Aku bukan Kartini
Bukan pula Walanda Maramis apalagi Marsinah yang rela mati karena memperjuangkan kebenaran. Aku hanyalah wanita yang hidup di sudut kota. Menggantung harap pada malam-malam sunyi berbekal sedikit do'a
Tertawalah!
Tertawalah sepuasnya
Ketika kau melihatku keluar dari tirai-tirai malam setelah lelaki itu menjamah tubuhku demi lembar harapan yang ku gantungkan pada malam yang kau anggap hina
Aku bukan Kartini
Bukan pula Walanda Maramis apalagi Marsinah yang menjadi abadi demi keadilan. Aku hanya seorang perempuan yang ingin tetap bertahan di tengah riuhnya kelaparan dan peminggiran karena kurangnya pengetahuan
Tertawalah!
tertawalah sepuasnya
ketika kau melihatku, pincang di pagi hari sebab terkena sepakan kejam dari aparat keamanan semalam
Dalam ruang berukuran 2x2 itu, makian menjadi lantunan paling merdu. Berharap sampai ke telinga tuhan yang maha agung. Atas nama pilu yang dirasakan anak beliaku, bukan karena kaki yang menjadi biru.
Jeritan itu terdengar hingga pagi tadi dengan setangkai mawar yang rapih di dada kirinya.
Pada malam-malam tanpa bunyi; mati menjadi satu-satunya harapan.
Belang, 16 April 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI