" Warung Kopi menjadi riuh. Pojok kanan menyerukan Perubahan, pojok kiri menyerukan Perbaikan, depan sendiri menyerukan lanjutkan. Dan tidak boleh dibantah, fanatisme menjalar ditubuhnya. Jikapun ketiganya ditanya satu persatu; perbaikan apa, perubahan apa, dan melanjutkan apa ? paling dijawab dengan isapan rokok Luxio. Salah satu rokok primadona di madura, rokok non cukai dengan sebutan rokok bheung  (Rokok Hantu)"
Hisyam, 30 tahun, pemuda tani. Â Usia yang matang untuk mengikuti pentas demokorasi Pemilu 2024 ini. Sangat bingung; sebab untuk saat ini "pemilu serentak" -- ia "dipaksa" menentukan pilihan hatinya walau hanya sebatas tau kliping muka caleg di banner, khususnya DPR. Â Ia tak tau DPR siapa yang kelak bisa membantu walau hanya untuk konsultasi pertanian. Kiblat utamanya adalah Media Sosial. Katanya, dengan ber-media sosial kita bisa mengetahui sejauh mana kecakapan Caleg dalam menyelesaikan problematika petani. Belum lagi soal presiden. Ampun dah, !!!
"Pemuda desa seperti saya ini. Keluhanya tak pernah didengar. Persoalan sederhana; pupuk gampang didapatkan, jika terjadi case dilapangan itupun susah kita mengadu kemana. Bertemu dalam 5 tahun sekali, itupun hanya untuk show of force, habis itu hilang ditelan bilik suara," katanya sambal memegang cangkulnya yang basah.
Memang, akhir akhir ini isu pupuk menjadi isu primadona dikalangan petani. Susahnya minta ampun, masak ya ditimbun. Kan tidak. Kita husnudzon saja pada yang punya jabatan. Cukup kita yakin, DPR adalah perwakilan suara kita.
Lalu bagaimana dengan Capres? Kataku.
Sebagai pemuda tani dari madura, ia berharap sosok pemimpin dari Madura yang nantinya bisa mewakili kepentingan Madura di Istana Negara. Cita citanya begitu, meski pada akhirnya lupa. Maklum sifat manusia lupa. Mahfud MD, menjadi representasi dari kaum madura, sayangnya Mahfud tidak pernah turun di Madura untuk meraup massa, walau hanya untuk menyampaikan visi-misi.Â
Apa mungkin sadar diri bahwa Madura anti partai pengusungnya ? Entahlah. Tapi pastinya Mahfud -- Ganjar tidak pernah melakukan Kampanye di Madura. Hanya Paslon Anis Baswedan -- Muhaimin Iskandar yang melakukan serap aspirasi untuk wilayah Madura.Â
Tak heran, jika Paslon Anies secara kasat mata menang dihati masyarakat, khususnya kiai di Madura. Yang belum disadari oleh Paslon 03 adalah Patronase politik di Madura sangatlah kental. Apalagi dengan yang Namanya kiai. Sehingga muncul jargon. Lebih baik kalah Bersama kiai, dari pada menang tidak Bersama kiai. Fanatisme yang utuh.
Lagi lagi soal PDIP, partai yang menurut saya terlalu banyak blunder. Entah ketua ataupun para kadernya di Parlemen. Menjadi ribet. Misalnya pun terpilih nantinya, keberpihakan Cawapres nantinya belum bisa diprediksi. Sekelasa presiden keputusannya ada cawe cawe partai. Itu yang selama ini kita tonton. Misalnya: Pak Jokowi kalau tidak ada PDIP, mau jadi apa? --- apa iya mau terjadi sedemikian rupa, Pak Mahfud kalau tidak ada PDIP mau jadi apa? ------ saya sih belum siap.
"Saya belum menentukan pilihan. Paslon 01,02, dan 03. Bahkan sampai debat ke 5, isinya hanya tiga bapak bapak yang saling serang isu lama. Lebih banyak membahas cerita lama, dibanding membahas progres kedepan. Slogan Indonesia Maju hanya algoritma saja, asyuww," Imbuhnya.
Debat presiden ataupun wakil presiden ibarat tontonan anak anak yang saling menelurkan jurus, untuk membunuh karakter satu dengan yang lainnya. 01 & 02 menjadi objek vital, sementara 03 melakukan umpan lambung. 01 semacam Earling Haaland di Mancester City, one shot one goal tinggal nunggu umpan 03 aja. Kaco negeri ini.