Suatu siang, sekitar awal tahun 2011, saya bertamu di rumah mungil Oom Thomas Noya (alias Masthom alias Oom Ondos), di Desa Wayame, Kota Ambon. Kunjungan saya pada saat itu dalam rangka menghimpun data penelitian melalui wawancara dengan beliau. Saat itu saya memang tengah menulis tesis tentang jejak-jejak poskolonialisme dalam lirik lagu-lagu populer Maluku.Â
Dalam pertemuan kami yang berlangsung lebih dari dua jam itu kami mengobrol panjang lebar tentang musik, tentang sejarah, dan hal-hal lain. Om Thom bersama istrinya, Tante Nane, membuka koleksi foto-foto lama dan menunjukkan pencapaian-pencapaiannya dalam karir musik bersama grup Hellas yang populer pada dekade 80-90'an. Lebih dari itu, beliau membuka banyak kisah tentang kehidupan pribadi yang telah ia jalani sembari menyisipkan beberapa nasihat penting dengan penuh kelakar.
Om Thom tentu tak banyak dikenal oleh generasi seusia saya atau lahir sesudah saya. Tapi beliau adalah sosok di balik terciptanya karakter Om Ondos yang dinarasikan secara fenomenal dalam lirik lagu-lagu grup Hellas itu.
Om Ondos (kata "Ondos" dalam bahasa Melayu Ambon dekat maknanya dengan "genit") adalah parodi tentang kultur patriarkal yang menjejak dalam relasi sosial di Maluku. Om Ondos adalah metafora yang mengikat laki-laki dengan anasir-anasir kultural seperti sopi, Tanjong Batu Merah, motor ikang, sagu lima lempeng cakalang sabala, maeng top lupa diri, nyong Hative deng nona Galala, dan lain-lain.Â
Tak banyak orang sadar bahwa di balik komedi yang tersaji dengan jenaka dalam setiap lirik lagu yang mereka nyanyikan tersimpan otokritik yang keras tentang budaya dominan menempatkan laki-laki nelayan yang pemabuk tapi jenaka, yang banyak uang tapi cacat moral, sebagai subjek dari beberapa narasi berbingkai.
Meskipun demikian, Om Thom menganggap bahwa lagu tetaplah lagu. Dirinya harus membuat orang tertawa dan senang hati. Hanya sedikit orang yang sadar dan mampu memahami tentang maksud tersembunyi yang ada dalam setiap kata dalam lirik lagu-lagu tersebut.Â
Bagi Om Thom, itu bukanlah persoalan penting yang harus bikin risau.Semangat dan energi itu masih saya temukan ketika beberapa kali saya menyaksikan beliau bernyanyi bersama istrinya dan beberapa teman dalam ibadah minggu di gereja. Beliau tetap bernyanyi gegap gempita, juga flamboyan, persis Om Ondos yang selalu ia ceritakan dalam lagu-lagunya.
Pada 30 Desember 2018, Om Ondos telah tutup usia. Jenazahnya disemayamkan di kediamannya di Halong Atas, tak jauh dari rumah saya. Ia berpulang setelah mengalami sakit pada usia 68 tahun.Â
Tak banyak orang menyadari bahwa orang-orang seperti Om Thom adalah maestro yang sesungguhnya. Ia mencipta lagu dan bernyanyi dalam gairah yang sama hebatnya untuk menyatakan cintanya pada Desa Galala-Hative Kecil, Ambon, dan Maluku. Ia bernyanyi bahkan sampai panggung-panggung untuknya tak seluas dulu dan semua narasi jenaka yang ia tanamkan di hati orang-orang perlahan mulai hilang.Â
Selamat jalan Om Ondos, terima kasih untuk karya-karyamu yang menjadi unsur penting yang menghidupkan ruang-ruang sosial dan budaya sejak mula. Semoga generasi sekarang masih bisa memahami endapan nilai-nilai dalam lirik yang jenaka namun nakal: "Om Ondos maeng gila di Tanjong Batu Merah; pulang-pulang pukol Mia sampe Mia muka merah, hei! Sagu lima lempeng, cakalang sabalah, colo angka colo poro bibi tabala..."