Mohon tunggu...
Qudsi Falkhi
Qudsi Falkhi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Falkhi, perempuan penyuka pernak-pernik tengkorak ini bercita-cita untuk menulis sepanjang usia. Bahkan sampai jadi tengkorak kalau bisa, ups! hehehe. Saya gemar menulis untuk bidang sains dan pendidikan. Eits, ini khusus jika saya dalam kondisi fokus untuk menulis. Jika tidak? Saya menulis apa yang ada di otak tempurung, bisa pariwisata, hobby, kuliner, segala macam pokok bahasan deh. Penasaran? Langsung aja ke TKP! www.falkhi.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ramuan “Segitiga Penulis” Ala Korea

7 Juni 2014   05:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tertidur saat membaca buku pelajaran? Itu hal yang biasa. Beberapa orang sering mengalaminya. Terutama siswa yang terpaksa membaca karena keesokan harinya akan diadakan ujian.

Buku pelajaran adalah salah satu sumber belajar yang banyak digunakan dalam proses pembelajaran di Indonesia. Baik dalam bentuk buku teks maupun dalam bentuk bahan ajar atau lembar kegiatan siswa. Praktis dan murah. Itulah salah satu alasan guru ketika menggunakan buku teks sebagai sumber belajar di kelas.

Bagaimana sebenarnya kualitas buku pelajaran yang beredar di Indonesia?

Berdasarkan pengalaman, buku-buku pelajaran di Indonesia masih belum dapat dikatakan bermutu. Terutama dalam hal mengembangkan kreativitas siswa. Lihat saja, bentuk buku teks, bahan ajar atau lembar kegiatan siswa selalu monoton dengan persentase tulisan hampir 80% dari isi buku. Tidak hanya itu, tulisan-tulisan tersebut merupakan pembahasan teori keilmuwan dengan menggunakan bahasa ilmiah. Sehingga sering membuat siswa kesulitan menerjemahkan dalam bahasa mereka. Akibatnya buku pelajaran hanya sebagai pendamping dalam belajar, dan syarat mengikuti pelajaran. Sebab guru terkadang mewajibkan memiliki buku teks sebagai sumber belajar.

Buku pelajaran tidak hanya menoton dalam hal visual. Tetapi juga dalam konteks kurikulum. Misalnya, buku pelajaran untuk kurikulum 2013 tidak jauh berbeda dengan KTSP ataupun KBK. Perubahan hanya dilakukan pada cover, isi konten, dan tujuan pembelajaran. Sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum. Padahal dalam kurikulum 2013, proses pembelajaran ditekankan pada pendekatan ilmiah dan kemampuan untuk mengembangkan kreativitas. Tetapi buku-buku pelajaran yang tersedia, masih berwajah sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika demikian, bagaimana kreativitas dapat berkembang? Bagaimana mutu kualitas pendidikan dapat meningkat?

Pada dasarnya pendidikan adalah tanggung jawab semua warga masyarakat. Bukan hanya pada guru, ustad, sekolah, ataupun pemerintah. Dalam hal buku pelajaran, maka penulis dan penerbit juga bertanggung jawab untuk menyediakan buku pelajaran yang berkualitas. Lalu bagaimana menyediakan buku pelajaran yang berkualitas?

Coba kita belajar pada buku-buku bentuk komik buatan Korea, yang sudah digunakan dalam pembelajaran di negara asalnya. Buku keilmuwan tersebut dikemas dengan tampilan visual yang menarik. Pemaparan konten materi secara rinci dan mendalam, tetapi disajikan melalui kisah sehari-hari dengan menggunakan bahasa sederhana. Sehingga membuat siswa lebih mudah memahami suatu konsep materi kelimuwan. Siapakah penulis buku tersebut?

Jika kita perhatikan tim penulis dari buku-buku bentuk komik buatan Koreatersebut terdiri atas tiga profesi, yaitu penulis, profesor dan guru. Mengapa buku tipis dengan gambar dan bahasa sederhana tersebut harus ditulis oleh tiga orang dengan profesi berbeda? Tentu saja untuk menyediakan buku pelajaran yang berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Awalnya penulis sebagai tim kreatif akan membuat suatu tulisan dengan tema sesuai tuntutan kurikulum. Agar tulisan tersebut benar-benar tidak melenceng dari tujuan kurikulum dan karakteristik keilmuwan, maka hasil tulisan di evaluasi oleh seorang profesor sebagai ahli kurikulum dan keilmuwan. Hasil revisi tulisan berdasarkan evaluasi dari profesor kemudian diserahkan pada guru. Mengapa? Sebab guru yang paling mengetahui kebutuhan dan pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Setelah mendapat evaluasi dari guru, buku pelajaran pun siap dicetak dan diterbitkan.

Adanya proses berbentuk segitiga antara penulis, profesor, dan guru, akan menghasilkan buku pelajaran yang berkualitas. Sesuai dengan kebutuhan siswa dan selalu up to date terhadap perkembangan teknologi.

Sebenarnya di Indonesia terdapat tim assesor buku pelajaran yang terdiri dari para pakar keilmuwan. Namun sayangnya setelah dari assesor, buku tersebut langsung naik cetak dan terbit. Tidak ada evaluasi dari guru. Akibatnya buku-buku pelajaran terkadang tidak sesuai dengan situasi di lapangan.

Ada baiknya saat ini pusat perbukuan atau pun pihak penerbit memberikan kesempatan kolaborasi penulisan buku pelajaran berbentuk segitiga kepada para penulis, profesor dan guru. Dengan tujuan buku pelajaran yang beredar menarik, memiliki nilai pengembangan kreativitas dan sesuai dengan proses pembelajaran di dalam kelas. Proses kolaborasi segitiga antara penulis, profesor, dan guru juga untuk mengurangi keluhan buku pelajaran mengandung konten pronografi, tidak sesuai dengan karakteristik siswa, atau bahasa ilmiah yang tidak dipahami.

Mari dukung buku pelajaran Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun