Mendidik secara pancasila akan sangat mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari apabila tidak lagi berwujud teori dan hapalan yang memusingkan tapi berupa praktek dan kebiasaan
Banyak orang merasa pusing tujuh keliling ketika dihadapkan pada pilihan untuk menghadirkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Bayangan rumit, menghapal sila-sila, butir-butir pancasila, UUD 1945 dan sejenisnya, dianggap sebuah doktrin rumit, panjang, dan melelahkan.
Padahal sesungguhnya tak segalau itu. Sebab bila hanya diharuskan dengan menghapal sila-sila dasar negara, lambang, simbol, lagu kebangsaan serta contoh penerapannya, tentu saja bakalan rumit, karena hal tersebut hanyalah merupakan teori.
Pemahaman dan pengamalan pancasila tingkat tinggi
Mendidik secara pancasila akan sangat mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apabila tidak lagi berwujud teori dan hapalan yang memusingkan, tapi berupa praktek dan kebiasaan.
Pemahaman pancasila yang hanya berupa hapalan sila-sila, butir-butir, pasal-pasal  UUD 1945 dan sebagainya. Maka hal tersebut menunjukkan pemahaman dan pengamalan tingkat rendah.
Sedangkan pemahaman dan pengamalan pancasila tingkat tinggi tidak perlu serumit itu, sebab nilai-nilai dasar negara telah mendarah daging, menjadi kebiasaan dan cerminan kehidupan. Tentu saja karena terbiasa, sehingga mudah dan tanpa hambata dalam penerapannya.
Contoh paling mudah dalam hal ini. Saat seseorang merasa risih ketika melihat pelanggaran norma, dan berkeinginan untuk merubahnya, atau setidaknya dalam hati menolaknya sebab bertentangan dengan hati nurani. Maka sesungguhnya hal tersebut telah menunjukkan sebuah wujud penerapan pancasila.
Atau ketika seseorang taat dan patuh pada ajaran agama, melakukannya dalam keseharian, maka itu pun merupakan wujud pancasilais. Sebab tak ada ajaran agama yang mengajarkan keburukan. Sementara pancasila dalam sila-silanya merupakan intisari dari semua perilaku luhur manusia yang bersumber dari Tuhan pada sila pertamanya.
Sebagian orang salah kaprah dalam memandang pancasila. Mereka beranggapan bahwa pancasila adalah sebuah agama baru yang dipaksakan negara untuk diyakini. Apalagi ditambah menghapal pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, jelas dianggap doktrin menyesatkan.Â
Padahal kenyataannya tidak demikian. Pancasila sebagai sebuah kesepakatan daripahlawan pendiri negara kita, yang berdiri di atas kepentingan suku, agama, ras, dan antar golongan, maka sudah sewajarnya dipakai sebagai sebuah patokan, bukan keyakinan baru.
Kita tidak bisa membayangkan, ketika semua orang tidak bersedia menjadikan pancasila sebagai patokan. Maka akan terjadi keinginan menang sendiri, dengan mengabaikan kepentingan yang lain. Masing-masing individu berdiri pada keyakinan dan kepentingannya sendiri, tentu negara akan kacau-balau.
Ketika timbul permasalahan, lalu setiap orang mengatasinya dengan berpatokan pada lepentingan agamanya sendiri, sukunya sendiri, rasnya sendiri, atau pun antar golongannya sendiri. Akibatnya, kepentingan bangsa dan negara akan terabaikan. Sehingga dapat dibayangkan betapa kacau-balaunya negara ini bila dipaksakan demikian.
Pancasila bukan sebuah agama, itulah yang menjadi alasan mengapa setiap warga negara berhak meyakini Tuhan dan kepercayaan, serta menjalankan agamanya. Tak ada yang berhak melarangnya. Dengan memeluk dan meyakini agamanya, maka hal tersebut adalah juga termasuk pancasilais. Demikan juga dengan hal-hal lainnya.
Terjadinya sikap primordialisme, cinta suku berlebihan dengan merendahkan dan menghina suku lain, tentu saja bertentangan dengan pancasila. Sudah jelas ketika kita melanggar agama, maka akan ada juga nilai-nilai pancasila yang dilanggar. Sebab pancasila itu sendiri adalah kristalisasi dari nilai luhur yang diambil dari keyakinan agama dari warga negaranya.
Dengan pemahaman pancasila tingkat tinggi seperti di atas, tentu saja akan membuat kita kian memahami, bahwa menerapkan dan mengajarkan pendidikan pancasila dalam semua tingkat kehidupan tidaklah sulit, asal konsisten dilakukan.
Saat seseorang telah terbiasa menaati norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta hukum. Maka sesungguhnya orang tersebut telah sukses dalam menjalankan pendidikan pancasila tingkat tinggi secara sempurna. Sehingga layak disebut pancasilais sejati.
Banding terbalik dengan orang yang terbiasa melanggar segala norma, tentu saja tak dapat disebut pancasilais sejati, karena jelas terlihat bahwa ia tak mampu menerapkan nilai-nilai luhur pancasila.
Jadi jelas, ketika pendidikan pancasila  hanya berupa membaca dan menghapal sila-sila saja, maka hal tersebut dikategorikan pendidikan tingkat rendah. Namun ketika sila-sila itu telah diwujudkan dalam keseharian, merupakan bukti nyata bahwa pendidikan pancasila telah sampai pada tahap tingkat tinggi, tidak hanya omdo (omong doang).
Cara Mendidik Pancasila di tengah gempuran ideologi negara lain
Tak perlu berbicara teori yang muluk-muluk tentang pancasila, juga tak harus berpidato menggebu gebu, atau pun hanya menghapal seluruh sila, butir-butirnya, atau juga aturan hukumnya, bila ternyata kacau-balau dalam pengamalannya.
Lalu bagaimana cara menerapkan pendidikan pancasila tingkat tinggi kepada generasi muda di tengah gempuran ideologi liar dari negara lain yang kadang menggerus nilai-nilai luhur bangsa kita?
Beri contoh langsung bukan teori
Terkadang kita sering melihat generasi tua sangat kental dengan segala macam teori, namun hanya berupa teori. Teori tentang pancasila hapal luar dalam, tapi dalam perilaku sama sekali jauh dari teori yang diajarkan.Â
Generasi muda yang dinamis tentu saja ngeh, bosan, bahkan mungkin jenuh mendengarnya karena tidak menarik sama sekali di mata mereka. Akibatnya mereka menjelajah jauh melihat ideologi negara lain yang dirasa lebih menarik. Padahal dibaliknya terselubung propaganda berupa contoh-contoh perilaku secara langsung, yang bagi generasi muda lebih mudah diterapkan.Â
Meskipun kenyataanya kadang bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, namun karena daya tarik dan kemudahan yang ditampilakan setiap saat, tentu saja dapat menggerus nilai-nilai luhur bangsa sendiri.
Jangan hapalan melulu tapi praktekkan
Pendidikan pancasila yang biasanya diberikan di sekolah seringkali hanya berupa teori. Meskipun sang pendidik menjelaskannya dengan penuh semangat, tapi kalau tak pernah dipraktekkan dalam keseharian, tentu saja omong kosng.
Sehingga bukan hal yang mengherankan lagi dengan terjadinya tawuran dan pembulian yang kerap terjadi, baik di lingkungan pendidikan atau pun lingkungan luar sekolah. Hal itu akibat pendidikan pancasila yang diberikan hanya berupa hapalan teori semata.
Memang tak ada salahnya teori, sebab diperlukan untuk tambahan ilmu pengetahuan. Tapi pancasila sebagai sebuah ideologi, bukankah sepatutnya dipraktekkan?
Contoh paling mudah, adalah ketika pendidik tidak menginginkan terjadinya perundungan di sekolah. Selain mengajarkan tentang sila-sila pancasila, terutama sila persatuan indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, maka sudah sepatutnya ada praktek nyata. Misal saat siswa bertengkar dengan temannya, merupakan kesempatan emas bagi pendidik untuk mempraktekkan pentingnya sila ketiga dan keempat terhadap anak didik.
Demikian juga dalam keseharian, pendidik mempraktekkan seluruh nilai-nilai pancasila. Guru taat beragama, mendamaijan kelas, mengajak siswa bermusyawarah ketika membahas segala sesuatu, guru bersikao adil dalam memperlakukan siswa.Â
Demgan demikian maka siswa dapat merasakan contoh langsung yang dapat mereka tiru dan terapkan. Hal ini jelas menunjukkan berhasilnya guru mendidik pancasila, tanpa harus berkubang dalam teori saja.
Orangtua di rumah, pengurus lingkunan, RT, RW, dan sebagainya. Apabila mereka betul-betul menaati dan mempraktekkan norma norma agama, kesopananan, kesusilaan, dan hukum dalam kehidupan secara baik dan benar. Tentu saja sudah merupakan pendidikan pancasila yang ideal.
Bila sudah demikain, maka sudah pasti tawuran antar sekolah ataupun antar kampung tidak akan terjadi. Sebab semua telah bijak dalam mempraktekkan dasar negaranya.
Ajak diskusi tentang keluhuran pancasilaÂ
Perlunya menyisihkan waktu sejenak untuk generasi muda, demi mengajak mereka berbicara dari hati ke hati tentang pancasila. Sebetulnya membicarakan tentang pancasila tidak harus memberi wejangan kepada mereka tentang sila-sila. Namun lebih bersifat mengajak diskusi tentang sejauh mana ketaatan mereka pada agama, masih adakah Tuhan di hati mereka, masihkan norma kesopananan ditaati, apakah perlakuan mereka terhadap  orang yang lebih tua masih sopan. Bila tidak, kenapa bisa terjadi? Apakah mereka melanggar norma hukum seperti tawuran, ikutan geng motor yang tidak karuan, ataukah pacaran kelewat batas?
Generasi tua bisa melakukan diskusi tentang hal tersebut dengan generasi muda. Dengan adanya ajang diskusi, bahkan boleh disebut curhat. Maka akan terjalin ikatan emosional dan sikap percaya dari generasi yunior terhadap generasi senior. Sehingga segala masalah pelik dapat terpecahkan dengan pemikiran bijaksana dari generasi senior yang lebih berpengalaman dalam asam garam kehidupan.
Sebab tak jarang saat ini, kita melihat justru yang banyak terjadi adalah pertentangan antara generasi senior dengan generasi yunior. Generasi senior merasa generasi yunior sangat tidak sopan dan kurang ajar. Sementara generasi yunior justru melihat generasi senior sangat kolot dan membosankan karena sellau memaksakan kehendaknya.
Akibat tidak adanya titik temu antara dua generasi ini, maka tak jarang kita melihat anak yang melawan orangtua hingga minggat dari rumah, ikutan geng motor yang ugal-ugalan, atau tawuran demi menunjukkan identitas diirnya agar diakui generasi senior.
Dengan oendidikan oancasila yang baik, maka kesalahpahaman sebagai penyebab hal-hal negatif tersebut tidak akan terjadi.
Berpikir waras tentang keadaan bangsa
Ketika generasi yunior dan generasi senior telah kompak dan serasi, maka bukan hal yang sulit lagi untuk mengajak berpikir waras tentang kondisi bangsa ini.
Sebagai generasi penerus, sudah oasti masa depan bangsa ada di tangan mereka. Akan sangat disayangkan bika diajak diskusi justru menimbulkan kesalahpahaman, akibatnya generasi yunior akan menjadi sulit distur dsn tak peduli dengan keadaan banga.
Hal ini jelas membahayakan negara kita, sebba dapat menggerus persatuan dan kesatuan bangsa. Memicu disintegritas bangsa. Sehingga tidak mengherankan lagi bila kemudian terdapat generasi muda yang memilih pindah kewarganegaraan demi membela negara lain, apakah menjadi tentara, mata-mata, atau bahkan pembelot demi sebuah ambisi dan materi.
Kekompakan dan kecocokan dari hati ke hati antar generasi sangat diperlukan. Sebab dengan terciptanya keharmonisan, maka akan mudah dalam melihat dan menangani persoalan bangsa.
Hal di atas sangat mendesak dilakukan di saat ini, sebab generasi muda adalah benteng pertahananan terakhir negara ini. Ketika mereka acuh tak acuh dan tak peduli dengan kondisi bangsa, maka musnahlah peradaban sebuha negara.
Demikian cara-cara mudah menerapkan pendidikan pancasila dalam kehidupan keseharian terhadap semua generasi, terutama generasi muda sebagai pewaris peradaban negeri ini.
Selamat memperingati hari lahir dasar negara kita. Saya Indonesia, Saya Pancasila!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H