Mohon tunggu...
Farid Mamonto
Farid Mamonto Mohon Tunggu... Freelancer - Nganggur aja

Senang bercanda, sesekali meNUlis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dhania dan Janji Manis ISIS yang Menyesatkan

6 Agustus 2019   14:34 Diperbarui: 6 Agustus 2019   21:16 36209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Bersama Dhania, sebelum berangkat balik jakarta, pasca menjadi pembicara di kota manado) | dokpri

Awal perjumpaan saya dengan gadis kelahiran Jakarta ini kira-kira terjadi akhir tahun 2018. Saat itu kami berada dalam rangkaian kegiatan Indonesian Millenials Movement yang diselenggarakan oleh Maarif Institute.

Ia terlihat lugu dan kayaknya memiliki cerita yang tidak jauh berbeda lah dengan remaja seusia dia: sekolah, mengerjakan tugas dari guru, nongkrong bersama teman-teman satu geng, dan lain-lain. Kira-kira begitulah kesan awal dengan gadis bernama Dhania ini.

Hingga tibalah Dhania dipanggil ke depan untuk menceritakan kisah hidupnya. Remaja yang ternyata sudah harus bersinggungan dengan kelompok Islamic State Of Iraq And Syiria (ISIS). Dhania menceritakan kisah hidupnya dari awal semasa sebelum bergabung dengan ISIS dan hingga proses pelarian dari Syiria.

Kebanyakan kita saat ini menganggap bahwa anak-anak remaja yang mudah terpengaruh oleh tipu rayu kelompok yang menjual surga sebagai jaminan ini adalah anak-anak yang bodoh, ternyata tidak selalu benar. Dhania adalah gadis yang cukup cerdas.

Begitu juga jika kita berasumsi bahwa ketertarikan untuk berjihad bersama ISIS oleh karena faktor ekonomi, ternyata tidak selalu. Keluarga Dhania hidup berkecukupan. Ayahnya seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) pula, yang kira-kira cukuplah untuk menghidupi kehidupan keluarga tanpa harus membebani manusia yang lain.

Justru ternyata Dhania semenjak Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah mulai melakukan yang namanya hijrah, membaca artikel-artikel islami di berbagai media, belajar baca buku sejarah nabi dan sahabatnya.

Juga berawal dari ketertarikan ketika melihat teman-teman di Facebook yang menggunakan pakaian syar'i, meski Dhania juga mengakui bahwa dia sudah menggunakan jilbab panjang walau masih terkesan karena ada paksaan. 

Oleh karena ketertarikan Dhania dalam mengkonsumsi bacaan di artikel-artikel perihal sejarah nabi dan sahabatnya itu, ia mulai membanding-bandingkan kehidupan di Indonesia jauh berbeda dengan masa nabi dan sahabat terdahulu perihal keadilan.

Rasa ingin tahu Dhania semakin tinggi, sementara kehidupan keluarga sibuk dengan urusan masing-masing membuat tidak terciptanya ruang diskusi. Ia pun berpikir, kok hidup mereka begini-begini aja, terasa kering.

Hingga akhirnya di tahun 2014, Dhania mendapatkan kabar dari pamannya, itu juga berasal dari internet, perihal kemunculan lagi kekhilafahan. Dia bertanya-tanya khilafah kok ada lagi? Dhania pun mencari segala informasi tentang hal tersebut di berbagai media, Facebook, Twiter, dan lain-lain.

Sampai kemudian Dhania menemukan artikel-artikel dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa khilafah ini seperti zaman nabi. Wajib bagi muslim untuk berhijrah agar bisa menjadi muslim yang sebenarnya. Disebutkan bahwa Negara Khilafah adalah bumi yang diberkahi lengkap dengan janji-janji mendapatkan surga dunia dan surga akhirat jika mau bersama dalam jihad. 

Dhania menginformasikan apa yang dia baca di internet itu dan juga info yang dibawa oleh pamannya juga dari internet ke dalam keluarga mereka. Begitu juga pamannya, membawa informasi itu ke keluarganya.

Hingga akhirnya berangkatlah pada Agustus 2015, meski tidak semuanya bisa masuk karena beberapa ada yang terdeportasi. Tiba di Syiria, ternyata janji manis di berbagai artikel yang sering keluarga mereka baca perihal surga dunia dan akhirat itu tidak pernah ada. Yang pasti jauh dari islam, ucap Dhania.

Keluarga Dhania juga tidak hanya diam. Mereka terus-menerus menagih janji manis ISIS. Mereka juga banyak melakukan kegiatan amar ma'aruf nahi munkar oleh karena terlalu banyak penyimpangan yang terjadi di lingkungan mereka tinggal.

Dhania dan keluarga pun memutuskan untuk kembali ke Indonesia atas saran pamannya yang telah terdeportasi juga. Sebab memang sudah tidak ada alasan kenapa mereka harus tetap tinggal di tengah situasi dan kondisi yang sangat jauh dari nuansa Islami.

Proses kepulangan mereka pun, kata Dhania, tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. Mereka sempat menghubungi Kedutaan Besar Indonesia di Damaskus, Syiria, tetapi tidak bisa. Sebab kedutaan menyuruh keluarga Dhania harus keluar dulu dari wilayah ISIS, menyerahkan diri ke pemerintah Syiria, atau ke pemerintah Irak, dan itu tidak mungkin.

Mereka akhirnya menggunakan cara offline smagler, atau penyelundup orang-orang Syiria asli yang tidak suka dengan ISIS. Itu juga tidak berjalan dengan mulus. Justru mereka banyak mengalami penipuan yang dilakukan para penyelundup itu. Uang dan handphone raib dibawa kabur.

Beruntung mereka menemukan orang yang memang benar-benar mau membantu proses pelarian mereka dengan bayaran yang cukup murah untuk 17 orang, kata Dhania.

Perjalanan kurang lebih setahun mencari jalan pulang itu tidak juga berjalan mulus. Mereka harus melewati jembatan yang dibom, juga sungai dengan kondisi kapal atau perahunya sampai bolong.

Tembakan sniper pihak Kurdi juga mereka alami, karena Dhania dan lainnya memasuki wilayah Kurdi atau Syirian Democratic Forces (SDF), sekutu Amerika. Terhitung dua kali mereka ditembaki siang dan malam, hingga hari berikut mereka bisa keluar dan masuk check point SDF.

Selanjutnya mereka dipisah. Perempuan ditaruh di camp pengungsian PBB dan laki-laki dibawa ke penjara wilayah Kobane kurang lebih selama dua bulan. Lalu pemerintah menjemput mereka di perbatasan Syiria dan Irak. Pada awalnya sudah sempat putus asa tidak bisa pulang ke Indonesia, tapi berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya mereka bisa menginjakkan kaki di Indonesia pada 12 Agustus 2017.

Sebenarnya mereka juga dalam keadaan berduka karena 3 dari 19 orang yang pergi ke Syiria harus menghembuskan nafas terakhir di sana. Total yang kembali adalah 16 orang ditambah 1 orang yang pergi menyusul ayah dan ibunya. Jadi total mereka yang kembali adalah 17 orang.

Kini dua tahun pasca pelarian dari kelompok ekstremis bernama ISIS itu, Dhania dan keluarga kembali memulai hidup baru. Dhania sendiri kini wara-wiri di berbagai kegiatan bertajuk perdamaian atau menjadi pembicara guna membentengi anak-anak muda dari virus bernama ISIS dengan kedok agama dan surga sebagai jaminannya.

Paling baru kemarin Dhania mengunjungi Kota Manado untuk menjadi pembicara, memberikan pencerahan ke anak-anak di sana betapa penting menggunakan sosial media untuk hal-hal yang positif. Senantiasa selalu berpikir kritis ketika menemukan konten-konten ajakan untuk berjihad, konten-konten anti perbedaan, dan lain-lain.

Belajar dari Dhania
Dari apa yang dibagikan oleh Dhania perihal bagaimana ISIS bisa memainkan media sosial dengan sangat baik untuk merekrut anggota baru di atas, kita hari ini seharusnya bisa lebih selektif dalam mengakses situs-situs yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan tetapi selalu dibalut dengan dalil-dalil agama, juga dengan imbalan surga dunia dan akhirat. 

Tidak hanya harus selektif. Kita yang hari ini paham dan mengetahui bahwa strategi merekrut anggota dengan manggunakan media sosial cukup efektif dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrem, seharusnya mampu untuk melawan mereka.

Cara perlawanannya yaitu membuat konten-konten positif dan terus mengabarkan perihal Islam yang ramah dan damai, bukan Islam yang senang mebunuh dengan dalil dan dasar karena si A kafir dan si B wajib mati karena bukan dari golongan mereka.

Dari apa yang disampaikan oleh Dhania di atas kita juga bisa sangat tahu, betapa pendidikan agama di dalam keluarga juga harus tersentuh, sebagai bekal awal mereka sebelum bertemu dengan berbagai macam bacaan di luar rumah. Semua itu bisa berjalan baik jika tercipta iklim keluarga yang kondusif yang mau membuka ruang diskusi di tengah kesibukan yang melanda.

Juga yang paling terpenting untuk mereka yang hari ini senang dengan tema-tema seputar hijrah dan semangat ingin berubah karena melihat teman atau sahabat terlihat anggun karena berpakaian yang katanya simbol keimanan. Justru ternyata semua itu menjadi pintu masuk yang sangat efektif oleh kelompok-kelompok yang mempunyai agenda lain selain dakwah Islam.

Dhania dan keluarga telah merasakan bagaimana susahnya proses melarikan diri dari tipu daya ISIS, yang semula menjanjikan surga justru tetiba di sana tidak ada satu situasi atau iklim yang menggambarkan surga, layaknya yang dijanjikan.

Ini menjadi tugas kita bersama, bahwa yang namanya radikalisme agama, juga esktremisme tidak akan pernah dibenarkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebab itu bisa memecah belah bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun