Mohon tunggu...
Fandi Patodingan
Fandi Patodingan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dilahirkan di Mamasa, Sulawesi Barat, putra ke 2 dari 4 bersaudara, saat ini saya menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana (SALATIGA), S1 Jurusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi. aktif di organisasi internal eksternal, saat ini menjabat Ketua Jaringan Mahasiswa Sosiologi se-Jawa, Korwil II, Jateng. dan Humas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demo ala Mahasiswa

19 November 2014   18:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah mereka masi pantas di puji?

(Renungan tentang almamater)

Dikalah mereka menunjukan identitasnya lewat orasi-orasi, mereka berkata bahwa kami tak sekedar menjadikan kampus sebagai tempat untuk menimbah ilmu, tapi kampus juga harus mendapatkan legitimasi bahwa kami kaum yang membela kepentingan rakyat. Tapi apa  yang mesti di utarakan selanjutnya oleh mereka jika pada akhirnya reaksi masyarakat dalam memandang orasi mereka sebagai sebuah tindakan yang merugikan masyarakat, seperti topic berita yang ada di media cetak “Mahasiswa vs Warga” . tidak salah jika demo terkait dengan pra dan pasca naiknya BBM  yang di cetuskan oleh kepemimpinan awal pasangan Jokowi JK , mahasiswa diserang oleh banyak orang di media social dan sebagian besar serangan itu adalah mencemoh tindakan yang sangat arogan, Anarkis dan sudah berkedok Vandalis.  Lalu apa yang hendak kita pertanggung jawabkan terhadap almamater kita jika masyarakat saja sudah apatis lalu dalam tataran perjuangan kita sekarang di garda yang tak jelas.

Tak elok rasanya jika bersteitmen general, mungkin saya tak bicara umum bagi mahasiswa namun pada pandangan masyarakat awam citra mahasiswa tetap jelek di mata mereka. Bagi mereka mahasiswa adalah kaum yang brutal dalam menyelesasikan masalah, kaum yang tak bertanggung jawab, kaum yang tak menghargai kepentingan umum, kaum yang tak mengerti mana batu mana kayu semua di babat rata meskipun sudah sadar bahwa aksi mereka sudah keluar dari yang di orasikan,pertanyaanya apakah kita mau marah dengan streotipe ini?, saya sebagai mahasiswa juga menganggap pernyataan itu sah. Mahasiswa masa kini selalu saja terjebak dengan keputusan akhir dari sebuah kebijakan, tampa meluangkan waktunya sedikit untuk bertanya mengapa kebijakan tersbut demikian.  Ada hasil itu karena proses yang menentukan, spanduk yang panjang lebar yang membentengi barisan para demonstran berbunyi “Tolak kenaikan harga BBM”  pertanyaanya tolak hanya sekedar harga naik?, mengapa tidak di detailkan bahwa BBM naik karena anda maksud tertentu yang juga itu implikasinya sama masyarakat.

Masi seputar demonstran mahasiswa, apakah kita berpikira bahwa demostran yang terjadi di tahun 98 adalah episode yang belum usai?? Wahai seperjuanganku episode itu sudah usai, tapi ia diganti karena aktornya pun berganti, maka jika berganti mahasiswa juga harus ganti metode. BBM naik emosi juga naik kenapa bukan kapasitas berpikir yang dinaikkan oleh kita sebgai kaum intelktual untuk menyikapi kebijakan ini. Dalam skala tertentu BBM naik memang berimplikasi kepada kebutuhan lainya. Tapi hal ini juga dilakukan sebenarnya untuk menjawa persoalan bangsa ini, orang membabat habis-habisan pemerintah masa kini padahal persoallan yang ditanggung adalah warisan-warisan masalah sebelumnya yang belum tuntas ,negara ini harus korban untuk memperbaiki nasib. Agar BBM tidak lagi naik mari mahasiswa sumbangkan ide cemerlangmu, bagaimana agar SDA kita yang berskala internasional tidak dikuasai asing, titik migas kita dari 100 lebih titik yang dikelolah hanya 20 % lebih selebihnya asing yang mengelola. Andaikan kita sadar tentang posisi kita mestinya kita bermain pada level ini, bukan terus menerus demonstran, orang tak berpendidikan pun yah bisa demo.

Mahasiswa berdemo cabinet kampus mendukung, yah okelah ini wujud keprihatinan bapak ibu untuk mendukung reaksi mahasiswa, tapi kalau cirinya sudah tak mecerminkan identitas mahasiswanya mengapa tersu dibiarkan. Ironisnya  ada juga yang di tengah-tengah mahasiswanya sesuatu yang aneh. Atau demonstarasi sudah menjadi sebuah mata kuliah??  Bisa di tebak mahasiswa demo dan polisi ada di sekitarnya ujungnya yang keluar diberita polisi dan mahasiswa bentrok, pertanyaanya apakah yang disuarakan mahasiswa itu mendarat pada sasaranya??  Seoarang teman berkata waktu saya mudik 1 tahun yang lalu ke Sulawesi, yah mahasiswa demo sampai memblokade jalan itu strategi yang baik agar kita mendapatkan perhatian yang reaktif dari pemerintah, spontak saya jawab mahasiswa cari perhatian dan ingin mendapat pengakuan kok lewat cara simbolik yang tak terpuji, mahasiswa semestinya jika ingin di dengar gunakan cara kritis serbu dengan ide-ide yang logis, serbu dengan isi kepala. Jika begitu apa bedanya anak kecil jika ingin sesuatu dari orang tuanya modusnya adalah mengobrak abrik mainanya ataukah perabot rumahnya inikah cerminan mahasiswa..???

Teman-teman seperjuangan saatnya kita mendekonstruksi ulang tentang pemahaman bagaimana menyelesaikan persoalan yang berskala kebijakan nasional,  jangan kita bangga jika turun di jalan dengan kuantitas yang banyak, tapi mari berbangga dengan kualitas yang kita punya. Berdemokrasi yang sehat adalah hal yang di tunggu di bangsa ini.

Salam Mahasiswa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun