Saat itulah aku tahu: aku tidak butuh rumah, tidak butuh dunia... karena rumahku adalah pelukanmu
Malam itu hujan turun deras. Kota seolah membungkam segala suara selain denting air dan debar hati yang tak bisa kudiamkan.
Aku berdiri di bawah lampu jalan, berpayung hitam, sepatu hak merahku sedikit belepotan lumpur basah karena enggan meninggalkan titik temu yang sudah lama kita janjikan.
Aku tahu, kau selalu datang... meski kadang terlambat, meski kadang dengan langkah yang diseret letih dunia.
Dan seperti yang selalu kau lakukan... kau datang.
Berwajah lelah tapi mata bercahaya. Kau mengenakan jas abu-abu dan sepatu yang sedikit belepotan lumpur, tapi senyummu tetap ganteng.
Kau tak tahan lagi. Menghampiriku, lalu merengkuh tubuhku yang menggigil. Aku sempat mendorongmu pelan, malu karena orang melihat. Tapi kamu tak peduli.
"Aku sudah terlalu lama kehilangan peluk ini," bisikmu.
Aku diam. Lalu perlahan, kusandarkan kepala di dadamu. "Aku capek... Tapi kamu bikin aku lupa semua capekku."
Di antara hujan, suara klakson, dan lampu kota, kita berdiri dalam diam paling nyaman. Saat itulah aku tahu: aku tidak butuh rumah, tidak butuh dunia... karena rumahku adalah pelukanmu. Dan aku pulang, setiap kali kau memelukku seperti malam itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI