Mohon tunggu...
Fandi Patodingan
Fandi Patodingan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dilahirkan di Mamasa, Sulawesi Barat, putra ke 2 dari 4 bersaudara, saat ini saya menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana (SALATIGA), S1 Jurusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi. aktif di organisasi internal eksternal, saat ini menjabat Ketua Jaringan Mahasiswa Sosiologi se-Jawa, Korwil II, Jateng. dan Humas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demonstrasi Besar-besaran di Kabupaten Mamasa sangat Mungkin terjadi

1 Februari 2014   02:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Potret nasib Mamasa)

Tak terasa umur mamasa hingga hari ini sudah 12 tahun menjadi sebuah kabupaten setelah pecah dari kabupaten induk yaitu Pol-Mas. Namu dampak pembangunan  di daerah mamasa sebagaian besar masyarakat menilainya tidak maksimal dan sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak semenjak mamasa belum menjadi kabupaten jalan poros polewali mamasa hingga kini kondisinya masi sama pada hal sudah disebut sebagai kabupaten. Jika masalah tata ruang dijelaskan di mamasa secara keseluruhan mungkin hanya 2 % yang punya nilai psoitif selebihnya adalah masalah. Oleh karena  itu penulis hanya mengambil 1 sampel masalah yaitu infrastruktur jalan. Hampir semua kalangan rakyat mamasa mengeluhkan dengan keprihatinan  yang sama tentang jalan utama dari mamasa ke polewali.

Ironisnya jalan yang boleh dikatakan sebagai jalan utama dalam sejarah dirintisnya mamasa, seolah-olah diabaikan, justru jalan yang menghubungkan mamasa, malabo, mambi tembus kemamuju yang di proritaskan padahal jalan ini sangat sepi penguna jalanya, apa maksudnya?. Jalan dari mamasa ke polewali boleh dikatakan sangat ramai pengguna jalanya karena menghubungkan banyak daerah yang bisa menyuplai kebutuhan-kebutuhan orang mamasa, tapi faktanya hingga hari ini jalan tersebut hanya di tambal pasir dan kerikil, meskipun sudah beberapa dilakukan pengaspalan tapi yah seadaanya bisa di lihat langsung seperti apa fakta di lapangan. Dalam analisa saya nampaknya pemerintah propinsi dengan kabupaten juga memainkan politik dalam soal ini, semoga saja salah. Dengan mengacu kepada permasalah infrastruktur ini sangat beralasan jika masyarakat mulai geram, karena apa pun alasanya ini menjadi bagian dari kehidupan rakyat mamasa.

13911949541809105814
13911949541809105814

1391195026886771868
1391195026886771868

Melalui tulisan ini penulis sangat berharap ada sebuah nilai yang bisa diyakini bersama semua masyarakat untuk bisa mengembalikan daerah kita untuk bisa lebih dekat dengan pembangunan yang berkelanjutan dan mengedepankan kehidupan rakyat itu sendiri, karena esensi demokrasi mesti melindungi rakyat. Jika akhir-akhir ini ada wacana untuk melakukan aksi turun jalan untuk protes terkait masalah di atas, maka itu sangatlah wajar dan sangat diharapkan. Karena ssesungguhnya pemerintah memahami apa yang ingin mereka lakukan namun karena melawan egonya tentang  ‘kekuasaan uang’ yang sudah melekat lama yang sulit di tinggalkan maka dari itu rakyatlah yang selalu menanggung imbasnya. Bagi penulis proses negosiasi, diplomasi dengan pemerintah kita di mamasa bukanlah hal yang tepat, karena orang mamasa di besarkan dalam filsofi “misa kada di potuo pantan kada dipomate” yang menurutku filsofi ini sudah menjunjung tinggi tentang kemanusiaan,  jika filsofi ini benar di sadari dan dilekatkan dalam setiap tindakan mestinya kita dipimpin oleh pemerintah yang bermartabat mengedepankan nilai norma dan HAM, tapi jika hal ini sebaliknya maka itu berarti kesengajaan dan kerakusan.

Jika demonstrasi besar-besara terjadi di Mamasa, maka kerurgian ini bukan ada di pemerintah namun ada di masyarakat, karena demostrasi adalah jalan terakhir dan ini adalah bagian dari revolusi maka imbasnya adalah trauma bagi anak cucu. Tapi kalau ini tidak dilakukan maka rakyat mamasa dan juga generasinyalah yang paling rugi karena terus di kerangkai oleh sistem dan pemimpin yang tak mampu meletakan nilai humanis dalam mengontrol sistem. Pernyataan di atas nampaknya ambigu namun jika ditarik benang merahnya tentu ada salah satu yang di eliminasi antara sistem atau yang memimpin sistem, rakyat tidak mungkin di eliminasi. oleh karena itu demostrasi besar-besaran sangat mungkin terjadi, jika kesadaran terus di bungkam oleh pemerintah kabupaten dan propinisi. Seorang sejarawan modern bernama Toynbee mengatakan “manusia disebut manusia buka ketika ia bisa menguasai sumber daya menguasai tehknologi , tapi manusia disebut manusia ketika fajar kesadaranya telah bangkit, jika kesadarnya belum bangkit maka ia belum menjadi Homo Sapiens yang sudah berpikir, namun masi Homo Erectus yang hanya bisa berjalan tegak lurus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun