Mohon tunggu...
Falsist Bluesboy
Falsist Bluesboy Mohon Tunggu... lainnya -

saya hanya orang yang ingin tahu sedikit tentang banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

draft - bab satu

30 Mei 2014   14:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:57 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[sebuah novel]

Bagian Pertama

“Jika kau bisa pergi ke masa lalu, sejauh mana kau akan melangkah?”

Bab 1

1988

“Tidak, Kal, sudah cukup. Aku tidak mau ambil resiko!” kata Joni saat Ikal mengatakan rencananya. “Aku tidak mau hidup seperti ini terus. Aku lelah jika harus selalu berlari dan bersembunyi dari orang-orang.” Kepalanya tertunduk, memandangi gelas di tangan yang isinya sisa setengah.

"Tapi, Jon, kumohon... ikutlah... Cuma kamu sahabat yang aku percayai." Pria bertubuh tinggi tegap itu menatapnya penuh harap.

Joni terdiam. Dia memutar-mutar gelas yang ada di genggamannya, lalu menenggaknya sampai habis. "Kalau benar kamu sahabatku, tak mungkin waktu itu kamu meninggalkan aku untuk dikeroyok."

Giliran Ikal terdiam. Ditatapnya wajah milik sahabatnya itu lamat-lamat. Masih ada sisa lebam di wajah Joni. Ikal ingat, beberapa hari lalu mereka pernah memalak dua orang pemuda di depan sebuah mall. Ikal yang merasa tidak sabaran, merebut barang bawaan mereka dan memukul salah satu pemuda itu. Dan ternyata mereka adalah orang-orang pribumi. Ikal dan Joni dikejar segerombolan anak muda yang membawa balok dan batu. Sial bagi Joni, dia tertangkap dan menjadi bulan-bulanan gerombolan tersebut. Beruntung ada beberapa pedagang kaki lima di sekitaran mall yang melerai perkelahian tidak seimbang itu. Joni pulang dengan wajah memar dan darah yang mulai mengering di kepalanya. Keesokan harinya Ikal membawa Joni ke puskesmas terdekat dan mendapatkan tujuh jahitan di kepala.

“Tapi kali ini beda, Jon.” Ikal segera tersadar dari lamunannya. “Target kita besar! Kita bisa hidup bahagia dan kaya raya jika rencana ini berhasil!” tambahnya berapi-api. Ikal menenggak minumannya hingga tandas, lalu mengisi kembali gelas kosong itu dari botol yang ada di meja di hadapannya. Aroma minuman murah beralkohol semakin menguar menyesaki ruangan.

Joni ikut menuang minuman ke gelas yang digenggamnya, meminumnya sedikit, dan kembali memutar-mutar gelas itu. Ikal paham, Joni selalu melakukan hal itu jika sedang berpikir, memutar-mutar sesuatu yang dipegangnya. Dan Ikal tahu bahwa saat ini Joni sedang ragu antara menerima atau menolak ajakannya.

“Ayolah, Jon... kali ini saja... setelah ini aku janji, kita akan menentukan jalan masing-masing. Tolonglah... demi persahabatan kita.” Ikal mengiba.

“Tapi pekerjaan ini tidak membawa kita kemana pun, Kal!” suara Joni sedikit meninggi. “Aku ingin hidup normal, mencari pekerjaan halal, menikah, dan memiliki keluargaku sendiri tanpa harus merasa ketakutan setiap hari.”

Ikal terdiam beberapa saat. Menatap penuh heran ke arah Joni seolah tak percaya apa yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya itu. Ikal terbahak. Rambut sebahunya ikut bergoyang. “Mencari pekerjaan halal, katamu?” Dia kembali terbahak. Tawanya masih sekeras tadi. “Kamu mulai pandai bicara, Jon... apa yang bisa kamu kerjakan?”

Joni terdiam.

“Dan, menikah?” tawa Ikal semakin keras. “Itu adalah lelucon terbodoh yang pernah aku dengar dari orang seperti kamu, Jon....”

Joni tetap membisu. Mukanya memerah. Sulit dibedakan, apakah itu karena pengaruh alkohol atau karena menahan marah.

“Hey!” Joni menggebrak meja dan berdiri. Gelas dan botol yang ada di atas meja ikut bergoyang, beberapa isinya menyiprat keluar. Dia lalu menunjuk muka Ikal. “Kamu boleh tertawa sepuas hatimu. Tapi aku tetap tidak akan ikut permainanmu lagi. Titik! Aku pernah hampir mati gara-gara kecerobohanmu. Dan itu sudah lebih dari cukup buatku!”

Ikal yang masih duduk di hadapan Joni ikut berdiri. Egonya terusik. Wajah mereka berdua sama-sama merah. “Oh ... jadi seperti ini caramu memerlakukan sahabatmu, Jon?!” mata Ikal tajam menatap Joni.

“Sahabat, katamu?” Joni mencibir. “Sahabat tidak akan meninggalkan sahabatnya dipukuli dan menjadi santapan orang lain!”

Di bawah pengaruh alkohol, mereka beradu mulut, saling mempertahankan ego masing-masing. Tiba-tiba Ikal meraih gelas yang ada di hadapannya dan menyiramkan isinya kepada Joni.

Mendapat serangan yang tak terduga, Joni mundur satu langkah. Kemudian, tanpa melap bekas minuman yang membasahi mukanya, dia maju menerjang Ikal. Menabrak meja. Membuat botol-botol dan gelas yang ada di atasnya berserakan di lantai tanah yang mengeras. Mereka bergumul. Napas keduanya memburu, saling memukul.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Ikal sudah ada di atas tubuh Joni, menindihnya. Tangan Ikal mencekik leher Joni dengan kuat. Joni meronta. Tangannya berusaha menggapai sesuatu sebagai senjata.

Lalu kemudian, PRAKK!!

Sebuah botol mendarat di kepala Ikal. Cairan merah membasahi sebagian wajah Ikal. Ikal terkulai lemas di samping Joni. Kini giliran tubuh besar Joni yang menindih Ikal. Tangannya yang masih memegang botol yang kini pecah, di tarik ke belakang, sedangkan tangan satunya mencekik leher Ikal. Napas keduanya semakin memburu. Ikal menatap kosong ke arah Joni yang sudah siap mengayunkan botol ke arah Ikal. Joni menarik napasnya dalam-dalam seolah mengumpulkan kesadaran dan akal sehatnya. Joni sadar, walau bagaimana pun, Ikal adalah teman seperjuangannya. Mereka pernah bersama-sama melewati masa sulit di perantauan.

Joni membuang botol yang ada di genggamannya dan terduduk di samping Ikal yang masih terbaring. Pakaian keduanya terlihat kotor akibat pergulatan yang baru saja terjadi. Dada mereka naik turun.

“Kenapa kamu berhenti? Ayo lanjutkan!” tantang Ikal.

Joni berdiri sempoyongan.

“Kamu memang pengecut, Jon. Pengecut!”

Joni tetap diam, mengibaskan kotoran-kotoran yang melekat di pakaiannya. Dia melangkahkan kaki dengan gontai ke arah pintu dan menggapai gagangnya.

Ikal terduduk di lantai. “Ayolah, Jon, kali ini saja. Aku butuh uang yang banyak,” serunya. Nada suaranya bergetar.

Joni menghentikan langkahnya. Tangannya terhenti di gagang pintu, lalu ia memutar sedikit tubuhnya. “Maaf, aku tidak bisa menemanimu kali ini, Kal. Kamu boleh menganggapku bukan sebagai sahabatmu lagi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku bukanlah musuhmu!” Joni membuka pintu dan berjalan gontai meninggalkan Ikal yang meringis kesakitan. “Dan uang yang banyak takkan bisa menjamin hidupmu akan bahagia.”

~o0o~

Pada tahun yang sama, lengking tangis bayi memecah keheningan malam. Tangisan itu berasal dari sebuah rumah bercat putih yang terletak di sudut jalan perkampungan. Dua buah lampu taman menghiasi halamannya yang ditumbuhi rerumputan hijau. Pagar kayu setinggi perut orang dewasa memisahkan halaman rumah itu dengan jalan tanah yang menghubungkan ke jalan raya.

“Selamat, Bu, anaknya perempuan,” kata seorang wanita berusia awal empat puluhan. “Dan sehat,” tambahnya lagi. Tubuh gemuk wanita itu semakin kentara di balik pakaian putih yang dia kenakan. Seorang bayi mungil menangis di gendongannya. Bercak darah yang menempel pada kulit bayi itu menodai beberapa bagian pakaiannya. Wanita itu segera membersihkan bayi perempuan itu dengan air yang tersedia di samping ranjang.

Seorang wanita lain yang lebih muda tampak kelelahan. Wajah pucatnya menyiratkan sisa-sisa kesakitan dan perjuangan yang luar biasa. Beberapa helai rambut bercampur dengan bulir keringat yang menempel di keningnya. Dia memalingkan muka ke arah yang berlawanan, seolah tidak ingin melihat bayi yang keluar dari rahimnya itu. Beberapa detik kemudian badannya terguncang, mengeluarkan isak tangis yang hampir tidak terdengar.

Wanita berpakaian putih itu pun segera membawa sang bayi ke pangkuan ibunya, setelah dia selesai membersihkan tubuh bayi perempuan itu dan menyelimutinya. Si ibu masih terbaring lemah di sebuah ranjang yang berukuran dua kali satu meter. Isakannya masih terdengar lirih.

“Sudahlah, Sri, tak usah kamu menangis begitu. Susui bayimu, dia sangat membutuhkan kasih sayangmu,” kata wanita bertubuh gemuk itu sambil memberikan bayi yang ada di pelukannya ke pangkuan si ibu kandung.

Ibu muda yang dipanggil Sri itu menoleh dan memasang senyuman di bibirnya. Senyuman yang datar, tanpa ekspresi, dan seolah dipaksakan. Dia menyambut sang bayi ke dalam pelukannya, mengeluarkan salah satu dadanya dan memberikan ke mulut si bayi. Bayi itu berhenti menangis. Dan kemudian dia tertidur.[]

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun