Yang namanya Taji tentu sudah dikenal semua anak di Pesantren “Roudlotul Mu’alim” ini. Nama panjangnya Tajidin Hasan. Ciri tubuhnya tidak terlalu tinggi. Tidak pendek juga. Kulit hitam, rambut ikal, dan berkumis. Yakh, kelihatan tua memang sebagai seorang santri Aliyah.
Taji, nama itulah yang dianggap sebagai pemimpin oleh para pengacau itu. Betul, pengacau! Anak-anak yang paling sering di-iqob, di hukum. Karena sering bolos dan lebih sering nongkrong di simpang empat, dekat pondok putri. Sekali masuk, mereka akan mengacau kelas, ngompas santri lain, atau merokok di pojok kelas. Pengacau itu berjumlah sekitar sepuluh santri. Kadang kurang dari itu, kadang lebih. Tak tentu. Pengacau-pengacau itulah yang dipimpin oleh Taji. Setidaknya itu yang kulihat. Taji selalu berjalan paling depan. Bila Taji menyuruh, maka mereka akan segera bertindak. Dan jika ada masalah, Taji-lah yang terdepan mengatasinya. Yakh, Taji adalah imam bagi pengacau-pengacau itu.
Menurut cerita Ranto, salah satu anak buah Taji, satu saat, seminggu sesudah Kang Jam’an memarahi Taji di kelas Fiqeh, Taji mengajaknya memasukkan garam ke tangki Vespa Special milik Kang Jam’an, pengajar kami itu.
“Itu lho Gus, yang pas rame-rame diparkiran, Vespa Gus Jam’an dikerubuti orang-orang. Gus Aripin ingat to?”
“Ooo, iya aku ingat. Lalu kenapa harus seminggu sesudahnya?”
“Yakh, biar tidak ketahuan lah!”
“Mmmm….”
Menurut Ranto sebenarnya dia takut ikut-ikutan Taji. Tapi apa boleh buat. Setelah mencuri garam di kantin, terjadilah tindak kriminal itu.
“Gus, sampeyan jangan cerita ini sama siapapun lho! Aduh, kenapa tadi aku cerita ya!? Keblabasan aku. Gus, bener lho ya, tolong! Kalau saya ketahuan bisa-bisa kepala ini digundul lagi. Tambah lagi nanti saya bisa kena pukul si Taji. Ya, Gus ya!?”
“Iya…!” Aku meyakinkannya.
Lain lagi cerita Esan padaku. Esan bercerita, karena memain-mainkan pita mesin ketik waktu pelajaran keterampilan Mengetik, Pak Purnomo menampar pipi Esan hingga dia terpelanting.
“Wah, pipi ini perih banget waktu itu.”
“Terus?”
Setelah sempat musyawaroh di jam istirahat, dua minggu setelahnya. Mereka melakukan sesuatu.
“Iya, bener Gus! Iya, sampai diumumkan pakai Toa!”
Aku ingat. Suatu Senin pagi, ada pengumuman yang isinya mengecam dan mengancam bagi siapapun yang merasa memasukkan jarum jahit ke dalam gembok Ruang Mengetik. Hingga beberapa saat Ruang Mengetik itu tidak bisa dibuka.
“Terus yang memasukkan jarum itu kamu atau Taji?”
“Ya Taji! Mana berani saya, Gus.... Saya cuma di sampingnya. Tengok sana tengok sini.”
Aku kira para pengajar sudah mencurigai Taji. Sebab dialah satu-satunya biang masalah di pesantren ini. Bukankah dengan pengumuman yang isinya mengecam dan mengancam itu berarti sudah ada yang dicurigai.
Ada cerita lagi dari Topik.
“Saya juga ikut dipanggil waktu itu, Gus. Itu lho waktu jok Yamaha Gus Kusnan sobek-sobek seperti bekas goresan silet. Ada tiga orang yang dipanggil waktu itu. Saya, Taji, dan Ranto. Ditanya satu-satu. Tapi kami nggak ada yang mengakui. Yakh, memang setiap bertindak kami selalu sepakat nggak akan buka mulut. Apalagi saya. Waktu itu ‘kan kejadiannya sebulan setelah Gus Kusnan mengusirku keluar kelas. Jadi gara-gara saya, Taji membelaku dengan idenya itu.”
“Kok Ranto juga ikut tidak buka mulut ya?”
“Ah, Ranto ada beban juga. Ranto tidak akan berani buka mulut. Dia kan pernah… ah, saya tidak bisa cerita, Gus. Maaf...” Topik menghentikan ceritanya.
“Kenapa?”
“Rahasia… takut… Eh Gus, sampeyan jangan cerita sama siapa-siapa ya. Bisa bahaya!”
“Iya…!”
Taji dengan gerombolannya tidak hanya melakukan kejahilan-kejahilan yang ada sebabnya. Tanpa sebab apapun mereka juga sering bertindak iseng yang tentu merugikan orang lain. Kata Mamat sih,
“Itu strategi, Gus!”
“Maksudnya?”
“Yeah, kalau kita jahil hanya karena ada masalah dengan ustadz, wah bisa langsung ketangkap kita. Jadi biar tidak mencurigakan, kita tiap bulan berbuat sesuatu. Bahkan antara kami tidak saling tahu. Tiba-tiba saja ada kabar. Misalnya waktu gedung selatan banjir karena kran air kamar mandi yang dihidupkan keempat-empatnya itu. Itu saya tidak ikut beraksi. Tapi saya tahu itu ulah Taji. Kata Rosid sih dia yang diajak waktu itu.”
“Kalau sama kamu pernah ngapain, Mat?”
“Wah, maaf Gus. Saya takut. Saya nggak bakal cerita sama sampeyan.”
Mamat memang tidak bercerita aksinya dengan Taji. Tapi dia mengaku pernah melakukan sesuatu.
Satu hari Ipul juga pernah bercerita.
“Waktu itu sih iseng aja, Gus. Waktu bolos, saya sama Taji lagi nongkrong di simpang empat. Di situ dia ada ide ngerjain Mbah Dulah –yang mengajar muhadatsah di tsanawiyah putri. Kata Taji, kasihan sebenarnya kalau Mbah Dulah dikerjain. Tapi lanjutnya, biar rata semua ustadz harus kena. Biar adil pula. Ya udah, esok harinya sepeda ontel Mbah Dulah kami kempesin bannya. Dua-duanya! Wah, sehari itu saya takut banget. Tapi Taji bilang ‘tenang aja, Pul. Parkiran lagi jam aman!’. Tetap saja saya berkeringat dingin waktu itu.”
“Kalau takut kenapa nggak lari?”
“Gila! Ya ndak berani, Gus. Mau ditabokin sama ‘tangan kulinya’ Taji apa!?”
“Emang sudah pernah ada yang dipukul Taji, Pul?”
“Mmmm yang saya tahu sih teman-teman nggak ada yang pernah dipukul dia. Memang nggak ada yang berani melawan sih... Semua takut. Tapi saya pernah lihat dia berantem melawan lima orang preman, waktu kita main-main ke terminal. Taji menang!”
Aku mengangguk-angguk saja.
“Wah Gus, Taji itu memang gila. Kita waktu itu dimintai duit sama preman-preman terminal itu. Tanpa menolak atau menyanggupi permintaan preman itu, tanpa berpikir-pikir dulu, Taji langsung menghantam mereka semua. Padahal saya dan teman-teman malah lari menjauh! Tapi Taji tidak marah pada tindakan pengecut kami.”
Dari semua pengacau itu banyak juga yang tidak pernah bercerita padaku. Memang aku tidak dekat dengan sebagian pengacau itu. Bahkan tidak begitu kenal. Taji? Tentu aku mengenalnya. Siapa yang tidak tahu dia?
Dan inilah yang sering membuatku heran. Sebengal apapun Taji yang kudengar, aku tidak pernah mendapati kesan kenakalan itu ketika bertemu. Kalau bertemu denganku dia akan langsung mencium tanganku –kami sebenarnya sepantaran, selisih beberapa tahun saja. Disuruh apa saja selalu mau, baik oleh Abah atau pun olehku.
Pernah suatu hari aku memanggilnya dari teras rumah, waktu dia melintas. Lantas Taji tergopoh-gopoh menujuku.
“Ada apa, Gus Aripin?”
“Ini… tadi kiai meminta beberapa santri untuk menguras kolam lele itu. Kamu bisa ngurusnya, Ji? Ajak teman-temanmu itu. Nanti semua lelenya kalian bakar sendiri aja.”
“Ooo… bisa, Gus. Bisa!”
“Ya udah, terimakasih ya…” kemudian aku meninggalkannya menuju ke pondok putri, hendak membantu Paklik Ja’far mengajar Tajwid.
Selesai dari pondok putri aku langsung kembali ke rumah, dan melihat kolam lele di depan rumah itu sudah bersih. Taji masih kelihatan belepotan air sambil mengikat plastik kresek.
“Dah beres, Ji? Teman-temanmu pada ke mana?”
Taji hanya tersenyum tidak menjawab. Kemudian dia membawa bungkusan kresek itu dan meletakkannya di dekat undak-undakan teras, “Gus, ini lelenya saya taruh di sini.”
“Lho, kan tadi aku bilang buat kalian saja…”
“Sudah, Gus. Sudah banyak. Ini sebagian buat ndalem. Buat Kiai, Nyai, Gus Aripin… atau… Ning… Ning Ain…” Senyum Taji semakin mengembang menyebut nama adikku itu.
“Yo wis, tinggal digoreng to?” tanyaku.
“Iya, Gus. Sudah saya beteti semua. Tinggal dibumbui terus digoreng.”
Ternyata usut punya usut, waktu menguras kolam lele itu Taji hanya sendirian. Dia tidak mengajak teman-temannya atau siapapun. Itu yang kudengar langsung dari Kang Saimun –orang kepercayaan Abah yang sudah saya anggap kakak.
***
Kemarin lelaki berambut ikal, berjenggot rapi dan berkumis itu datang ke rumah kami. Rumah yang dari dulu sudah dipakai oleh ndalem, keluarga kiai. Abah memang pengasuh pesantren ini, meneruskan Abah Sepuh, kakekku. Dan kelak –kata Abah, akulah yang wajib meneruskannya.
“Terima kasih Kiai, Nyai, Gus Aripin, sudah berkenan menerima sowan saya. Saya mohon maaf jika terlalu nglunjak atau jika tidak ngrumangsani… Assalamu’alaikum….”
Taji yang mukanya sekarang tampak lebih bersih berseri-seri itu menjabat dan mencium tangan Abah dan tanganku sambil tersenyum. Sepulang Taji, kami sekeluarga berkumpul di ruang makan. Abah memulai bicara.
“Ain, memangnya kamu sama Tajidin itu sudah deket?”
“Belum, Bah. Eh… tidak, Bah…” Jawab Ain pelan. Ketakutan.
“Ckkk… kok berani ya Tajidin itu melamar anakku… padahal dia itu bukan keturunan kiai mana-mana…” Abah geleng-geleng. Heran dengan kenekatan Tajidin melamar Ning Ain, adikku.
Kemudian Abah bertanya pada Umi, “Gimana kalau menurut Umi?”
“Terserah Abah saja. Abah paling tahu yang terbaik buat Ain.”
“Ain, memangnya kamu mau Tajidin jadi suamimu?”
Ain hanya diam tersenyum. Lalu memerah pipinya.
Abah diam. Lama sekali beliau terdiam. Kami semua juga tidak berani melepas ucap. Lalu tiba-tiba Abah berkata, “Aku jadi ingat hadits kanjeng nabi, diamnya wanita itu tanda setuju…” Abah melepas nafas dengan berat. Rona wajah Ain kembali memerah.
“Yakh, rencanaku memang inginnya jodohin kamu sama Gus Mahfudz anaknya Kiai Manshur.” Abah menerawang, “Tapi… aku ini juga nggak mau dianggap kiai yang kolot, kaku, atau merasa bener sendiri.” Abah lalu mengelus-elus jenggotnya. Lalu beliau tersenyum, “tapi… aku juga salut sama kegigihan anak muda itu. Berani sekali dia datang ke sini untuk melamar anak kiai…”
Aku lihat Ain kini sedikit tersenyum mendengar kata-kata terakhir yang Abah ucapkan itu.
“Pin…” Abah memanggilku.
“Iya, Bah.” Jawabku
“Kalau kamu gimana?” Abah sekarang menanyakan pendapatku.
“Eeee…” Sulit aku menjawab pertanyaan Abah ini.
“Piye?” Abah menuntut jawaban.
“Pin?” Sekarang Umi.
Aku sungguh bimbang untuk menjawabnya. Lalu kutatap Ain. Matanya menatapku dan seakan bertanya, “Mas Aripin, gimana?”
Hatiku terus bertanya pada diri sendiri, “Gimana, Pin!?”
Lalu aku ingat dengan cerita-cerita yang pernah kudengar dari mulut Ranto, Esan, Mamat, Ipul, …, …, …, ….
Jogja, 15 September 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H