Petang tadi, Universitas Indonesia kedatangan tamu spesial. Diundang oleh Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Ibu Retno Marsudi yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri memberikan kuliah umum. Tema yang diangkat sangat menarik, ‘Diplomasi Indonesia: Tantangan-Tantangan Baru’. Selama sekira 30 menit, beliau menyampaikan pemaparannya dengan lugas dan bernas.
Di awal pemaparan, beliau menjelaskan kegiatannya yang padat dalam tiga bulan terakhir. Beliau semalam baru saja kembali dari Australia untuk mendampingi Presiden Jokowi dalam kunjungan kenegaraan. Ternyata, dalam tiga bulan terakhir, beliau sudah melawat berpuluh negara. Menariknya, banyak negara di Afrika yang dikunjungi yang selama ini jarang dilakukan.
Kunjungan tersebut membawa empat fokus utama dari kebijakan luar negeri Indonesia terkini. Pertama, isu rekonsiliasi di Rohingya. Isu Rohingya yang mendapat perhatian masyarakat Indonesia dalam dua tahun terakhir rupanya dimanfaatkan oleh Indonesia untuk dapat menjadi pihak penengah. Sebab, konflik akan memunculkan banyak dampak yang harus ditanggulangi sejak awal. Antara lain, memicu terjadinya radikalisme dan meningkatnya irregular movement of person sebagai pengungsi ke negara sekitar. Indonesia saat ini menampung sekira 15 ribu pengungsi yang sebagian masih belum memiliki tempat tinggal. Maka, dari tiga bulan terakhir, kunjungan ke Myanmar mendominasi sebanyak tiga kali. Indonesia juga hadir di dalam pertemuan khusus dari OKI di Kuala Lumpur untuk membahas rekonsiliasi Rohingya.
Kedua, Indonesia sedang berupaya mencari mitra perdagangan non-tradisional. Bila selama ini kerja sama perdagangan tradisional kita erat dengan Amerika, Eropa, dan Asia, seiring dengan melambatnya perekonomian dunia, perlu dicari pasar baru. Terutama ialah pasar Afrika, Amerika Latin, dan Euroasia. Pencarian pasar ini tentu untuk meningkatkan ekspor dan mendiversifikasi negara tujuan.
Ketiga, Kementerian Luar Negeri sedang mengupayakan penyelesaian masalah yang sedang menimpa pasukan peacekeeping Indonesia di Sudan. Sebagaimana yang diberitakan, pasukan perdamaian Indonesia diduga menyelundupkan senjata ilegal. Padahal, dari hasil investigasi yang dilakukan oleh tim hukum kepolisian RI, tidak ditemukan bukti yang memadai. Maka, Kemenlu mengupayakan pemulangan anggota pasukan tersebut.
Terakhir, fokus terbaru ialah penyelesaian kasus Siti Aisyah yang diduga melakukan pembunuhan terhadap saudara dari Kim Jong Un. Setelah sebelumnya pihak Indonesia cukup sulit mendampingi, sejak Sabtu lalu akses konsuler dibuka. Kementerian Luar Negeri pun melakukan pendampingan hukum dengan melakukan pencocokan data-data yang diperlukan. Semua ini diupayakan agar menjamin hak-hak hukum dari Siti Aisyah.
Setelah menceritakan fokus kebijakan luar negeri Indonesia terkini, beliau menjelaskan bagaimana kondisi dunia saat ini. Dunia saat ini menjadi semakin tidak menentu. Sebab, konflik terjadi di berbagai penjuru dunia. Perang pun banyak terjadi di berbagai tempat. Di Amerika Serikat, terpilihnya Trump sebagai presiden turut menimbulkan adanya fenomena baru, yakni ketidakpastian. Bu Retno mengatakan, bahwa ketidakpastian menjadi sebuah kepastian dewasa ini. “Uncertainty become more obvious” ujarnya. Pada akhirnya, hal ini menuntut adanya kesiapsiagaan Indonesia untuk dapat menghadapi kondisi yang demikian.
Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo juga memilii empat prioritas dalam politik luar negeri. Yakni, perlindungan terhadap NKRI, perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri, melakukan diplomasi ekonomi, dan meningkatkan perannya di dunia internasional. Semua tentu harus berpatokan pada kepentingan nasional Indonesia dan berlandaskan pada amanat konstitusi, yakni turut serta dalam menjaga perdamaian dunia.
Untuk mewujudkan hal ini, Indonesia dinilai memiliki banyak keunggulan. Setidaknya ada lima kekuatan yang Bu Retno katakan. Pertama ialah Indonesia merupakan negara demokrasi yang cukup sukses. Kedua, kondisi pluralitas di Indonesia yang terjaga dengan baik. Ketiga, toleransi masyarakat Indonesia yang harmonis. Keempat, kondisi politik dalam negeri yang stabil. Terakhir, ekonomi Indonesia yang tumbuh secara stabil di atas lima persen per tahun, dan menjadi terkuat ketiga di antara negara anggota G-20.
Maka, dari keunggulan dan prioritas politik luar negeri Indonesia tersebut, tempat bermainnya Indonesia di dalam diplomasi global menjadi lebih jelas. Pertama, Indonesia aktif dalam operasi penjagaan perdamaian dunia. Saat ini, sekira 2.800 pasukan penjaga perdamaian Indonesia yang tersebar di banyak tempat. Kedua, dengan kondisi keberagaman Indonesia yang harmonis, Indonesia rutin dalam menjalankan dialog antar keagamaan. Ketiga, Indonesia secara konsisten mempromosikan nilai demokrasi. Keempat, ekonomi yang berfokus pada kesejahteraan rakyat. Terakhir, politik luar negeri Indonesia harus membumi. Dalam artian, dirasakan oleh seluruh rakyat di tanah air.
Di sesi tanya jawab, terdapat lima pertanyaan dari empat peserta. Pertama, mengenai isu Rohingya. Ibu Retno menekankan kembali bahwa peran Indonesia setidaknya ada tiga. Yakni dalam tataran kebijakan, untuk melakukan demokratisasi dan rekonsiliasi, dalam hal capacity building, melalui pembangunan sekolah yang mengajarkan untuk menerima kemajemukan, dan economic empowerment, sebab Rakhine merupakan salah satu provinsi termiskin di Myanmar. Kedua, mengenai kasus Freeport, bahwa hubungan Indonesia-AS tetap baik dan akan berpegang pada ketentuan yang berlaku. Ketiga, kedatangan Raja Salman dari Saudi Arabia akan membahas isu ekonomi sebagai fokus pembicaraan. Keempat, dalam masalah Papua Barat, Kemenlu akan mempertahankan kedaulatan Indonesia. “Indonesia tidak akan mundur satu senti pun untuk integritas wilayah di Papua”, tegasnya. Terakhir, dalam masalah keikutsertaan Indonesia di Melanesian Spearhead Group (MSG), bahwa Indonesia merupakan Associate member. Sebab, masyarakat Melanesia terbesar berada di Indonesia, yakni sekitar 11,5 juta orang. Maka tidak relevan bila mereka mendukung lepasnya Papua dengan alasan etnis.