Ini menjadi kali pertama dalam dua tahun, saya memutuskan untuk menonton film di bioskop. Sebelumnya, saya biasanya apatis dengan sajian film-film di layar lebar. Akan tetapi, pilihan ini diambil, setelah melihat sejumlah ulasan mengenai film Dunkirk. Ternyata, pilihan ini tidak berujung pada penyesalan. Film ini layak diapresiasi.
Perang Dunia kedua, disebut-sebut sebagai perang terdahsyat dalam sejarah manusia. Menewaskan banyak nyawa, merusak hubungan negara, dan menimbulkan banyak prahara. Sudah selayaknya kita ambil pelajaran dari perang dahsyat tersebut.
Film ini hadir dengan mengambil latar pertempuran di Kota Dunkirk, Prancis yang berseberangan dengan kepulauan Inggris Raya. Datangnya pasukan Jerman dari arah selatan membuat pihak sekutu, utamanya Inggris dan Prancis, harus mengevakuasi banyak tentara dan warga di sana. Evakuasi ini yang menjadi kisah utama dalam film.
Dunkirk membagi tiga latar utama dalam film. The mole, the sea, dan the air. Semuanya menuju arah yang sama, penyelamatan bagi segenap manusia yang sudah tampak putus asa.
Dalam latar the mole, ribuan orang berbaris di pantai, menunggu datangnya kapal. Ketika datang pun, bukan berarti harapan itu semakin nyata. Gempuran pasukan Jerman membuat sejumlah kapal yang menyelamatkan justru tidak terselamatkan.
Sementara itu, dalam latar the sea, kita disuguhkan seorang pelaut paruh baya yang berlayar dengan anaknya dan temannya. Mereka menjadi salah satu dari sekian banyak perahu yang digunakan untuk mengangkut orang-orang dari kota Dunkirk. Dalam perjalanan di laut, mereka harus bertemu dengan seorang petempur udara yang emosional karena trauma. Sepanjang perjalanan, mereka juga bertemu dengan korban pertempuran, salah satunya pilot pesawat tempur yang terjatuh dan hampir tenggelam. Begitu pula dengan korban dari kapal yang tenggelam dihantam senjata.
Pada latar the air, pertempuran udara yang terjadi dari tiga pesawat sekutu menjadi babak yang cukup seru. Di hadapan, kota Dunkirk masih jauh dari pandangan. Dari arah yang tak disangka, pesawat musuh bisa datang dengan tiba-tiba. Situasi diperburuk dengan tangki bahan bakar yang terus menipis. Semua berupaya yang terbaik, dalam kondisi terburuk dan mental yang terpuruk.
Permulaan film ini langsung menggambarkan perang, tanpa basa basi. Kelangkaan air bersih, kemudian disebarnya semacam pamflet yang mengumumkan serangan, serta langsung dibombardir dengan deru senapan. Semua dikemas apik, bersahut-sahut, dengan tidak membuat kebingungan dari tiga latar yang diangkat.
Di pertengahan, kita pun akan dibiasakan dengan situasi perang yang berkecamuk. Suara bom, torpedo, deru mesin tempur, hingga lolongan pengharap bantuan mengisi sekian banyak adegan. Banyak dari kejadian tersebut, bahkan oleh penonton, datang tanpa diduga. Beberapa kali saya terkejut dengan suara bom yang datang tiba-tiba.
Sementara, menuju akhir, kita disuguhkan klimaks demi klimaks pertempuran yang semakin mengangkat harap, meski kembali dijatuhkan oleh asa. Berharap selamat, namun kembali asa bertolak. Rasa iba diaduk dengan nuansa heroisme peperangan.
Meski bercerita perihal perang, film ini tidak melulu menggunakan jargon-jargon seperti serang! Tempur! Maju!Dan lain sebagainya. Penggunaan kata-kata itu tampak minim, namun tidak mengurangi terbawanya penonton untuk merasakan situasi perang. Tokoh utama pun cenderung hemat suara, namun ekspresinya mampu menyentuh jiwa. Badan yang letih, perasaan trauma, pikiran yang kacau, namun tetap berkeinginan selamat. Semua tercampur dalam ekspresi sang tokoh.