Messi hanya sakti saat berseragam Barcelona. Messi butuh duplikat Xavi dan Iniesta di Timnas Argentina. Messi tidak akan pernah bisa urunan gelar untuk tanah kelahirannya. Messi selalu seperti ini, Messi seharusnya seperti itu, Messi bla, bla, bla....
Ujar-ujar seperti di atas barangkali membanjiri timeline para penikmat bal-balan, khususnya mereka yang rela memangkas jam tidur pasca-sahur demi memelototi siaran langsung Copa America. Niat hati ingin menyaksikan dua dari tiga tombak maut Barcelona, Neymar Junior dan Lionel “alien” Messi menaklukkan pesta bola di Amerika Selatan, namun apa daya tuan rumah terlalu digdaya. Chili, lewat semua drama dan optimismenya, sukses merengkuh gelar perdana mereka di saat Neymar sedang ikut sesi konsultasi di psikiater dan Messi melihat ulang rekaman Maradona kala membuat gol solo-run spektakuler ke gawang Peter Shilton di Piala Dunia 1986 untuk menjaga semangat hidup.
Bagi Leo Messi dan Argentina, kegagalan ini tentu saja menambah garam ke atas luka yang belum sepenuhnya kering. Di Bumi Latin pula impian memegang trofi Piala Dunia pupus di tangan Jerman, dua belas bulan yang lalu. Lantas, dengan semua gelar dan kemasyhurannya saat memakai jersey Merah-Biru kebesaran Blaugrana, adilkah bagi kita untuk terus menghujat La Pulga atas nasib apesnya di pelataran timnas senior?
Sejak tahun 1970, atau saat Piala Dunia pertama kali disiarkan lewat tayangan televisi berwarna, sepak bola kaya akan cerita miris terkait aktor-aktor terbaiknya. Dalam kasus paradoks gelar di level klub dan negara, Messi bukan sosok tenar pertama yang harus menanggung kegetiran tersebut. Lihat kembali bagaimana Paolo Maldini, Zico, Raul Gonzalez atau bahkan sang pesaing abadi, Cristiano Ronaldo, selalu menundukkan kepala di setiap akhir turnamen yang mereka ikuti di level internasional.
Dari empat nama di atas, hanya Maldini yang “sukses” mendekati “prestasi” Messi yang tiga kali mentok di laga puncak. Maldini sendiri dua kali gagal di partai penentuan. Nama Maldini sudah melegenda saat ia berhasil membantu Italia menapak final PD 1994 di Amerika Serikat. Sayang, Roberto Baggio dan sang mentor, Franco Baresi gagal menjadi eksekutor di babak adu penalti. Lalu enam tahun kemudian, gol emas David Trezeguet di babak extra time lagi-lagi menjauhkan putra Cesare tersebut dari gelar prestisius : Euro 2000. Jika ditambah dengan tragedi tersingkirnya Gli Azzurri di tangan Korea Selatan dua tahun kemudian, dimana "sumbangsih" terakhir Maldini untuk Italia adalah Golden Goal Ahn Jung Hwan di babak 16 besar, saya bingung, publik harus lebih merasa “iba” kepada siapa, Messi atau Maldini?
Kalau nama Maldini masih terdengar “kecil” di hadapan Messi, coba lihat beragam korban ketidakadilan lain di sepak bola. Maestro operan pendek dan permainan mengalir, Johan Cruyff, termasuk enigma terbesar permainan ini. Ia memimpin orkestra total football Belanda -dan membawa serta mengembangkannya di Barcelona- menaklukkan Uruguay, Argentina dan Brazil di PD 1974, hanya untuk ditaklukkan Jerman Barat di laga terakhir. Ironisnya lagi, Cruyff dengan segala kemegahan permainannya hanya pernah unjuk gigi di satu piala dunia.
Ada pula Gianluigi Buffon, kiper terbaik abad 21 versi The International Federation of Football History and Statistics (IFFHS) yang dua kali cintanya ditolak oleh Liga Champions. Orang yang sama adalah tembok tangguh Italia saat menjuarai PD 2006, role-model bagi kiper-kiper muda di seantero planet. Setelah Juventus dikembalikan ke bumi oleh Barcelona di final LC Juni lalu, ia bahkan sampai harus menghibur diri dengan mengatakan ingin bermain di level ini sampai tiga tahun ke depan. Kata-kata “di level ini” menyiratkan kerinduan yang amat dalam pada trofi “Si Kuping Besar”, dan ia harus optimis masih bisa sampai ke final di sisa petualangannya bersama Juventus. Iya, sampai ke final saja dulu, sisanya serahkan pada takdir.
Jadi, Messi tidak perlu merasa sendirian sebagai pesepak bola paling apes dalam sejarah. Ia tidak bisa “sombong” dan merasa berdiri di urutan paling atas dalam daftar pemain yang terus dinaungi nestapa di satu sisi karier. Usianya bahkan belum menginjak kepala tiga dan diharapkan masih dalam kondisi puncak setidaknya untuk satu Piala Dunia dan Copa America berikutnya. Ingat, ia mulai menemukan pelayan kelas satu tiruan Xavi-esta dalam wujud Javier Pastore. Bolehlah menyebut kombinasi Pastore-Messi sebagai oleh-oleh kecil skuat asuhan Gerardo Martino dari Cili 2015.
So, jangan berkecil hati dan teruslah mencoba, Leo! Di saat Anda sudah lelah menggedor kuasa Tuhan untuk nikmat trofi internasional, di saat seperti itu biasanya Tangan Tuhan yang sebenarnya akan memainkan skemanya. Ingat, Dino Zoff membawa Italia juara dunia di usia 40 tahun. Fritz Walter pernah membawa Jerman ke singgasana di saat semua pihak menjagokan Mighty-Magyars Hungaria yang sempat unggul dua gol di partai puncak PD 1954. Anda sendiri dengan tinggi badan hanya 169 cm pernah mencetak gol sundulan ke jala Van Der Sar yang bertinggi badan hampir dua meter. Seperti slogan dalam iklan apparel Anda, tidak ada yang namanya kemustahilan. Saya yakin, Tuhan akan membayar kebahagiaan, decak kagum, dan keriaan yang terus-menerus Anda berikan ke khalayak dalam satu dekade terakhir.
Oh ya, Anda juga tidak perlu berkecil hati saat terus dibandingkan dengan Maradona. Anda setidaknya punya trofi level klub yang lebih banyak, tidak menyalahgunakan obat-obatan terlarang, setia pada satu pasangan, dan yang paling penting, ketika mencetak gol handsball, Anda tidak mengklaim tangan Anda dibantu oleh Tangan Tuhan....