Fenomena golongan putih atau golput, yaitu individu yang memilih untuk tidak memberikan suara dalam pemilihan umum, telah menjadi isu yang menarik perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun pemilu merupakan sarana penting untuk mengekspresikan suara dan partisipasi politik, angka golput seringkali masih menunjukkan refleksi ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri.
Pemilihan umum diselenggarakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, karena rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pemilihan wakil rakyat untuk memerintah suatu negara untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Pasal 28E ayat 3, menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), golput dianggap haram karena memilih pemimpin adalah kewajiban yang harus dijalankan untuk menegakkan kepemimpinan dan pemerintahan yang baik. MUI berpendapat bahwa tidak menggunakan hak pilih mencerminkan ketidakbertanggungjawaban terhadap proses demokrasi. Namun, ada argumen bahwa golput bisa dibenarkan jika calon pemimpin tidak memenuhi kriteria syariah yang ditetapkan.
Sedangkan golongan putih dalam pandangan Hadits adalah
عن أبي سعيد وأبي هريرة رضي هللا عنهما مرفوعا إذا خرج ثالثة في سفر فَلْيُؤَ ِّمرُوا أحدهمحسن [- ]حديث أبي سعيد رضي هللا عنه رواه أبو داود .حديث أبي هريرة رضي هللا عنه رواه أبو داود أي ضا
Artinya: Dari Abu Sa’id Abu Hurairah Radyallahu ‘anhuma secara marfu : “Jika ada tiga orang keluar untuk berpergian hendaknnya mereka mengangkat seseorang dari mereka sebagai pemimpin”. (H.R Abu Daud). Hadits ini menekankan pentingnya mengangkat seorang pemimpin dalam segala bentuk aktivitas, bahkan dalam situasi yang sederhana seperti bepergian.
Banyak orang memilih untuk tidak memberikan suara, dan keputusan ini sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu alasan utama di balik keputusan ini adalah apatis terhadap politik. Banyak individu merasa bahwa tidak ada perubahan positif yang terjadi setelah pemilu, sehingga mereka kehilangan minat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Selain itu, ketidakpuasan terhadap kandidat juga menjadi faktor yang mendorong orang untuk golput. Beberapa pemilih merasa bahwa tidak ada calon yang sesuai dengan nilai-nilai atau harapan mereka. Dalam banyak kasus, pemilih menghadapi dilema antara memilih calon yang mereka anggap kurang ideal atau tidak memilih sama sekali. Ketidakpuasan ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya representasi dari partai atau kandidat yang dianggap mampu mewakili kepentingan masyarakat.
Untuk mengurangi tingkat golput di Indonesia, beberapa langkah strategis dapat diambil yaitu antara lain:
1. Pendidikan Politik: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hak suara melalui kampanye dan sosialisasi yang efektif.
2. Akses yang Dipermudah: Memperluas lokasi dan jam operasional tempat pemungutan suara (TPS) untuk memudahkan pemilih.