Rencana pemerintah menghapus penggunaan listrik 450 VA berkaitan erat dengan PLN yang sedang mengalami over supply listrik sebanyak 6 Giga Watt (GW). Apalagi ditambah adanya pembangkit listrik baru yang akan beroperasi di tahun depan, maka  over supply meningkat 1,4 GW menjadi 7,4 GW. Ditambah lagi, pemerintah sedang mengintensifkan produksi listrik dari energi baru terbarukan (EBT) pada 2030, sehingga over supply listrik PLN diperkirakan  kian membengkak menjadi 41 GW.
Jika masalah over supply yang menjadi penyebabnya, lalu mengapa harus dengan mengusik wong cilik? Yang 450 VA disuruh ganti ke 900 VA, sementara 900 VA juga disuruh pindah daya ke yang lebih tinggi lagi. Seakan-akan pemakai daya listrik rendah sebagai beban negara yang harus dijejali dan dipaksa membeli kelebihan listrik pemerintah. Bukankah listrik over supply bukan salah dan dosa rakyat kecil?
Wacana penghapusan daya 450 VA menjadi. 900 VA memang memanusiawikan wong cilik asalkan subsidi tetap disertakan, pembayaran tetap seperti semula, sehingga tidak menimbulkan gejolak akibat leher rakyat kecil tercekik. Mungkinkah langkah tersebut akan ditempuh pemerintah? Sebab bila tidak, maka akan terkesan rakyat kecil selalu dipaksakan dengan maunya pemerintah. Kekhawatiran bila terus dipaksa dan dipaksa, akan menimbulkan perlawanan rakyat seperti di Srilangka beberapa waktu lalu.
Belum usai wacana penghapusan daya 450 VA, tiba-tiba dari istana menyeruak kabar bahwa Presiden Jokowi menggulirkan wacana menghapus LPG 3 kg  melalui pembagian gratis kompor listrik., lagi-lagi alasannya demi mengatasi over supply listrik negara. Lalu dimana salah dan dosa rakyat kecil hingga dipaksa mentah-mentah menelan kelebihan listrik tersebut?Â
Seandainya penghapusan tabung gas 3 kg tidak membebani keuangan rakyat yang sudah terhimpit tentu tidak jadi masalah. Namun bisa yang terjadi sebaliknya, maka akan timbul gejolak ekonomi yang makin mencekik leher rakyat.
PT PLN memang sedang mendorong program konversi LPG 3 kilogram ke kompor induksi. Manajemen PLN mengklaim bahwa dengan menggunakan kompor listrik, biaya memasak bisa lebih hemat 10% hingga 15%. Â Bahkan menyebut konversi tidak akan mengubah daya tarif listrik bagi golongan yang bersubsidi baik itu 450 VA maupun 900 VA sebagaimana dikutip dari bisnis.kontan.co.id (14/09/2022), namun kemudian timbul wacana penghapusan daya 450 VA oleh Banggar serta kabar over supplynya listrik negara.Â
Dalam Rapat Kabinet Terbatas yang dipaparkan Menko Perekonomian, bahwa pada 2022 PLN ditugaskan melakukan uji klinis sebesar 300.000 kompor induksi, Â kemudian pada 2023 hingga 2025 Â program uji klinis ini ditambah 5 juta kompor induksi per tahun, dan menjadi program pemerintah sebagai energy strategy dan energy policy. Â
Kebijakan pasti diterima jika tidak membawa gejolak ekonomi di belakangnya, namun bila ternyata membawa gejolak, wong cilik makin resah dan susah, lalu dimana peran negara dalam membantu rakyatnya yang baru saja dicekik dengan kenaikan BBM sementara BLT tak mencukupi?
Rakyat kian bingung dengan wacana-wacana yang ada. Jika alasannya karena subsidi listrik daya 450 VA tak tepat sasaran, haruskah mengorbankan rakyat miskin? Sudah sepatutnya PLN mengadakan  survei super teliti, sehingga tidak akan terjadi kasus salah sasaran dengan mengorbankan wong cilik yang sesungguhnya.
Wacana penghapusan tabung gas 3 kg kabarnya juga akibat salah sasaran, namun jangan karena survei yang tak akurat membuat rakyat kecil menjadi bulan-bulanan, justru harus ditangkap pelaku.
Kita pasti ingat bagaimana dahulu saat pemerintah berusaha menghapuskan minyak tanah dari kehidupan wong cilik. Hal itu berhasil meskipun sedikit dipaksakan, wong cilik manut, dengan patuhnya mengikuti kemauan pemerintah. Namun kemudian tiba-tiba gas 3 kg langka di pasaran, disusul beruntutnya kasus ledakan tabung melon yang menjadi hiasan berita sehari-hari. Ternyata usut punya usut tabung yang banyak meledak adalah produk negara Tiongkok. Siapa yang pesan ke sana? Apa mungkin wong cilik pengonsumsi awal tabung melon yang pesan? Imposible, semua adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah, namun wong cilik yang terkena ledakan.