Mohon tunggu...
muhammad falikh
muhammad falikh Mohon Tunggu... -

Pemalas yang berusaha melawan kemalasan, Tapi susah banget ya?... masih bergulat ma diktat al-azhar cairo univ.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Potensi Rohaniah Manusia

29 November 2009   20:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tidak sedikit orang yang enggan mendengar, apalagi mempercayai, suatu peristiwa luar biasa atau suprarasional. Namun demikian, orang beriman sulit menolak peristiwa yang diberitakan oleh agamanya walaupun tidak sejalan dengan hukum alam. Bagaimana Nabi Isa a.s. lahir tanpa ayah (QS 19:26). Konon, suatu ketika Kholifah Umar bin Khathab r.a. berkhutbah di Madinah dan tiba-tiba berteriak: "Ya Sariyah, Al-Jabal" (Wahai Sariyah, naiklah ke gunung!). sebab dilihatnya pasukan Sariyah yang ketika itu berada di Syria sedang terkepung. Teriakan Kholifah Umar r.a. didengar oleh pasukan Sariah sehingga selamat.
Ada yang menyatakan bahwa peristiwa semacam itu adalah perbuatan Tuhan yang kuasa membatalkan hukum alam, dan ada pula yang mengakuinya bahwa kejadian-kejadian semacam itu berada dalam batas hukum alam yang belum terungkap.

Pada dasarnya manusia itu terdiri dari dualisme yang saling melengkapi, yaitu manusia terdiri dari badan kasar (jasmani) dan badan halus (rohani), kalau jasmani digerakkan oleh fikiran, perasaan dan kemauan yang melahirkan kekuatan lahir. Sedangkan rohani digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang melahirkan kekutan batin.
Kekuatan lahir membutuhkan penyokong berupa makanan yang berasal dari tanah yaitu tumbuhan,binatang dan benda yang bersifat jasadiah, dan kekuatan batin juga membutuhkan penyokong berupa makanan dari Allah yaitu agama yang termaktub dalam Al-quran. Kekuatan lahir yang berupa panca indra (Tonus) bisa lelah, berbeda dengan kekuatan batin (Titonus) yang tidak akan merasa lelah.
Rohani harus mengendalikan jasmani yang cenderung ke sifat kebinatangan yang disebut dengan nafsu hewaniah dan inilah yang menjadi ia terhijab dengan Tuhannya. Sedangkan orang yang bersih hatinya akan mudah menerima nur ilahi maka ia akan mencapai Lathifatul Qalbi (Lathifatul Rabbaniah) yaitu ia telah dapat memerintah dan mengatur anggota badan jasmani. Inilah hakikat diri yang sebenarnya dan juga merupakan induk dari lathifah-lathifah yang lain (lathifatul qalbi, lathifatul ruhi, lathifatul sirri, Lathifatul khofiy, lathifatul akhfa, lathifatun nafsunathiqoh, lathifatun kulli jasad). Lathifatul Qalbi (Lathifatul Rabbaniah) ini lebih dikenal dengan nafsul muthmainnah (QS 89:27)
Dengan menggunakan cahaya matahari atau cahaya lampu, energi jasadiah manusia dapat membaca, meliaht gerak-gerik sesuatu. Cahaya yang dipantulkan oleh batu, logam, kertas atau benda lainnya menembus lensa mata, mengenai retina, kemudian melalui sel-sel urat syaraf, proses fisika yang di alami cahaya itu di ubah menjadi proses kimiawi, biologis, terus kepusat penelitian dalam otak. Dalam pusat penelitian itu terjadilah peralihan proses jasadiah kepada proses ruhani. Maka terbentuklah rangka pengertian,pendapat,kesimpulan dan ilmu pengetahuan.
Begitu pula halnya jika seseorang membaca al-quran atau lainnya melalui penggunaan cahaya (Nur) terjadilah komunikasi jasadiah. Pada pusat pengolahan didalam otak, maka terjadilah proses ruhaniah, gerakan pusat otak jasadiah ini berlangsung sebagai transformator gerakan hati, maka terjadilah komunikasi ruhaniah.
Alexis Carrel, peraih hadiah Nobel 1912 dalam bidang kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown (Makhluk yang Belum Dikenal), menulis tentang daya (potensi) manusia. Telepati, yakni daya untuk menyampaikan atau menangkap sesuatu kepada, atau dari orang lain dari jarak jauh dan tanpa alat, dikenal dalam litelatur keagamaan dan di buktikan oleh ilmuwan, walaupun banyak ilmuwan yang meragukannya, itu wajar, karena telepati jarang terjadi, dan lebih-lebih lagi kadang telepati berada di celah tumpukan berbagai kisah khayalan yang di ciptakan manusia.
Kita dapat menyaksikannya dalam berbagai situasi, antara lain dalam sholat, sholat adalah konsentrasi penuh menembus alam ini menuju totalitas wujud yang tak terbatas, ini bukan bidang nalar. Para filosof dan ilmuwanpun sukar memahaminya. Hanya orang-orang yang jauh dari rayuan gemerlap dunia yang mudah merasakannya, semudah merasakan kehangatan mentari di pagi hari.
Ada manusia yang mampu menyelami rahasia pikiran orang lain, merasakan peristiwa silam, bahkan melihat dari jarak dan masa yang sangat jauh, kemudian melukiskannya dengan rinci. Ini memang jarang terjadi, tetapi pernah terjadi.
Semua agama memperkenalkan hal-hal yang suprarasional, tetapi tidak sedikit penganut agama yang memperluas wilayahnya, sehingga yang irasional pun ikut mereka suburkan. Ini antara lain, yang melahirkan penolakan segala informasi, kecuali yang rasional.
Apa yang penulis harapkan dari ini bukan berarti berupaya menyuburkan hal-hal yang irasional dan khurafat yang masih terdengar hingga saat ini. Tetapi adalah berusaha mendudukan persoalan bahwa dalam hidup ini ada hal-hal yang yang suprarasional dan ada pula potensi manusia yang belum dikembangkan.
Didalam tasawuf hal-hal yang suprarasional sering ditemukan baik dalam literatur-literatur maupun dari kisah-kisah yang sering kita baca dan kita dengar, seperti beberapa karomah para aulia, sebut saja kisah para Wali Songo ketika menyebarkan islam yang sarat dengan hal-hal yang suprarasional.
Sikap dan perilaku manusia berpusat pada kalbu. Jika kalbunya bersih, maka keseluruhan perilakunya bersih. Sebaliknya jika kotor, maka keseluruhan perilakunya kotor. Melalui kalbu, hidayah (nur Ilahi) turun ke bumi. Kalbu yang mendapat cahaya akan memantulkan cahayanya pada akal.
Manusia sebagai kesatuan jiwa-badan mampu menangkap seluruh realitas, materi dan nonmateri, karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistemologis, yaitu: serapan panca indera, kekuatan akal, dan intuisi. Aspek lahir (external) realitas dapat ditangkap oleh panca indera; Aspek batinnya (internal) dapat di tangkap oleh akal; dan tingkatan yang paling tinggi dapat ditangkap oleh intuisi.
Akal dan intuisi tumbuh dari akar yang sama, tetapi mempunyai kemampuan yang berbeda. Namun, perbedaan kemampuan ini tidak menjadi langkah awal pembentukan jurang pemisah seperti terpisahnya antara kaum idealisme dan kaum empirisme akan tetapi antara pikiran dan intuisi saling tergantung dan saling melengkapi.
Intuisi dapat di asah dan di tingkatkan diantaranya melalui sholat, karena sholat bukan hanya sekedar pelaksanaan ritual rutin, melainkan lebih dari itu, seperti: 1) sholat sebagai pelengkap kegiatan intelek (akal) bagi yang mengadakan peninjauan (penelitian) tentang alam. 2) sholat adalah semacam renungan atau kegiatan berpikir kontemplatif yang semakin lama semakin intens sehingga mampu menangkap realitas. 3) sholat seperti ini akan memperoleh jawaban mengenai misteri alam semesta.
Dalam sholat, posisi tubuh diatur sedemikian rupa, kemudian akal memusatkan perhatiannya pada Tuhan. Intuisi – dalam pengertian akal yang lebih tinggi – meneruskan pemusatan itu. Pemusatan intuisi terus meningkat, dalam keadaan ini kesadaran akal akan berhenti. Sementara itu, indera jauh lebih tenang kondisi ini oleh Muhammad Iqbal disebut dengan fatalisme dalam islam. Dalam keadaan semacam ini si musholli akan tetap tenang meskipun peluru-peluru berdesingan di sekitarnya.
Di samping sholat intuisi dapat ditingkatkan melalui laku yang berat yang dalam tasawuf di kenal dengan maqomat (syariat, thariqat, hakikat,...) usaha ini berlangsung secara ajeg (istiqomah) yang biasa di sebut dengan wirid (dzikrullah). Wirid yang terus menerus pada suatu saat sampai pada mukasyafah, dan meningkat pada mujahadah. Dengan kata lain kita dapat memperoleh pencerahan ruhaniah (illumination).
Pencerahan ruhani berpuncak hubungan langsung dengan Tuhan. Orang yang berhasil sampai pada tataran ini biasanya disebut dengan insan kamil.
Tentu saja akan terdengar ganjil bila didengar oleh telinga-telinga siapa saja yang belum pernah mengalami pengalaman pencerahan ruhani maupun mengerti disiplin ilmu tasawuf dengan baik, wajar sekali apabila tokoh-tokoh sufi dicap sebagi pembual, dan pembohong, dan bahkan diklaim sebagi kafirnya orang kafir.
Akan tetapi bahan-bahan pengalaman religius tidak dapat dirubah ketingkat bahan-bahan keterangan ilmu pengetahuan yang manapun juga. Filsafat, ilmu jiwa, berbagai metode ilmu kealaman? Semuanya tidak! Ilmu alam hanya menjangkau sebagian dari realitas yang nampak. Untuk mencapai hubungan mesra dengan kebenaran mutlak pikiran harus tegak lebih tinggi lagi dan mendapatkan kepuasan dalam suatu sikap kesadaran. Ini adalah suatu potensi manusia yang harus terus digali dan ditingkatkan. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun