Hujan deras turun seperti menguntai kisah kelam dalam hidup Marsidi. Waktu itu tengah malam, seakan menjadi saksi bisu atas kecelakaan naas yang menghancurkan segalanya. Suara gesekan logam mencakar aspal menggema di telinganya, mobil yang yang ia sopiri sendiri terbalik, melayang diangkasa terbanting ke aspal, meledak diperempatan jalan yang sepi ia merasa tiba-tiba didepannya ada tembok hitam yang tebal, ia tidak bisa menghindar. Api membara dalam sekejap menyerang tubuhnya, dan rasa sakit yang luar biasa menyebar, melahap setiap serat kulit. Ketika semua gelap, ia merasa, ini adalah awal dari kegelapan yang lebih dalam.
Terbangun di rumah sakit, setelah koma hampir 1 bulan, tubuhnya diselimuti perban. Sekitar 85,13% permukaan kulit hangus, daging terkelupas dan sisa aroma pembakaran menyengat hidung. Marsidi  ingin berteriak, namun suara tidak mau keluar. Ketika dokter menjelaskan kondisi  Marsidi  dan tagihan yang yang mulai menggerogoti kekayaan, seakan langit runtuh di atas pundaknya. Secara logika dia seharusnya mati, tapi hidup kadang tidak pakai logika. Dalam ketidak berdayaan, ia mendengar bisik dari rekan pasar yang membezuknya, bahwa saingan toko didekatnya telah mencelakai dengan ilmu hitam, demi mengalahkan toko Marsidi yang laris. Marsidi pengusaha toko sembako yang dimulai dari nol hingga besar, kini terperosok ke dalam kehampaan.
Menyusul perawatan yang panjang dan menyiksa, kesembuhan berlarut-larut, dengan tebusan mahal, berulangkali keluar masuk rumah sakit di kota untuk operasi plastik memperbaiki bagian-bagian tubuh dan wajahnya yang rusak agar tidak seperti monster. Semua tabungan mulai menipis untuk biaya rumah sakit, dan hutang-hutang membanjir. Asetnya ia lego, ruko yang cicilan nunggak dan terpaksa disita bank. Jatuh keluarga itu ke titik nadir.
Dengan semangat yang tersisa, keluarga Marsidi pindah ke kontrakan kecil di ujung desa jauh dari tetangga, berusaha memulai hidup baru. Dengan tanggungan tiga anak yang masih memerlukan biaya sekolah, yang ragil kelas 3 SD, yang tengah kelas 7 SMP, dan yang tertua kelas X SMA. Walau kondisi tubuhnya tidak normal seperti dulu. Istrinya mulai merintis usaha kuliner dengan sewa kios di pasar. Namun, usaha itu tidak berjalan baik. Usaha kuliner sangat sepi, seperti suasana kuburan yang menghantui malam. Kegalauan melanda pikiran suami istri. Rezeki seperti tidak mau berkompromi lagi dengan keluarganya. Dalam keputus asaan, sebuah pemikiran absurd melintas di benaknya, kembali ke Guru yang pernah membantunya.
***
Malam itu, terlihat rumah besar yang terang benderang, Marsidi dengan istri, berjalan menyusuri jalan dengan tanaman bunga yang indah di kanan kiri menuju rumah yang bisa dipanggil Guru, beliau tidak mau disebut dan tidak merasa sebagai dukun, paranormal, cenayang atau orang pintar, panggil saja Guru. Kediaman Guru bukan keremangan seperti rumah dukun kebanyakan, tidak ada dupa, kemenyan maupun bunga 7 rupa.
Tiba di depan rumah guru, ada resepsionis dan mencatat keperluan. Begitu masuk ke ruang tunggu sudah mengantri orang-orang dengan keperluan masing-masing. Tidak ada yang saling sapa dan tegur, cuma mengangguk dan senyum tipis, mereka punya agenda dan rahasia masing-masing. Â
4,5 jam kemudian. "Nomor 13, silahkan masuk", panggilan dari resepsionis. Marsidi tahu itu nomor urut dia, masuklah dia ke ruang kerja Guru. Seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam menyambut. "Marsidi. Aku memang sedang menunggumu," katanya dengan suara serak, seolah dia sudah tahu segala yang terjadi.
"Jadi, Guru tahu akan maksud kedatangan saya," tanya Marsidi, berusaha mengendalikan debaran jantungnya.
"Ha ha ha ya tentu tahulah, semua yang datang ke sini pasti ada keperluan. Ada yang pingin jadi gubernur, bupati, jadi anggota legislatif, pingin suaminya tidak selingkuh, pingin laris bisnisnya, pingin kaya, pasang susuk aura, pingin kebal, apa saja di sini, pingin jodoh, pingin mencari suaminya yang 1 bulan tidak pulang, lengkap dan komplit. Sudah basa-basinya, ceritakan keperluanmu apa?".