Hasil Asesmen Nasional pada tahun 2022, 34,51% peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% peserta didik atau 1 dari 4 peserta didik berpotensi mengalami hukuman fsik, dan 36,31% peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami perundungan. Temuan ini juga dikuatkan dengan hasil dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (2021) yang menunjukkan sebanyak 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Kasus kekerasan di satuan pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan warga satuan pendidikan.
Menurut Permendikbud No 46 Tahun 2023, ada enam jenis kekerasan meliputi : Â Kekerasan Fisik yaitu kekerasan dilakukan dengan kontak fisik baik menggunakan alat bantu ataupun alat bantu. Kekerasan Psikis yaitu kekerasan dilakukan tanpa kontak fisik untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman. Perundungan yaitu kekerasan fisik atau psikis yang dilakukan secara berulang dan ada relasi kuasa.Kekerasan Seksual yaitu kekerasan dilakukan dengan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang objek seperti tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang. Diskriminasi dan Intoleransi yaitu kekerasan dengan tindakan pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan. Tindakan-tindakan yang dimaksud mengarah pada suku, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, kemampuan intelektual, mental, sensorik, dan fisik. Kebijakan yang mengandung kekerasan yaitu kebijakan jika berpotensi atau menimbulkan kekerasan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain. Kekerasan dapat memberikan dampak negatif terhadap perkembangan dan kesejahteraan seseorang yang menerima tindak kekerasan. Diperlukan upaya yang komprehensif dan terstruktur untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan.
Urgensi Pencegahan Kekerasan di Satuan pendidikan
Kekerasan di satuan pendidikan bisa berakibat negatif pada prestasi belajar peserta didik. Peserta didik yang menghadapi kekerasan cenderung mempunyai nilai yang lebih rendah serta tingkat absensi yang tinggi. Kekerasan bisa menimbulkan trauma jangka panjang yang pengaruhi pertumbuhan emosional serta sosial anak. Jadi, pencegahan kekerasan di satuan pendidikan bukan cuma tanggung jawab pihak satuan pendidikan, tetapi juga tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan pemerintah.
Pencegahan kekerasan juga diatur dalam Undang- Undang Perlindungan Anak Nomor. 35 Tahun 2014, dengan penekanan pada hak anak untuk memperoleh perlindungan dari bentuk-bentuk kekerasan. Adanya peraturan ini, diharapkan tiap satuan pendidikan bisa membuat kebijakan yang menunjang area belajar yang nyaman, aman serta ramah anak. Untuk itu perlu ada pelatihan guru serta staf di satuan pendidikan untuk mengidentifikasi isyarat kekerasan serta cara-cara penanggulangan dengan baik.
Beberapa satuan pendidikan telah mulai menerapkan program anti-bullying yang melibatkan peserta didik dalam menciptakan lingkungan yang lebih positif. Program-program ini tidak hanya berfokus pada pencegahan, tetapi juga memberikan dukungan kepada korban dan pelaku kekerasan agar mereka dapat berubah. Dengan mengedukasi peserta didik tentang dampak kekerasan, diharapkan mereka dapat lebih peka dan peduli terhadap sesama.
Pendidikan dan Pelatihan untuk Guru
Cara pencegahan kekerasan di satuan pendidikan adalah pendidikan dan pelatihan bagi guru. Guru memiliki peran dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Pendidikan Indonesia, pelatihan tentang manajemen kelas dan keterampilan komunikasi dapat mengurangi insiden kekerasan di satuan pendidikan hingga 40% (UPI, 2021). Pelatihan ini membantu guru untuk lebih memahami dinamika sosial di dalam kelas dan cara mengatasi konflik dengan cara yang konstruktif.
Pelatihan yang efektif harus mencakup materi tentang pengenalan tanda-tanda kekerasan, baik fisik maupun emosional. Guru perlu dilatih untuk mengenali perilaku bullying dan cara merespon dengan tepat. Misalnya, ketika seorang peserta didik melaporkan bahwa mereka menjadi korban bullying, guru harus tahu langkah-langkah yang perlu diambil untuk melindungi peserta didik tersebut dan memastikan bahwa tindakan disipliner yang sesuai diterapkan kepada pelaku.
Satuan pendidikan harus menciptakan budaya yang positif melalui program-program yang mempromosikan nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan kerja sama. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, peserta didik akan merasa lebih aman dan nyaman untuk berinteraksi satu sama lain.
Satuan pendidikan melibatkan orang tua dalam proses pendidikan ini. Dengan mengadakan seminar atau workshop untuk orang tua, mereka dapat belajar bagaimana mendukung anak-anak mereka dalam mengatasi masalah kekerasan di satuan pendidikan. Orang tua dapat menjadi pengawas dan pendukung yang baik bagi anak-anak mereka di rumah.
Peran Peserta Didik
Peserta didik memiliki peran dalam pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Melibatkan peserta didik dalam program-program pencegahan tidak hanya memberikan mereka rasa tanggung jawab, tetapi juga meningkatkan kesadaran mereka tentang dampak kekerasan. Sebagai contoh adalah program peer mediation, di mana peserta didik dilatih untuk menjadi mediator dalam konflik yang terjadi di antara teman-teman mereka. Sebuah program yang efektif dalam mengurangi insiden kekerasan.
Peserta didik yang terlibat dalam program seperti ini sering lebih peka terhadap perilaku bullying dan lebih berani untuk melaporkan insiden yang mereka saksikan. Mereka juga belajar keterampilan komunikasi yang dapat membantu mereka dalam berinteraksi dengan teman-teman mereka secara lebih positif.