Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Santri dan Indonesia

22 Oktober 2016   20:07 Diperbarui: 22 Oktober 2016   20:16 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
radiosuaradiponegoro.com

Pada 2015 lalu, Presiden Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Menarik bagi kita untuk melihat perjalanan kaum santri dalam republik ini. Santri tentu memiliki peran istimewa dalam negeri ini. Kiprahnya pun masih terus dirasakan hingga hari ini. Lantas, bagaimanakah hubungan kaum santri dan Indonesia?

Pada masa sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, istilah santri sudah dikenal luas oleh masyarakat. Santri diidentikkan dengan orang-orang yang mondok di pesantren. Pada masa lalu, kaum santri sudah dilihat sebagai bagian penting dari penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Seorang antropolog asal Amerika, Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java bahkan menuliskan tiga pembagian penduduk Indonesia, khususnya di Jawa. Terdapat tiga kaum yang menonjol dalam masyarakat Jawa, yakni kaum abangan, kaum priyayi, dan kaum santri. Kaum santri adalah segolongan masyarakat yang menuntut ilmu di pesantren dan berfokus pada pembelajaran keagamaan.

Pergerakan kaum santri merupakan salah satu yang terpenting dalam bagian sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sejak dahulu, kaum santri selalu menjadi lawan pemerintah kolonial. Berbeda dengan kaum abangan yang terkadang bersama Belanda guna mempertahankan kekuasaan, santri selalu menantang penjajahan koloni. Slogan terkenal dalam lingkungan pesantren, hidup mulia atau mati syahid menjadi semboyan dalam menentang penjajah. Bagi mereka, tunduk di bawah kekuasaan koloni membuat hidup menjadi hina, maka sudah sepatutnya melawan koloni Belanda.

Penetapan tanggal 22 Oktober ini juga diinspirasi oleh keluarnya Resolusi Jihad dari kaum santri dalam melawan penjajah. Pada 22 Oktober 1945, ulama dan santri dari kalangan Nahdhatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad sebagai bentuk perjuangan jihad dalam mempertahankan NKRI menurut hukum agama Islam. Bahkan, para ulama memfatwakan bahwa menjaga kemerdekaan Indonesia adalah fardhu ‘ain, alias wajib bagi setiap individu. Resolusi ini pun efektif dalam mempertahankan setiap jengkal tanah air dari perebutan dengan tentara Belanda.

Pada Resolusi Jihad ini, terlihat bagaimana keseriusan kaum santri dalam menentang penjajahan. Semangat jihad fii sabilillah adalah perekat terkuat di negeri ini, melebihi pembelaan terhadap suku ataupun ikatan lainnya. Jihad dalam pandangan kaum santri merupakan kewajiban, yang apabila ia meninggal dalam keadaan berjihad menegakkan agama dan membela tanah airnya, ia akan mendapatkan gelar syuhada. Tak mengherankan, apabila banyak pahlawan nasional negeri ini yang berasal dari kaum ulama, seperti Tuanku Imam Bondjol dan Pangeran Diponegoro.

Salah satu kisah menarik perjuangan kaum santri dapat kita lihat di peristiwa Bojongkokosan, Sukabumi. Pada saat upaya pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda dilakukan, kaum santri melakukan perlawanan hanya dengan bersenjatakan batu, tombak, dan senjata tradisional lainnya. Namun, ada hal yang kemudian membuat perlawanan kaum santri ini berhasil.

Berkat doa dan strategi yang dijalankan, Allah menurunkan hujan dan kabut di saat rombongan tentara penjajah mencoba menembus kawasan Bojongkokosan. Santri-santri dan ulama yang sudah berkumpul pun mengepung dari bukit-bukit dan menjebak tentara Belanda di suatu lembah. Akhirnya, karena gerak-gerik kaum santri tertutup oleh tebalnya kabut, pasukan Belanda pun dapat diserang secara efektif. Inilah kekuatan kaum santri yang tidak dimiliki kaum penjajah, kedekatannya dengan Rabb Yang Menguasai Semesta Raya. (Selengkapnya mengenai kisah ini dapat dibaca tulisan saya di Kompasiana; Bojongkokosan, menengok yang terlupa)

Selain di peristiwa Bojongkokosan, pengaruh kuat kaum santri terlihat juga dalam pertempuran di Surabaya. Bung Tomo, pahlawan nasional kita yang terkenal dengan pidato yang menggetarkan itu, bisa menyatukan rakyat Indonesia di bawah kalimat Takbir, Allahu Akbar, yang kemudian disusul dengan pekikan kemerdekaan. Dari peristiwa ini, dapat dipahami, bahwa perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan kaum santri dan semangat jihad yang harus selalu terjaga.

Santri di masa kini

Pada masa modern ini, peran santri tetap penting dalam menjaga keutuhan NKRI. Perjuangan kaum santri tidak dapat dipandang sebelah mata. Berdirinya republik ini pun banyak diperjuangkan kaum santri. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila terdapat peraturan dan hukum di negeri ini yang merugikan kaum santri dan umat Islam secara luas. Perjuangan menegakkan kalimat Allah pun terlihat jelas sebagai perjuangan kaum santri. Terdapat dua tantangan utama bagi kaum santri pada masa kini, pertama adalah sitgma buruk pada agama Islam dan kedua adalah radikalisasi dan terorisme yang menyasar kaum santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun