Mohon tunggu...
Muhammad Irfan
Muhammad Irfan Mohon Tunggu... -

konyol and semangat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tugas Ujian Akhir Semseter

27 Mei 2015   12:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Peran budaya lokal dalam pendidikan islam

Oleh : Irfan (111-13-058)

I PENDAHULUAN

Indonesia dengan sejuta budaya dan keanekaragaman suku bangsanya memiliki sejuta potensi sebagai negara pendidikan di dunia khususnya pendidikan islam karena mayoritas penduduk indonesia adalah orang-orang islam dengan berbagai tradisinya. Khususnya tanah jawa sebagai salah satu pusat peradaban di indonesia, jawa memiliki budaya khas yang unik serta di bungkus dalam sebuah wadah islami yang di bawa para wali. Dengan keilmuannya yang tinggi para wali mampu menyetukan antara budaya lokal dengan budaya islam mereka memiliki prinsip “ gelasnya tetap sama namun isinya di ubah yang dulunya minuman Arak (minuman keras) kini di rubah dengan yang halal dan toyibah”

II PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN

Sehingga tak sedikit budaya lokal yang dapat membentuk karakter dalam pendidikan islam sebut saja nyadran tahlilan mujadahan dan masih banyak lagi merupakan budaya jawa kuno yang dikolaborasi dengan nilai-nilai islam, yang akan di jelaskan sebagi berikut :

Nyadran sebagai pendidikan kerukunan

Sebelum membahas lebih lanjut tentang nyadran, ada baiknya kita akan melihat bagaimana pengertian nyadran. Dalam wikipedia versi jawa dinyatakan,

“Nyadran iku salah siji prosèsi adat budhaya Jawa awujud kagiyatan setaun sepisan ing sasi Ruwah wiwit saka resik-resik saréan leluhur, mangsak panganan tertamtu kaya déné apem, ater-ater lan slametan utawa kenduri. Jeneng nyadran iki asalé saka tembung sraddha, nyraddha, nyraddhan, banjur dadi nyadran”. [http://jv.wikipedia.org/wiki/Nyadran]

Dalam keterangan versi indonesia, dinyatakan,

Nyadran merupakan reminisensi dari upacara sraddha Hindu yang dilakukan pada zaman dahulukala. Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran Islam berpuasa.

Upacara nyadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa yang tidak menganut ajaran Islam.[http://id.wikipedia.org/wiki/Sadran]

B. PEMBAHASAN

Dari kesimpulan di atas dapat di artikan bahwa nyadran adalah buaya atau ajaran agama hindu yang kemudian hari oleh para wali songo di masukkan ajaran islam cotohnya dulu ketika di makam para leluhur mereka hanya menabur bunya memberi sajen dan berdoa menurut kepercayaanya namun setelah para wali songo datang di ubahlah  menjadi budaya hindu yang memiliki nilai islam artinya budayanya masih sama namun kandungannya di ganti dengan nilai islam.

Selain itu ada bebrapa kesimpulan tentang nyadran di antaranya :

1.Nyadran sejatinya reminisensi (kenangan) dari upacara hindu

2.Nyadran dilestarikan oleh sebagian orang jawa dan menjadi adat mereka

3.Nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu di bulan sya’ban, yang oleh orang jawa disebut ulan ruwah. Sebagian referensi menyebutkan, kata ruwah merupakan turunan dari kata arwah (ruh).

4.Nyadran bukan semata kegiatan senang-senang, bergembira ria, namun ada unsur ritual tertentu. Keberadaan ritual ini tidak akan lepas dari keyakinan tertentu atau ideologi yang menjadi motivasi utama untuk melakukannya.

5.Nyadran tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain penganut islam, seperti kejawen, hindu, dan penganut aliran kepercayaan lainnya.

Terdapat makanan yang memiliki arti khusus seperti apem , dalam bahasa arab di sebut afwan yang memiliki arti minta maaf atau saling memaafkan dan lain–lain.Dalam terdisi ini banyak mereka yang ingin merusak bahkan menghapus tradisi nyadran yang penuh makna dan memiliki filosofi bermasyarakat yang baik. Nyadran memiliki nilai-nilai islam yang unik dan patut di lestarikan, tak hanya itu budaya nyadran pada khusunya memiliki nilai pendidikan adab, kerukunan, semngat, dan kebineka tunggal ikaan yang mendasar seperti penjelasan berikut :

a.Ziarah Kubur Sebagai Motivasi Hidup

Dalam nyadran tidak akan pernah terlepas dari urusan mengunjungi makam para leluhur selain membersihkan dan menata rapi merka menabur bunga sebagai tanda kasih sayang serta memintakan ampunan kepada yang maha kuasa bahkan yang lebih hebatnyaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memberi motivasi,

زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْت

“Lakukanlah ziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kalian terhadap kematian.” (HR. Nasa’I 2034, Ibn Majah 1572 – hadis shahih)

Memang di dalam Islam disyari’atkan pula melakukan ziarah kubur. Disyari’atkan ziarah kubur itu dengan maksud untuk mengambil pelajaran (‘ibrah) dan ingat akan kehidupan akhirat, dengan syarat tidak mengucapkan kata-kata yang mendatangkan murka Allah swt. Sebagai misal, meminta sesuatu kepada penghuni kubur (orang mati) dan memohon pertolongan kepada selain Allah dan semisalnya.

Dasar pensyari’atan ziarah kubur adalah hadis;

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

Dari Buraidah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِيهَا عِبْرَةً وَلاَ تَقُوْلُوْا مَا يَسْخَطُ اللهُ عز و جل

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka (sekarang) ziaralah kuburan; karena padanya mengandung ‘ibrah (pelajaran), namun janganlah kalian mengucapkan kata-kata yang menyebabkan Allah murka (kepada kalian).” (HR al-Hakim dan Baihaqi tetapi penggalan kalimat terakhir dari riwayat, al-Bazzar).

Dari hadits di atas sangatlah jelas bahwa tidak ada larangan bagi semua orang untuk berziarah ke makam para leleuhur , bahakan ziarah sangat di anjurkan guna mengingatkan akan siksa ataupun kematian yang akan datang. Ini merupakan sebuah pendidikan bagi manusia khususnya para pelajar bahwa semuanya akan kembali kepada yang Maha Perkasa untuk itu kita semua harus menyiapkan sejak dini, implementasinya jika tugas apapun itu dilakukan dengan sesegera mungkin tanpa ada unsur menunda-nunda ingsaallah hasilnya akan sukses demikan juga kematian jika disiapkan dengan maksimal maka kita kan mendapatkan surga-Nya.

b.Mendoakan Jenazah sebagai Persatuan

Mendoakan jenazah sangat disyariatkan. Allah juga mengajarkan kepada kita untuk mendoakan kaum mukminin yang telah meninggal, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat di Al-Quran.Yang diajarkan oleh Rasulullah ketika berziarah adalah mendo’akan ahli kubur, seperti dengan ucapan

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk penduduk dari Mukminin dan Muslimin, Semoga kasih sayang Allah atas yg terdahulu dan yang akan datang, dan Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian (HR Muslim).

c.Tradisi nyadran ada kegiatan mengirim pahala sedekah untuk jenazah

Sebagai symbol pendidikan berkarakter kita sebagai umat manusia haruslah saling tolong menolong antar umat selain itu juga sedekah kepada sesama manusia, di balik pglaran Nyadran yang unik kita di ajarkan untuk sedekah membantu mereka yang kurang dan saling menghargai satu sama lain. Meski banyak orang mengatakan sedekah untuk jenazah itu tidak sampai ok lah , itu pandangan mereka jaadi tolong hargai pandangan kami yang menganggap sedekah jenazah itu sampai dan di terima sang Maha Segala-NYA.

Bagi saya sama sekali tidak menyalahi Islam, masyarakat memang membutuhkan simbol dan persoalan memaknainya adalah persoalan personal yang diserahkan secara bebas kembali kepada manusia, dan masyarakat Indonesia pun mempunyai kebebasan untuk memenggal-menggal mana adat yang perlu dilakukan dan mana yang tidak, jadi apa itu bisa dikatakan bid’ah atau sesat? Antara hukum yang normatif dapat dikompromisasi dengan tradisi atau budaya lokal. Di sinilah hukum Islam yang normatif itu menjadi tidak selalu berbenturan dengan dinamisasi masyarakat. Oleh karena itu hukum Islam jangan dimaknai secara rigid atau kaku seperti apa yang dipelajari di bangku-bangku perkuliahan, semua yang masuk di jurusan hukum Islam juga diajari secara text book mengenai definisi bid’ah akan tetapi tidak diajari bagaimana memahami kondisi realitas masyarakat. Saya bukannya menafikan dunia perkuliahan, namun bagi saya, tindakan unifikasi dan konformitas antara doktrin dan hukum seperti kelompok salafi atau induk semangnya si Wahabi adalah percuma dan sia-sia apalagi dalam konteks kekinian.

Sebenarnya jika kaidah “adat istiadat dapat menjadi hukum” dan bid’ah dipahami dalam konteks kemasyarakatan, maka interpretasi dan pemaknaan baru terhadap doktrin-doktrin hukum tersebut dan bagaimana proses penyelenggaraannya tidak lagi harus dibenturkan dengan masyarakat, karena tradisi atau adat itu tidak dengan sendirinya muncul begitu saja, tetapi melalui pergulatan sejarah yang panjang. Sehingga dalam menarik suatu hukum dari mata rantai historis, para pakar hukum Islam tidak semena-mena menjustifikasi dan langsung menyebarkannya di tengah masyarakat yang pada akhirnya dipandang sebagai suatu yang nyata.

C. PENUTUP

Sebelum masyarakat mengenal agama kepercayaan mereka mempunyai batasan dalam bertindak. Hubungan agama dengan kebudayaan bersifat dialogis, kebudayaan selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. Kebudayan juga dapat membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang dapat berlangsung turun temurun.

Indonesia memang sangat kental akan keberagaman. Seperti budaya jawa yang sangat banyak dipengaruhi dari agama Islam. Seperti dijelaskan di bab sebelumnya bahwa hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual menunjukkan bahwa kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa pra-Islam. Salah satu tradisi yang masih kental dengan budaya pra-Islam (Hindu-Budha) dan animisme adalah tradisi Nyadran, tradisi ini telah di akulturasikan dengan nilai Islam oleh Walisongo sehingga mudah diterima oleh masyarakat Jawa.

Tradisi nyadran ini merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal Jawa dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Tata cara setiap rangkaian Nyadran ini menyiratkan nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun