Era transformasi digital membawa perubahan yang signifikan bagi komunikasi politik di Indonesia. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah menciptakan ruang virtual sosial yang dinamis dan interaktif, khususnya media sosial. Menurut Apdillah et al. (2022) dalam penelitiannya, perkembangan teknologi informasi digital telah memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat, mengubah berbagai aspek kehidupan. Hal ini menyebabkan terciptanya arus informasi yang lebih cepat, yang memengaruhi masyarakat global, termasuk Indonesia. Dalam lingkup perkembangan digital, salah satu fenomena yang terjadi adalah "viral" dan pencarian "veritas" atau kebenaran yang menjadi dua kutub yang saling tarik-menarik dalam dinamika komunikasi politik kontemporer. Menurut Sahid (2023) dalam penelitiannya, Riset menunjukkan bahwa konten media secara signifikan memengaruhi pembentukan opini publik. Platform media sosial, termasuk komentar YouTube, berfungsi sebagai ruang untuk wacana publik dan pembentukan opini tentang isu-isu terkini. Hal ini menunjukkan bahwa konten yang viral memiliki kekuatan untuk menyebar dengan cepat dan luas, mempengaruhi opini publik dalam hitungan jam. Namun di sisi lain, kecepatan penyebaran informasi ini seringkali tidak diimbangi dengan verifikasi kebenaran yang memadai.
Di era digital fenomena baru semakin terlihat jelas yang menunjukkan adanya komplesitas dalam komunikasi politik indonesia. Buzzers politik, influencer, dan meme poltik menjadi aktor aktor baru yang memainkan peran penting dalam membentuk narasi dan wacana poltik untuk mempengaruhi opini publik. Mereka mampu mengemas pesan-pesan politik menjadi konten yang mudah dicerna dan disebarluaskan, namun seringkali juga menjadi agen penyebar disinformasi dan propaganda. Sementara itu, algoritma media sosial yang cenderung menciptakan ruang gema (echo chamber) semakin mempersulit upaya mencari kebenaran objektif di tengah hiruk-pikuk informasi yang beredar.
Tantangan utama dalam komunikasi politik era digital di Indonesia adalah menjembatani kesenjangan yang terjadi antara viralitas dan veritas. Di satu sisi, politisi dan partai politik berlomba-lomba menciptakan konten yang viral untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Menurut Ratnamulyani et al. (2018), Politisi dan partai politik memanfaatkan platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram untuk menjangkau pemilih, meskipun banyak yang masih berjuang untuk membuat konten yang menarik. Namun, disisi lain, masyarakat semakin kritis dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari para aktor politik. Hal ini menciptakan dilema bagi para komunikator politik; bagaimana menciptakan konten yang viral dan menarik perhatian sekaligus tetap berpegang pada fakta dan kebenaran?. Dalam lingkup yang lebih jauh lagi menurut Piccinini (2015), Era digital telah mengaburkan batasan antara produsen dan konsumen informasi, mengubah hubungan produsen-konsumen tradisional. Setiap masyarakat kini telah memiliki potensi untuk menjadi jurnalis masyarakat atau opinion maker melalui akun media sosial mereka. Fenomena ini dapat memperkaya wacana demokrasi dengan meningkatkan partisipasi publik dalam diskusi politik. Namun, hal ini juga membuka celah bagi penyebaran hoaks dan disinformasi yang dapat merusak kualitas diskursus publik.
Dalam konteks Indonesia yang multikultur dan memiliki keragaman latar belakang sosial-ekonomi, tantangan komunikasi politik di era digital menjadi semakin rumit dan kompleks. Kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta perbedaan tingkat literasi digital di antara berbagai kelompok masyarakat, menciptakan tantangan tersendiri dalam membangun komunikasi politik yang inklusif dan efektif. Menghadapi kompleksitas ini, diperlukan pendekatan multidimensi dalam memahami dan mengelola komunikasi politik di era digital Indonesia. Menurut Alam (2021) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hal ini meliputi peningkatan literasi digital masyarakat, penguatan regulasi media sosial yang tetap menghormati kebebasan berekspresi, serta pengembangan etika komunikasi politik yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Para partai dan aktor politik, media, akademisi, dan masyarakat umum perlu bekerja sama dalam menciptakan ekosistem informasi yang baik, dimana viralitas dan veritas dapat berjalan beriringan untuk mendukung proses demokrasi yang berkualitas. Dengan demikian, menyibak kompleksitas komunikasi politik di era digital Indonesia bukan hanya tentang memahami dinamika antara viral dan veritas, tetapi juga tentang bagaimana menavigasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul untuk memperkuat demokrasi dan partisipasi publik dalam proses politik.
Dinamika antara viralitas dan kebenaran (veritas) telah menjadi aspek yang sangat penting terutama dalam konteks penyebaran informasi politik melalui media sosial yang begitu kompleks di Indonesia. Media sosial telah mengubah lingkup komunikasi politik sangat drastis untuk memberikan platform yang luas bagi politisi, aktivis, dan warga negara untuk menyebarkan pesan mereka dengan cepat dan mudah. Namun, kemudahan penyebaran informasi ini juga membawa tantangan besar terkait kebenaran dan akurasi informasi yang beredar. Viralitas konten di media sosial seringkali tidak berkorelasi dengan kebenarannya, bahkan terkadang informasi yang viral justru adalah informasi yang tidak akurat atau bahkan sengaja disebarkan untuk menyesatkan publik. Menurut Wiguna (2017), Media sosial mempunyai kekuatan dalam memengaruhi opini publik. Penggalangan dukungan melalui media sosial menjadi lebih cepat dalam menyampaikan pesan. Karena itu, media sosial telah menempatkan ruang demokrasi dalam babak baru dari perspektif komunikasi politik. Fenomena ini menciptakan dilema bagi komunikasi politik di Indonesia, di mana kecepatan dan jangkauan penyebaran informasi harus diimbangi dengan upaya verifikasi dan pemeliharaan integritas informasi.
Dinamika ini semakin kompleks di Indonesia karena tingginya penetrasi pengguna media sosial dan keragaman latar belakang sosial-budaya masyarakat. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp telah menjadi sumber utama informasi politik bagi banyak warga Indonesia, menggantikan peran media tradisional dalam membentuk opini publik. Namun, karakteristik media sosial yang memungkinkan siapa saja untuk menjadi produsen konten juga membuka peluang bagi penyebaran disinformasi dan misinformasi secara masif. Menurut Tomasoa et al., (2019) bahwa aktor politik kerap kali memanfaatkan media dan jejaring sosial untuk menyebarkan narasi yang menguntungkan mereka, tanpa mempedulikan keakuratan informasi. Pada masa pemilu, marak hoaks dan misinformasi, khususnya di platform media sosial seperti Twitter. Akibatnya, ruang publik digital Indonesia dipenuhi dengan berbagai klaim dan narasi yang saling bertentangan, membuat masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi.
Viralitas dalam komunikasi politik digital Indonesia sering kali didorong oleh konten yang memicu emosi, baik itu kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan. Konten semacam ini cenderung lebih cepat menyebar dan mendapatkan engagement yang tinggi dibandingkan dengan informasi faktual yang lebih netral. Fenomena ini menciptakan insentif bagi aktor politik dan pendukungnya untuk mengemas pesan mereka dalam bentuk yang provokatif atau sensasional, bahkan jika itu berarti mengorbankan akurasi. Akibatnya, debat politik di media sosial seringkali didominasi oleh retorika yang memecah belah dan polarisasi, alih-alih diskusi substantif tentang kebijakan dan isu-isu penting. Menurut Widiastuti, ( 2019 ) Algoritma media sosial yang memprioritaskan konten viral menciptakan lingkaran umpan balik yang memperkuat penyebaran informasi, yang berpotensi mencakup informasi yang tidak terverifikasi. Media sering menggunakan konten media sosial viral sebagai sumber berita, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang akurasi dan standar jurnalistik. Situasi ini memperparah lingkaran umpan balik yang memperkuat penyebaran informasi yang belum tentu benar.
Pada Pemilu Presiden 2024, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dinyatakan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan perolehan lebih dari 96 juta suara. Namun, hasil ini memicu protes dari berbagai kelompok yang menuduh adanya kecurangan dalam proses pemilu. Demonstrasi terjadi di depan Istana Merdeka dan kantor KPU di Jakarta, menuntut transparansi dan keadilan dalam proses pemilu. Dalam konteks media baru, viralitas informasi terkait hasil pemilu 2024 menunjukkan karakteristik yang khas dari teori media baru yang dikemukakan oleh Lev Manovich tentang variabilitas dan transcodability. Penyebaran informasi yang masif melalui platform digital menciptakan multiple narratives yang berkompetisi untuk mendapatkan legitimasi publik. Protes dan demonstrasi yang terjadi di depan Istana Merdeka dan kantor KPU sebagian besar digerakkan oleh viral content yang menyebar melalui media sosial, menunjukkan bagaimana viralitas dapat mentransformasi ketidakpuasan digital menjadi aksi nyata. Mekanisme sharing, reposting, dan engagement di media sosial menciptakan gelombang informasi yang bergerak secara eksponensial, di mana ketidakpuasan digital bertransformasi menjadi mobilisasi massa di dunia nyata. Proses ini menunjukkan bagaimana viralitas telah menjadi kekuatan pembentuk opini publik yang signifikan, mampu menantang atau mendukung narasi resmi yang dikeluarkan oleh institusi formal seperti KPU, dan pada akhirnya mempengaruhi legitimasi proses demokratis secara keseluruhan. Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan terkait hasil pemilu, dan pasangan Prabowo-Gibran resmi dilantik pada 20 Oktober.
Hubungan antara viralitas dan veritas dalam konteks legitimasi hasil Pemilu 2024 menunjukkan dinamika yang sangat menarik dan kompleks dalam ekosistem media digital kontemporer. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh gugatan hasil pemilu merepresentasikan dimensi veritas dalam kerangka hukum formal, namun hal ini berhadapan dengan fenomena viralitas narasi-narasi tandingan yang terus berkembang di ruang digital. Di satu sisi, institusi formal seperti KPU dan MK berusaha membangun legitimasi melalui prosedur hukum dan administratif yang terkonfirmasi, sementara di sisi lain, media sosial dan platform digital menjadi tempat pertarungan narasi alternatif yang mendapatkan dukungan masif melalui mekanisme viral. Fenomena ini semakin kompleks dengan hadirnya influencer politik dan opinion leader digital yang memiliki kemampuan untuk mengamplifikasi narasi tertentu. Interaksi ini juga menunjukkan bagaimana batas antara kebijakan institusional dan persepsi publik menjadi semakin kabur dalam era digital, di mana legitimasi tidak lagi semata-mata bertumpu pada kebijakan formal, tetapi juga pada dinamika viralitas dan kemampuan narasi untuk mendapatkan dukungan di ruang digital.
Tantangan dalam menjaga keseimbangan antara viralitas dan kebenaran juga dipengaruhi oleh kecepatan siklus berita di era digital. Dalam konteks ini tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjembatani kesenjangan antara veritas institusional dan viralitas narasi publik untuk menciptakan pemahaman bersama yang dapat mendukung stabilitas dan legitimasi proses demokratis. Tekanan untuk menjadi yang pertama dalam menyebarkan informasi seringkali bertentangan dengan kebutuhan untuk melakukan verifikasi yang menyeluruh. Akibatnya, bahkan media arus utama dan jurnalis profesional kadang terjebak dalam penyebaran informasi yang belum terverifikasi, terutama ketika informasi tersebut sudah viral di media sosial. Fenomena ini menciptakan lingkungan informasi yang sangat dinamis namun juga rentan terhadap manipulasi dan kesalahan. Dalam konteks komunikasi politik, hal ini dapat memiliki konsekuensi serius, seperti mempengaruhi persepsi publik terhadap kandidat atau kebijakan berdasarkan informasi yang tidak akurat.
Upaya untuk mengatasi tantangan ini telah dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia, termasuk pemerintah, platform media sosial, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas fact-checker. Inisiatif seperti peningkatan literasi digital, penguatan regulasi terkait penyebaran informasi di media sosial, dan kolaborasi antara platform dengan fact-checker independen telah mulai diterapkan. Namun, efektivitas upaya-upaya ini masih terbatas mengingat skala dan kecepatan penyebaran informasi di media sosial. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa upaya regulasi yang terlalu ketat dapat membatasi kebebasan berekspresi, yang merupakan aspek penting dalam demokrasi. Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang dan multistakeholder diperlukan untuk mengatasi tantangan ini tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.