu ini tersingkir dengan sangat memalukan di fase grup A sebagai juru kunci.

Terompet tradisional

Vuvuzela atau dalam bahasa Tswana disebut lepatata merupakan sebuah alat musik tradisional asal Afrika Selatan yang dibunyikan dengan cara ditiup. Suara yang dihasilkan monton. Mirip suara jutaan lebah yang mengerubungi sarangnya. Belum dapat dipastikan apakah nama vuvuzela benar-benar berasal dari bahasa-bahasa Afrika, dari istilah Amerika Latin, atau dari bahasa lain. Alat musik ini normalnya memiliki panjang sekitar 65 cm dan mampu menghasilkan tekanan suara sebesar 127 desibel. Bentuk terompet vuvuzela sederhana. Hanya berbahan dasar plastik dengan bagian dalam kosong belaka. Untuk membunyikannya harus mampu mengombinasikan tiupan dan getaran bibir. Mirip saat membunyikan didgeridoo, alat tiup khas suku Aborigin, Australia. Instrumen mirip vuvuzela juga bisa didengar di Spanyol dengan sebutan corneta dan juga digunakan oleh para penggemar sepak bola di Brazil serta negara-negara Amerika Latin.

Ada berbagai macam versi soal asal muasal vuvuzela. Hingga kini masih dipertentangkan soal penemu vuvuzela. Musikolog asal Spanyol, Pedro Espi-Sanchis, pernah mengatakan bahwa vuvuzela adalah alat musik khas Afrika yang awalnya dibuat dari tanduk antelope atau kijang Afrika. Dulu, alat musik itu sering digunakan sebagai perlengkapan adat untuk mengumumkan upacara atau acara-acara meriah di Afrika Selatan. Freddie Maake mengklaim bahwa dirinyalah yang telah menemukan vuvuzela versi aluminium sejak 1965 dengan mengadaptasi dari tanduk sepeda setelah mengeluarkan karet hitam untuk meniup dengan mulut. Lalu, ia memproduksi vuvuzela yang terbuat dari bahan dasar plastik. Lain pengakuan Maake, lain pula Neil van Schalkwyk. Menurut Schalkwyk, ia adalah orang yang pertamakali menemukan vuvuzela. Ide membuat vuvuzela versi Schalkwyk terjadi 15 tahun silam. Waktu itu, Schalkwyk yang membela tim junior Santos Cape Town mencetak gol penyeimbang saat melawan Battswood. Di saat para penonton merayakan gol, Schalkwyk tiba-tiba melihat terompet buatan tangan sedang ditiup. Dari sana muncul ide untuk membuat vuvuzela. Lalu, Schalkwyk yang bekerja di sebuah pabrik plastik memikirkan cara untuk membuat sebuah terompet serupa dengan suara yang memekakkan telinga. Konon, vuvuzela menjadi terkenal di Afrika Selatan dan menjadi bagian dari setiap pertandingan sepakbola yang di gelar di negara tersebut sejak tahun 1990-an. Sebelumnya, terompet ini mulai digunakan di stadion Meksiko pada 1970-an.

Karya seni

Fans sepakbola Afrika Selatan tidak dapat membayangkan bagaimana mereka memberi dukungan jika tak ada vuvuzela. Tapi, dunia mengecamnya. Para wartawan, pemain, official tim, serta pengamat, dan pecinta sepakbola selama Piala Dunia digelar banyak yang menentang vuvuzela karena suara yang dihasilkan. Lionel Messi, bintang sepakbola asal Argentina mengkritisi vuvuzela karena menghambat koordinasi antarpemain di lapangan. Namun, kritik dari berbagai kalangan ini tidak mendapat gayung bersambut dari Presiden FIFA, Joseph Sepp Blatter. “Ini adalah budaya Afrika. Kita di Afrika dan kita harus membiarkan mereka untuk mempraktikkan budaya mereka sebanyak yang mereka mau,” katanya. Mantan Presiden Amerika Serikat bahkan menyukai vuvuzela. Suatu waktu, setelah kunjungannya ke Afrika Selatan, ia membawa pulang alat musik tiup ini sebagai cendramata.

Kini vuvuzela bukan saja pelengkap fans sepakbola Afrika Selatan. Vuvuzela menjelma menjadi sebuah karya seni yang indah, selain alat musik tradisi di sana. Di Afrika Selatan banyak vuvuzela yang telah dihiasi untaian mutiara, atau dilukis tangan. Untuk vuvuzela yang sudah diberi sentuhan seni, harganya bias lebih mahal dibandingkan vuvuzela yang biasa saja. Selain vuvuzela ternyata ada lagi terompet khas Afrika Selatan. Zazu dan kuduzela namanya. Zazu merupakan terompet yang terinspirasi dari keindahan kijang dan dikembangkan menjadi sebuah alat musik oleh seorang desainer alat musik terkenal di Afrika Selatan. Sedangkan kuduzela merupakan alat musik tradisional Afrika Selatan yang dibuat dari tanduk antilope. Alat musik tiup ini dahulu sering digunakan dalam peperangan. Kuduzela mampu menghasilkan suara dua kali lebih bising daripada vuvuzela.

Bagaimanapun, vuvuzela sudah menjadi bagian dari sejarah seni dan budaya Afrika Selatan. Soal mengganggu atau tidak, tergantung kita menanggapinya. Setiap produk budaya atau perlengkapan seni muncul dari interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Jadi, ia memang murni muncul di daerah yang mendukungnya. Saya jadi berkhayal, andai vuvuzela itu suling bambu pasti tak ada yang menentangnya. Pasti semua orang suka suaranya yang merdu dan mendayu-dayu. Ah, tampaknya kita lebih berbakat menjadi bangsa yang latah. Jangan-jangan nanti vuvuzela juga diproduksi di sini. Dibawa para suporter sepakbola di tanah air beramai-ramai ke stadion. Dan, makin gaduh lah suasana stadion dengan terompet itu, selain baku hantam antarsuporter.

FANDY HUTARI, esais dan penulis buku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun