Garuda harus melakukan pembelian pesawat baru jika ingin mencetak laba berskala besar.
Bukan persoalan gengsi bahwa Garuda harus menjadi maskapai penerbangan dunia, tetapi sudah hukumnya jika suatu perusahaan berhasil mencetak laba, maka hukum biologisnya perusahaan tersebut harus tumbuh besar, dan jika tidak bertumbuh, maka akan jenuh dan stagnan atau bahkan menderita kekerdilan dan collapse (kalau perusahaan Negara akan ditalangin dana lagi). Dan saya sangat mengerti dengan apa yang dilihat oleh Direktur Garuda saat ini bahwa hanya dengan peningkatan armada pesawat yang bisa membesarkan perusahaan Garuda dan memperbesar volume laba suatu maskapai penerbangan.
Dalam bisnis penerbangan ataupun transportasi maritime, memperbesar laba secara berskala besar akan ditempuh dengan memperbesar market trading area dan menjaring market yang lebih banyak, dimana saat terjadi perluasan market trading area, berarti terjadi pembesaran volume service dan memerlukan infrastruktur yang besar pula untuk pemenuhan pelayanan dalam waktu yang “normal”. Dan juga tentunya strategi pemasaran dan SDM harus dikembangkan untuk pengelolahannya demi mengawal strategi pencetakan laba-laba yang dihasilkan. Yang sangat perlu kita semua sadari dan ketahui bahwa dalam dunia transportasi baik darat, udara maupun laut, infrastruktur dasar mereka adalah armada. Jadi, indikator tumbuhnya suatu perusahaan transportasi dapat dilihat dengan jumlah armadanya. Semakin banyak armadanya, semakin besar perusahaan tersebut. Demikian juga sebaliknya, jika ingin bertumbuh besar maka tingkatkanlah jumlah armada untuk market yang lebih luas. Dengan media infrastruktur dasar ini, pencetakan laba bisa dihasilkan. Jika volume infrastruktur anda besar, maka volume laba yang dapat anda cetak tentu juga besar. Sisanya tergantung pada SDM perusahaan tersebut untuk memainkan strategi dan eksekusi pencapaian goal yang ditargetkan.
Jika gebrakan pak Menko Maritime yang diberitakan di media untuk membatalkan rencana pembelian armada Garuda, maka menurut saya, gebrakan itu hanya akan memposisikan Perusahaan Garuda menjadi perusahaan yang sama dengan Garuda saat sekarang tanpa perkembangan yang sangat signifikan kedepan. Karena dengan pembatalan penambahan jumlah armada Garuda, maka tidak akan ada penambahan volume service (market) dan secara sistematis tidak akan ada penambahan laba secara signifikan akibat tidak adanya penabahan volume infrastruktur (armada).
Saya bisa mengerti pandangan Pak Menko Kemaritiman Rizal Ramli bahwa dengan penambahan armada yang dilakukan Garuda dapat berdapak kerugian besar, itu tentu saja dapat terjadi jika memperhitungkan bisnisnya dengan kemampuan pengelolahan Garuda oleh SDM yang kurang mumpuni seperti sebelum sebelumnya. Seperti periode-periode sebelumnya yang tidak mencetak laba bahkan harus ditalangi oleh dana pemerintah.
tetapi mungkin Pak Menko Lupa berhitung bahwa jika volume infrastruktur Garuda bertambah dan dikelolah dengan SDM sekelas SDM marketing maskapai Emirates Arab, Qatar, Lion Air, Air France, maka sudah jaminan mutu bahwa Garuda akan menjadi maskapai Raksasa. Karena selain menjaring market Internasional, Garuda juga bisa berlenggang dengan mudah menyertakan volume market berjuta-juta penumpang domestic sendiri.
Jadi bukan suatu keputusan yang bijak menghentikan perkembangan Garuda dibawah pimpinan Direktur yang saat ini berhasil mencetak laba untuk berkembang menjadi besar melalui cara penabahan volume infrastruktur (armada) nya. Garuda memiliki 2 komponen yaitu infratsruktur armada dan SDM, jika Direkturnya saat ini ingin Garuda bertumbuh besar, maka sudah sepatutnya pembelian armada dilakukan untuk penambahan volume infrastrukturnya (jumlah armada) namun tentu saja dengan format SDM yang sangat “kece” dalam strategi dan marketing untuk memperbesar volume laba.
Pak Rizal Ramli perlu melihat bagaimana Qatar, Emirates Arab dan Lion Air tumbuh dari awal dan memperbesar volume laba mereka dengan memperbesar infrastruktur mereka. Rasanya pengen Colek Pak Rusdi Kirana. :)
Capt. Fandi A. S., S.Si.T., M.Mar.