Mohon tunggu...
Mohamad FallasTaufiqurrohman
Mohamad FallasTaufiqurrohman Mohon Tunggu... Bankir - Mahasiswa prodi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia

Saat ini sedang mengambil kuliah di Universitas Indonesia prodi Kajian Timur Tengah dan Islam, aktif sebagai praktisi keuangan islam di perbankan PT Bank CIMB Niaga Syariah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imam Abu Yusuf - Sang Hakim Agung

3 November 2022   10:24 Diperbarui: 3 November 2022   10:46 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anda pasti sering mendengar kalimat mutiara “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”, kalimat inilah yang dapat menggambarkan Imam Abu Yusuf yang merupakan hakim agung pertama pada daulah Abbasiyah. Penulis akan mencoba menggambarkan kebijaksanaan sang Imam melalui karya-karyanya yang menjadi rujukan ekonom, ahli fikih dan para cendekiawan lainnya. Tak kenal maka tak sayang untuk itu penulis akan mengajak mengenal terlebih lebih dalam sosok hakim agung ini beserta dengan karya-karyanya yang memberikan kontribusi dalam perekonomian Islam.

Biografi

Memiliki nama asli Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi Al-Baghdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf. Beliau lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Sejak kecil beliau memiliki minat menuntut ilmu yang tinggi. Beliau sangat giat belajar dan banyak meriwayatkan hadits dari gurunya antara lain Hisyam Bin Urwah, Abu Ishaq Asy-Syaibani, Ata’ Bin Sa’ib, dan orang-orang yang sejajar dan sezaman dengan mereka. Dalam hal belajar beliau menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlu ar-ra’yi yang dapat menghapal sejumlah besar hadits.

Beliau sangat tertarik untuk mendalami ilmu fiqih. Beliau mulai belajar fiqih pada Ibnu Abi Laila, Malik bin Anas dan kemudian kepada Imam Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi). Imam Abu Yusuf berguru kurang lebih selama 29 tahun kepada Imam Abu Hanifah dan tidak pernah melewati majelis ilmu bahkan ketika anaknya meninggal dunia. Menurut Imam Ibnu Qudamah, Imam Abu Yusuf tidak ikut mengurus jenazah putranya dan tidak mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya karena takut tertinggal suatu ilmu yang seharusnya didapatkan dari Imam Abu Hanifah. Murid-muridnya pun banyak yang terkenal antara lain Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani, dan Yahya bin Adam Al-Qarasy.

Abu Yusuf hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar dalam Islam yaitu akhir kekuasaan Dinasti Umayah dan masa Dinasti Abbasiyah (132 H umur Abu Yusuf (+/- 20 thn). Sekitar 166 H (+/- 54 thn) beliau memegang jabatan qadhi (hakim) pada masa kekhalifahan Abbasiyah yaitu pada zaman khalifah al-Mahdi, al-Hadi dan pada zaman Harun al-Rasyid, beliau diangkat menjadi orang pertama yang dipanggil sebagai kadi al-qudah (hakim agung).

Di akhir masa hidup beliau, imam Abu Yusuf masih giat membahas permasalahan fikih bersama murid-muridnya. Bahkan sebelum meninggal beliau masih berdiskusi dengan muridnya yang bernama Ibrahim perihal permasalahan fikih.

Karya-karya Imam Abu Yusuf

Di sela-sela kesibukannya melaksanakan tugas sebagai murid, guru, hakim dan hakim agung, Imam Abu Yusuf masih sempat menulis berbagai buku yang berpengaruh besar dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan penyebaran serta penyebaran Maszhab Hanafi. Beberapa di antara karya beliau adalah sebagai berikut:

1. Kitab Al-Atsa, kitab ini memuat hadits-hadits yang diriwayatkannya dari gurunya, yaitu Abu Hanifah. Di dalamnya juga dijelaskan tentang perbedaan pendapat beliau dengan gurunya sendiri yaitu Imam Abu Hanifah, disampaikan juga pendapat beliau sendiri serta hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut.

2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab ini mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, serta perbedaan pendapat mereka. Tidak ketinggalan pula kritik keras Abu Hanifah terhadap ketetapan peradilan yang dibuat Ibnu Abi Laila dalam memutuskan perkara. Dalil-dalil nas dan logika Imam Abu Hanifah juga dimuat dengan terperinci.

3. Kitab Ar-Radd ‘Ala Syi’ar Al-Auza’i, kitab yang memuat perbedaan pendapat beliau dengan pendapat Abdurrahman al-Auza’i tentang perang dan jihad, termasuk kritiknya terhadap pendapat al-Auza’i.

4. Kitab Al Kharaj, Kitab ini merupakan karya yang paling populer di antara karya-karya beliau yang lain. di dalamnya dijelaskan berbagai pemikiran beliau tentang fiqih dalam berbagai aspek seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah. Al-Kharaj adalah buku pertama yang membahas masalah pajak dan tata kelolanya atas permintaan khalifah Harûn al-Rasyîd untuk dijadikan panduan dalam tata kelola keuangan negara khususnya pengelolaan pajak agar para pegawai pemerintahan, khususnya bagian keuangan terhindar dan tidak melakukan perbuatan dzholim kepada masyarakat Kitab al-Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain :

a. Tentang pemerintahan, seorang khalifah adalah wakil Allah di bumi untuk melaksanakan Perintah-Nya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Kaidah yang terkenal adalah Tasharaf al-imam manuthum bi al-Maslahah.

b. Tentang keuangan; uang negara bukan milik khalifah tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dan penuh tanggung jawab.

c. Tentang pertanahan; tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.

d. Tentang perpajakan ; pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan pada kerelaan mereka.

e. Tentang peradilan; hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.

Pemikiran Ekonomi Islam Imam Abu Yusuf

1. Kebijakan Pajak (Kharaj)

Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurut beliau, cara ini lebih adil dan memberikan dan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam meperluas tanah garapan. Dengan kata lain, beliau merekomendasikan menggunakan sistem kharaj muqasamah yaitu suatu sistem di mana pajak dipungut berdasarkan hasil panen, bukan dari luas tanah garapan (proporsional tax); di mana pajak berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami atau yang tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Ini dikarenakan pada saat itu banyak tanah-tanah petani yang luas tetapi tidak subur.

Selain itu, sistem kharaj wadifah/misahah tidak memiliki ketentuan apakah pajak dikumpulkan dalam bentuk uang atau sejumlah barang. Kecenderungan perubahan harga bahan pangan (dalam hal ini gandum) selain akan memengaruhi pembayaran pajak oleh para petani juga akan memengaruhi pendapatan negara. Dengan asumsi, jika harga gandum turun maka petani akan terbebani dengan pembayaran pajak yang tetap.

Imam Abu Yusuf adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang disebut oleh para ahli ekonomi (adam smith) sebagai “canon of taxation”, yang asas pemungutan yang digunakan dalam pajak, meliputi : asas persamaan, keadilan dan kemampuan (equality, equity, dan ability); asas kepastian (certainty); asas kenyamanan pembayaran (convenience of payment); dan asas efisiensi (economy of collection).

2. Kebijakan Ekonomi Makro

Abu Yusuf merupakan salah satu ulama yang menentang penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Ini berdasarkan hadits Nabi yang menjelaskan bahwa tinggi-rendahnya harga merupkan ketentuan Allah yang tidak boleh dicampuri. Selain itu Abu Yusuf tercatat sebagai salah satu ulama yang paling awal menyinggung mekanisme pasar. Beliau memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Beliau mengatakan dalam kitab Kitab al-Kharaj:

“tidak ada batasan tertetu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal adalah ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”

Fernomena yang terjadi pada masa itu adalah pada saat terjadi kelangkaan barang maka harga akan cenderung tinggi, sedangkan jika ketika persediaan barang melimpah maka harga akan cenderung lebih rendah. Kenaikan dan penurunan harga yang berbanding terbalik dengan jumlah persediaan barang selanjutnya dapat dijelaskan dalam bentuk grafik di atas.

Hal ini lah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf yang menyatakan bahwa jika kadang-kadang makanan berlimpah tetapi harga tetap tinggi, dan kadang-kadang jumlah makanan sedikit tetapi harganya tetap murah. Abu Yusuf menyangkal pendapat umum tentang hubungan terbalik antara persediaan barang dangan harga karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan saja, tetapi juga pada tergantung pada kekuatan penawaran. Jika jumlah barang banyak dengan daya beli masayarakat yang tinggi pula maka harga juga akan mengalami kenaikan. Begitu juga sebaliknya, jika persediaan sedikit tetapi daya beli masyarakat rendah maka harga juga akan mengalami penurunan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun