Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... profesional -

seorang desainer logo dari mBantul Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji

2 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau tahu, hari lalu aku berujar, dan aku takkan pernah ingkar

Kisah cinta adalah tak pernah, ketika masa sulit kalian menyerah

Tapi bukan kami, kerna aku dan dia terikat sudah sungsum darah

Dalam menyambut pagi nanti, yang teriknya bahkan melukai

Lelaki itu menggapai tangan isterinya dengan senyum simpul pula. Mata mereka bersinatap. Seperti sudah beribu kata saling tanya jawab. Tanya jawab dalam diam. Malam penuh kembang api dan letusan. Menggugah cinta mereka yang tak pernah terpendam –sebenarnya.

“Aku ingin jadi mafia...” kata lelaki itu lirih akhirnya keluar. Mendekat bibirnya pada telinga isterinya, supaya lebih terdengar.

“Apa?” entah sebuah rasa kejut, atau memang benar-benar tanya.

Bahu perempuan itu dipegangnya erat. Ditatapnya kembali kedua mata itu dalam-dalam.“Ya, Mafia...” kini dia sambil tersenyum.

“Kenapa Mafia?”

Lelaki itu masih tersenyum. Bahkan menambah porsinya. Lalu dia melangkah meninggalkan sosok isterinya. “Kenapa?” kembali pertanyaan itu lirih terdengar.

“Kamu akan tahu nanti, kenapa aku ingin.”

“Tidak, tidak nanti. Aku ingin sekarang, malam ini...”

Jendela tanpa kekain gorden itu dia pandangi. Bintang tak banyak yang menampakkan diri. Bulan, entah sedang ke mana. Lelaki itu kemudian duduk, di kursi rebahan dekat jendela kaca tanpa kekain itu. Perempuan itu kemudian mendekat, dan duduk di kursi satunya. Tepat di depannya.

“Aku...”

Isterinya menyorongkan tubuhnya. Menunggu kata-kata berikutnya. “Aku ingin menepati janji.”

“Janji?!” suara isterinya sedikit meninggi.

“Sstttt... Jangan terlalu keras, nanti Kanti bangun...”

Kanti adalah puterinya. Sudah pulas di kamar samping. Berteman boneka kelinci kesayangannya, yang sudah menjadi pelukan tidur sejak bayi. Hingga kini menjadi siswi TK Pertiwi.

“Janji apa? Janji pada siapa?”

Lelaki itu meraih kedua tangan isterinya. Lalu dia meremasnya erat seakan tak ingin melepaskan. Seakan sang isteri sedang bergelantung di sisi jurang, dan dia harus sekuat tenaga mempertahankan.

“Kepadamu... kepada siapa lagi...”

“Hah...”

“Kenapa harus Mafia?”

“Untuk membayar janjiku...”

“Janji apa?”

“Kau lupa?”

“Bahkan kau katakan aku lupa? Lupa apa?”

“Aku tahu kau lupa...”

“Jika lupa, apa aku sudah menjadi sang peluka?”

“Hah... tentu tidak begiku, Sayang. Tidak sedikit pun... aku tau, kau lupa janjiku, supaya meringankan bebanku. Kau lupa janjiku, karena kau tak ingin hidup ini hanya bergantung pada janjiku dulu, kau sengaja lupa janjiku, supaya aku tetap tersenyum... dan tak harus menepatinya.

Perempuan itu diam. Sepertinya dia ingin mencerna apa yang diucapkan suaminya.

“Tapi... aku takkan pernah melepaskan janjiku padamu. Aku takkan pernah lupa. Kau tahu aku...”

“Aku tahu dirimu... demikian juga... aku mengetahui apa itu Mafia yang kau maksud...”

“Apa yang kau tahu?”

“Aku tahu, dan kamu juga tahu. Kenapa masih harus bertanya?!”

“Sttt... pelan saja. Jangan sampai Kanti terbangun...”

Mereka terdiam sejenak.

“Kenapa kita harus bersuara tinggi... toh ini hanya masalah menepati janji. Lagi pula belum juga aku mulai. Menjadi Mafia...”

“Seperti apa yang kau hendaki? Seperti siapa yang ingin kau samai?”

Setiap jawaban selalu butuh pertanyaan, tak demikian harus ketika sebaliknya

Kamulah jawaban, lepas sekian tahun kububuhi pertanyaan pada tiap senja

Jika kau mumpuni tanpa janji, merawat ‘bunga’ kita hingga tak pernah mati

Bagaimana aku membalasmu, padahal sudah lepas aku berjanji

“Aku ingin sepertimu...” Kini lelaki itu menangis tertunduk. Kita tahu, jarang ada mafia menunjukkan air matanya. Namun kita maklumi, lelaki ini menjadi mafia baru saja sekedar rencana. Belum benar-benar.

“Sepertiku...?“ lirih saja ucapnya berselaput kebingungan. Dipeluknya tubuh suaminya. Bagaikan menenangkan anaknya yang tersakiti oleh sebayanya. Cup... cup... sayang.

“Sepertiku...”

“Iya...”

Kau tau kekasih, jalan kemarin itu ternyata sudah panjang

Tatihku kau kuatkan, kau penyangga dan aku beban

Tapi kau ringan saja, bahkan kau sisipi senyum ketika itu

Aku mengingatnya, tak akan lupa, dan ingin membalasnya

“Seorang Mafia adalah bekerja untuk keluarganya...” Kata lelaki itu.

“Bahkan pemulung, demikian juga?”

“Mafia adalah pelindung keluarga dari ancaman...” kemudian lagi lelaki itu menyambung ucap.

“Demikian juga anjing jantan?” sahut isterinya lagi.

“Mafia melawan aturan, tiada jera hukuman.” Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam... “Juga maling ayam...”

“Mafia bersedia bertaruh nyawa untuk seluruh keluarganya...”

“Aku pun bersedia... meregang nyawa untuk kalian jika diminta memilih... apa yang kau maksudkan? Apa yang kau inginkan?”

“Mafia adalah sosok setia, tak akan menjadi pengkhianat apalagi pengingkar janji.”

“Kamu, kamu... kamu juga demikian sudah berlaku...”

Sepertinya lelaki itu habis sudah kata-kata.

“Apalagi, jika hanya itu... kamu sudah menjadi mafiaku...”

Lelaki itu tertegun.

“Iya, yakinlah... aku tanpa basa-basi. Seperti kau kenal aku sudah-sudah. ‘Kan?“

Lelaki itu mengangguk pelan.

“Apa lagi yang kau impikan...”

“Tapi... tapi aku ingin menepati janji...”

Isterinya tersenyum.

“Kau tahu?” Dia menunggu kata-kata berikut dari isterinya, “sejak hari pertama kita bersama, sejak itu kau sudah menepati janji.”

Bibir lelaki itu bergerak. Bingung memilih kata. “Ttt.. tak perlu menjadi mafia?”

“Kenapa harus mafia?”

“Untuk menepati janji?”

“Aku tak ingin... aku tak mau...”

“Kenapa?”

“Satu lagi tentang mafia –kukira engkau lupa, Sayang.”

“Ya...?” suaminya penasaran.

“Aku tak ingin engkau menjadi sosok yang menakutkan bagi kami, aku dan Kanti. Sudah, sudahi niatmu. Cukuplah menjadi sekarang, dan aku sudah merasa semua janji telah kau tepati. Tak perlu kawatir, seandainya engkau ingat satu janjimu padaku yang belum juga kautepati hingga saat ini... bukankah aku di sampingmu? Aku akan membantumu menepatinya.”

Senyum lebar itu mengembang dari suaminya.

“Kau tahu isteriku?”

“Ya?”

“Tuhan pun sudah menepati janji-Nya padaku.” Lelaki itu menatap erat isterinya, kemudian dia kecup kening isterinya, “Kamulah janji-Nya itu...”

Sudah menjadi cerita lama, tengah hari adalah sepenuhnya terik matari

kita akan terus berjalan, sebab berhenti tak akan surutkan panas matari

Kita terus melangkah, sebab matari juga demikian

Kita akan berteduh ketika malam hingga subuh,

Hingga semua ini selesai...

Terjalani.

Bantul, 2 Januari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun