Sejak peristiwa 7 Oktober, Israel senantiasa memposisikan negaranya sebagai korban. Mereka selalu bertitik tolak pada tanggal tersebut tanpa flashback ke belakang tentang pemicu kejadian. Sekian dekade Palestina menjadi bulan-bulanan Israel, wilayah diduduki, tanah dan properti dirampas, serta anak-anak dipenjarakan, namun Palestina yang miskin tak pernah menyebut mereka sebagai korban. Mereka hanya diam, karena kalah dalam hal diplomasi, tekhnologi, ekonomi dan persenjataan.
Banding terbalik dengan Israel. Negara Zionis ini selalu sibuk berdiplomasi, propaganda, dengan segala macam taktik dan strategi, mampu menghipnotis wilayah global untuk manggut-manggut. Bahkan raksasa kekuatan ekonominya mampu membuat Google dan Amazon setuju dengan proyek Nimbus, sehingga mudah memata-matai warga Palestina.
Perlakuan Israel yang betul-betul menunjukkan sebagai penjajah sejati. Dibuktikan dengan pengawasan menyeluruh terhadap warga Palestina, hingga bekerjasama dengan Google dan Amazon dalam proyek Nimbus, demi memasok layanan komputasi awan kepada Israel dan militernya. Yang tentu saja, Â memiliki resiko kepada warga Palestina.
Menurut Cloud William (Billy) Van Der Laar, ahli perangkat lunak Google, kode Nimbus untuk memata-matai warga Palestina tersebut dapat digunakan oleh militer Israel untuk melakukan genosida dengan dukungan Artificial Intelligence (AI), Â sebagaimana dikutip dari tempo.co (18/04/2024).
Meski kepada Majalah Time, Google berkilah bahwa proyek hanya berkaitan dengan kementerian pemerintah Israel, seperti keuangan, kesehatan, transportasi dan pendidikan. Tapi toh, proyek dianggap dapat membantu Israel melanjutkan sistem penindasan, dominasi, dan segregasi terhadap rakyat Palestina. Apalagi setelah peristiwa 7 Oktober, hampir 45 ribu warga Palestina tewas dibombardir Israel.
Bahkan lebih mirisnya lagi, Israel juga pernah menyebarkan kampanye kotor melalui Google Ads terhadap Badan Pengungsi PBB untuk Palestina (UNRWA) sebagaimana dikutip dari antaranews.com (01/09/2024).
Bahkan saat International Criminal Court (ICC) menyatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai buronan, toh ia masih mampu melenggang bebas. Meskipun banyak negara sepakat akan menangkap bila memasuki negaranya, toh semua terdengar hanya basa-basi semata. Tak segarang seperti saat Presiden Rusia, Vladimir Putin, dinyatakan sebagai buronan karena Perang Ukraina, padahal korban jiwa yang ditimbulkan tak segila di Jalur Gaza. Dapat dipahami bahwa betapa persekutuan barat sedemikian sangat kuat berkelindan.
Puluhan karyawan Google yang  merupakan lulusan kamp pelatihan pengkodean Gaza Sky Geegs tahun 2020 dipecat karena berani melakukan protes atas project Nimbus. Mereka menganggap proyek ini sarat sikap apartheid terhadap warga Palestina. Meskipun dipecat tapi tampaknya para karyawan itu justru bangga sebab menolak terlibat genosida, sebagaimana dikutip dari kompas.com (20/04/2024)
Memang harus diakui ketangguhan bangsa Palestina dibanding bangsa-bangsa  terjajah lainnya. Tanpa ketangguhan, tentu saja nasib mereka tidak akan beda jauh, dengan suku Indian yang tak memiliki Amerika lagi, atau Aborigin yang tak memiliki Australianya, atau bahkan Maori yang bagai tontonan di tanah leluhurnya sendiri.
Proyek pengendalian tanah dan rakyat jajahan memang sering di luar batas kemanusiaan. Dengan dalih pengaturan, kerapian, ketertiban tanah jajahan, maka bangsa terjajah harus tunduk patuh.
Sebagaimana saat ini kita melihat keteraturan dan modernisasi di Amerika, namun jangan lupakan, bahwa sejarah mencatat perlawanan suku Indian yang gigih. Bukan hanya resiko pemenjaraan, pembantaian, tapi juga pelecehan serta berbagai perlakuan tak manusiawi lainnya. Perlakuan serupa juga terjadi di negara jajahan lainnya. Tak ada kata manis, semua pahit serta menimbulkan trauma. Dan tentu saja, yang terjajah harus pasrah dijajah.