Mencari cela dalam karier seorang Gianluigi Buffon bukanlah pekerjaan yang mudah lagi mengenakkan. Cela tidak melulu bermakna minus trofi, dimana untuk kasus Buffon, Liga Champions menjadi penantian tak berujung. Cela di sini merujuk pada momen sekejap mata atau detail kecil saat hari laga, yang terekam paling awet di memori saya. "Kekhilafan" Buffon tersebut terus menghantui pikiran, dan membuat saya berhayal seandainya dia tidak melakukan itu, alamat perputaran roda nasib (mungkin) akan begitu bertolak belakang.Â
Saya barangkali akan menyulut banyak perdebatan, tapi anggaplah ini angan-angan seorang fans yang ingin melihat idolanya menjadi salah satu sosok paling paripurna di era sepak bola modern. Sayang, waktu tak bisa diputar kembali dan aksi Gigi berikut sudah masuk guratan sejarah. Â I just wish he could has handled it better...
Langsung saja saudara-saudara, saya ceritakan kekecewaan terbesar saya pada Santo Gigi (maaf, Iker...).
Gol Hantu Awal Dinasti Juventus
Ini cerita rakyat lama, tapi tetap segar karena efek terusannya masih menggema sampai sekarang. Di samping penunjukan Antonio Conte sebagai allenatore di musim panas 2011, dianulirnya gol sundulan gelandang AC Milan asal Ghana, Sulley Muntari saat kedua klub bentrok enam tahun yang lalu (25 Februari 2012) adalah penanda keluarnya Juventus dari era penuh kesuraman pasca-calciopoli. Â
Well, sebenarnya tidak absolut seperti itu sih. Musim 2011/2012 masih menyisakan tiga bulan. Milan, walau berstatus sebagai juara bertahan, masih rentan tersandung dan tidak ada satu pun Juventini yang berani bertaruh kalau pasukan Conte bakal mencetak rekor tak terkalahkan hingga kelar musim.
Yang patut dicermati adalah respon Buffon terkait calon gol yang jika tidak dianulir barangkali sudah membawa Milan melewati koleksi scudetto Sang Saudara Sekota, Internazionale.
Kengototan, kenaifan, atau apatisme Buffon terkait keabsahan gol tersebut jika berhadapan dengan serbuan jurnalis memang tidak mengejutkan. "Jika saya tahu bola sudah melewati garis gawang, maka saya takkan mengatakan apapun, saya tak akan mengubur tim saya. Saya sadar sepenuhnya. Lagipula, saya sudah memberikan teladan yang baik dalam banyak kesempatan."
Mari cermati pernyataan beliau yang saya sadur dari merdeka.com (28/02/2012). Ia sudah memberikan teladan yang baik? Khusus untuk kasus Muntari, Milanisti akan melempari Anda dengan balok jika berkata demikian. "Jika saya tahu bola sudah melewati garis gawang...." Ini baru namanya kalimat bersayap. Khas Italia. Ambiguitas dikedepankan, nalar dibolak-balik, yang ada hanyalah memasang badan demi kepentingan tim (baca : kroni).Â
Pak Tua mungkin sadar kalau implikasi pembatalan gol hantu tersebut akan mengerek dua tirai : kejatuhan Milan dan kebangkitan Juventus. Maka ia dengan segala reputasi dan nama besar yang telah susah payah dirajut sejak AC Parma masih menjadi anggota The Magnificent Seven di jagat Serie-A, akan berusaha menyangkal gol itu setengah mati.
Sebagai orang Italia, yang dilakukan Buffon hanya melaksanakan tugas sebagai aktor Furbizia. Arief Natakusumah, mantan jurnalis senior Tabloid Bola, pernah mengulasnya di  Bolavaganza (saya lupa edisi berapa), majalah yang juga terbitan Kompas Gramedia. Pada intinya, furbizia adalah DNA seni peran atau seni drama yang mengalir di setiap darah pemain Italia.