Komunikasi kurang baik antara guru dengan siswa
Ketika terjalin komunikasi yang baik antara guru dengan siswa, maka masalah rambut gondrong bisa diatasi dengan baik-baik saja. Komunikasi yang terjadi haruslah antara dua pihak, tidak mungkin hanya satu pihak saja.
Di satu pihak, adalah guru sebagai kepanjangan tangan sekolah, tentu saja mengajak bicara siswa dari hati ke hati tentang rambutnya. Sedangkan pihak kedua adalah siswa, yang harus didengarkan suaranya juga.
Keinginan baik sekolah untuk merapikan rambut siswa tidak akan terlaksana apabila sekolah tidak mau mendengarkan isi hati siswa juga. Ketika sekolah hanya berbicara dari satu pihak, yakni pihaknya saja, maka inilah yang disebut egois. Sifat egois dari orang dewasa merupakan contoh mudah yang akan diadaptasi siswa dengan melakukan hal serupa, yakni tak mau memotong rambutnya, bahkan terkadang dengan unsur kesengajaan, menantang gurunya.
Hal ini tidak akan terjadi, apabila sekolah benar-benar terpusat pada siswa. Sebagaima Kurikulum Merdeka mengadaptasi pola pendidikan luhur dari Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Sudah selayaknya terjalin sebuah sikap salng memahami dan menghargai. Ketika siswa merasa hak-haknya dihargai, maka ia pun akan menghargai hak-hak orang lain, dalam hal ini guru dan warga sekolah. Maka bukan hal sulit lagi agar ia merapikan rambutnya.Â
Namun bila segala sesuatu dipaksakan tanpa pengertian, maka yang akan terjadi adalah ia mempertahankan hak atas rambutnya, sehingga terjadilah pemaksaan pemotongan rambut. Mungkin memang siswa tidak melawan saat dicukur paksa rambutnya, tapi yakinkah sekolah bahwa hal tersebut tidak akan menimbulkan kebencian dan sakit hati pada anak, yang justru kian mengeraskan perlawanannya, sebab ia terlatih oleh trauma.
Kurang kuatnya ikatan batin antara sekolah dengan siswa
Ketika sekolah memperlakukan siswa sebagai anak sendiri, tentu saja tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Tujuan sekolah yang baik, tentu saja harus dikomunikasikan dengan baik pula pada siswa, sebab meskipun sekolah menganggap siswa sebagai anak sendiri, namun bila meniru tipe orangtua yang otoriter alias memaisakan kehendaknya, tentu saja tidak beda jauh dengan pembulian. Bukankah kita sering membaca bahwa sebetulnya tukang buli pertama dalam kehidupan anak adalah orangtua?
Kita pernah mendengar, orangtua kadang mengancam anaknya dengan suatu hukuman bila tidak mau melakukan hal yang dikehendaki orangtua. Bahkan ancaman hukuman yang diberikan terkadang bukan hanya secara verbal seperti menakut-nakuti. Namun sudah mengarah pada ancaman fisik, seperti memukul, mencubit, atau menampar.
Diharapkan sekolah tidak mengadaptasi perilaku orangtua otoriter terhadap anaknya. Sebab orangtua yang otoriter jelas akan melahirkan  karakter anak-anak yang pembangkang dan keras kepala.
Sehingga bisa kita pahami, bahwa sebuah sekolah yang menerapkan aturan dengan otoriter, maka akan makin banyak juga pelanggaran yang tejadi di dalamnya, termasuk razia rambut. Sekolah memaksakan rambut pendek dengan otoriter, maka siswa yang berubah menjadi keras kepala akan ngeyel tidak mau memotong rambutnya sebagai bentuk pelawanan.