Mohon tunggu...
Fanada Ariseno
Fanada Ariseno Mohon Tunggu... Mahasiswa -

hai, semoga kita dapat berbagi ilmu melalui web ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Labeling Kampus Sebabkan Ledakan Migran

26 Desember 2015   19:19 Diperbarui: 26 Desember 2015   19:19 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat (1) UUD 1945). Banyak kaum pribumi berlomba-lomba untuk mendapatkan perguruan negeri terbaik di Indonesia melalui jalur SNMPTN, SBMPTN, maupun jalur mandiri/kemitraan. Namun, dewasa ini telah terjadi permasalahan akibat gengsi masyarakat dalam mengenyam pendidikan perguruan tinggi.

Lima besar kampus terbaik di Indonesia diantaranya ITB, UGM, IPB, UI, dan ITS (Kemenristek-Dikti) menjadi impian untuk dapat menjadi salah satu mahasiswa-nya.  Memang persaingan oleh calon mahasiswa antar wilayah sangat baik. Permasalahannya, mereka yang berasal dari luar wilayah tidak memikirkan bahwa kehadiran mereka menambah sesaknya wilayah dimana kampus itu berada khususnya di kota besar dengan jumlah penduduk padat.

Apakah hal tersebut tidak merugikan penduduk asli karena wilayahnya sesak dengan adanya migran? Adakah cara dalam mengatasi ledakan migran akibat labeling kampus yang letak kampusnya berada di kota besar dengan penduduk padat?

Tidak jarang dari para migran memilih untuk tetap tinggal di wilayah tersebut setelah lulus nantinya karena pada dasarnya kampus bagus terletak di kota-kota besar dimana terdapat banyak pekerjaan yang menggiurkan para pembrunya. Hal itu tentu menjadi masalahan yang harus diatasi.

Jika diingat akan program pemerintah untuk mengurangi ledakan penduduk di kota besar, hal ini tidak sesuai. Para migran harusnya mempunyai Kartu Izin Penduduk Sementara (KIPS) agar masalah tersebut tidak terjadi. Apadaya karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah, mahasiswa migran tidak memiliki kartu tersebut.

Selain itu, dari pihak kampus harus memberi batas jumlah calon mahasiswa. Tapi hal itu tidak dilakukan setiap tahunnya, dikarenakan jika pembatasan dilakukan setiap tahunnya, pihak kampus akan mendapat teguran dari pemerintah karena tidak merata-nya calon mahasiswa dari luar wilayah dimana kampus itu berada.

Kentalnya pandangan masyarakat tentang kampus bagus, juga harus dihilangkan. Kita sebagai manusia yang melek ilmu harusnya sadar untuk tidak jadi pemilih dalam menuntut ilmu. Masak kuliah di kampus yang tidak masuk dalam top ten jadi gengsi yang amat besar?

Seandainya mahasiswa migran melakukan urbanisasi sementara, hal tersebut tidak menjadi masalah, Presepsi masyarakat juga harus hilang terhadap kampus bagus dan kampus biasa saja. Toh tujuan kuliah adalah mencari ilmu bukan ajang gengsi cari ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun