Mohon tunggu...
Ahmad FahrurRozi
Ahmad FahrurRozi Mohon Tunggu... Lainnya - Awardee PBSB Kemenag RI

Chief CSSMoRA Organization Scholarship Hunter Awardee PBSB Kemenag

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjaga Eksistensi Literasi dengan Spirit "Aku Mau Hidup 1000 Tahun Lagi"

26 April 2020   13:26 Diperbarui: 26 April 2020   13:22 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Milenialisme banyak memberikan dampak yang begitu krusial bagi peradaban dunia terlebih di kalangan para pemuda-pemudi, digitalisasi mulai menjelma menjadi sebuah kultur baru ditengah-tengah masyarakat. 

Gadget, smartphone, internet seakan menjadi sebuah kebutuhan primer umat dengan segala manfaat kegunaannya, namun tak jarang fenomena ini juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat, sebut saja candu sosial media, game serta fitur-fitur yang lain yang dapat berujung kepada kelalaian. 

Seiring dengan hadirnya fenomena kultur milineal yang demikian seakan menggerus kultur membaca dan menulis (literasi) para muda-mudi bangsa dengan lebih sibuk menghabiskan waktunya dalam genggaman teknologi digital.

Berkaca kepada besaran jiwa membaca di negri pertiwi secara general berdasarkan Most Littered Nation in the World indeks membaca Indonesia berada dalam posisi buncit terbelakang yakni posisi ke 60 dari 61 negera. 

Hal ini tentunya secara eksplisit mengindakasikan betapa rendahnya animo masyarakat terhadap dunia literasi serta indikasi akan rendahnya kualitas bangsa, tentunya segenap umat bangsa ini tidak bisa tinggal diam melihat fenomena negatif yang melanda bangsa ini. 

Mengapa disebut sebagai fenomena "negatif"? karena rendahnya animo masyarakat terhadap dunia membaca dan literasi secara implisit mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat suatu negara yang buta akan ilmu pengetahuan dan berpotensi menjadi sebuah negri yang tertinggal dan kalah bersaing dalam kancah internasional.

Oleh karena itu adakalanya spirit literasi pada era milenial sekarang kembali teraktualisasikan sebagaimana spirit bercengkrama dengan gadget, sosmed, dan yang lainnya. Sudah seharusnya narasi filosofis "Aku mau hidup 1000 tahun lagi" seorang literature dan budayawan bangsa Chairil Anwar dapat terartikulasikan dalam kehidupan milineal sekarang. 

Secara rasio-empiris keinginan seorang manusia untuk hidup selama 1000 tahun ialah suatu asa yang mustahil, dengan durasi umur manusia yang berkiksar 60-70 tahun. Lalu mengapa Chairil Anwar mengutarakan hasrat yang demikian? 

Adalah keyakinan atas gagasannya terhadap literasi yang ia produksi yang akan membuatnya tetap hidup meskipun sang ajal telah menjemputnya.

Dengan karya tulis yang diciptakan oleh seorang insan maka ia akan merasakan eksistensi kehidupan yang amat panjang, yang mana hasil renungan hati dan pikiran yang telah ia realisasikan dalam bentuk tulisan dapat dikenal dan dicerna oleh banyak insan. 

Begitu pula dengan sosoknya yang akan terus didengung-dengungkan oleh dunia luas meskipun secara dzahir jasadnya telah tiada namun karyanya masih hidup dalam dunia nyata. 

Nilai signifikansi literasi tidak hanya didapat oleh sosok aktor-aktor tertentu yang bergelut dalam dunia tulis menulis, namun juga dirasakan oleh masyarakat dalam skala besar dan komponen dunia yang lain, sebagai wujud manifestasi dari praktik sosial kemanusiaan (social humanity) yang sangat bermannfaat bagi prospek masa depan umat.

Keseimbangan antara spirit literasi dan kesibukan dunia digital sudah sepatutnya mendapatkan porsi yang seimbanng dalam konteks zaman milenial sekarang, terlebih ranah media sosial dapat dijadikan sebagai wadah literasi yang dirasa akan lebih cepat menyebarkan ragam informasi. 

Kaum milenialis dapat memanfaatkan fasilitas modern yang serba "klik and klik" sebagai suatu fasilitator improvisasi literasi dan edukasi dalam era milineal.

Hadirnya ragam macam kecanggihan teknologi, dalam pandangan aksiologis seharusnya tidak membuat kemerosotan dalam dunia literasi, bahkan sudah sepatutnya momen ini dapat dijadikan sebagai momentum penguatan dan pengembangan dunia literasi dan edukasi. 

Yakni era sekarang ini untuk mewujudkan sebuah perpustakaan dalam artian sebagai wadah atau tempat membaca tidak lagi kita tersibukkan dengan batasan tempat dan ruang, namun dapat memanfaatkan dunia digital sebagi dunia e-learning untuk segenap muda-mudi bangsa.

Kultur kehidupan milenial yang serba "instan", yakni instan dalam artian positif segala sesuatu dapat dilakukan dan diperoleh dengan mudah, adakalanya dapat dimanfaakan dengan positif-konstruktif. 

Adapun dalam ranah literasi konteksnya ialah dengan adanya media-media digital setidaknya dapat diajadikan untuk memberikan ragam informasi dan keilmuan dalam wujud literasi digital yang dapat disebar dan dishare dengan cepat ke berbagai penjuru. 

Yang mana akan memudahkan para pegiat literasi untuk bertukar gagasan, menemukan ilmu pengetahuan dan informasi baru dengan cepat dan mudah, serta potensi untuk menekan meningkatnya angka melek literasi akan semakin besar. 

Begitu juga dalam konteks penyebaran literasi di pelosok-pelosok desa yang terpencil, dapat dilakukan dengan mudah dengan pemanfaatan infrastruktur yang sudah memadai semaksimal mungkin. Sehingga alat transportasi dapat mendistribusikan berbagai macam literatur dengan cepat.

Adapun sikap selektif pada era sekarang sangatlah dianjurkan dalam usaha memfilter segala sesuatu yang diperoleh dan diserap dari berbagai sumber literasi. 

Sikap selektif kebijaksanaan pada era milenial tidak hanya berorientasi dalam hubungan sosial saja, akan tetapi juga perlu diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan memilah-milih ragam sumber informasi yang dikonsumsi melalaui berbagai macam sumber. 

Dengan harapan persebaran kabar-kabar spekulatif (bohong) atau dalam istilah sekarang dikenal dengan Hoax dapat terfilter dengan baik dan tidak sampai dicerna oleh media luas. Begitulah kemungkinan sinergisasi yang diperoleh dalam usaha meninterkoneksikan dunia literasi dengan prospek era milenial sekarang. 

Sehingga jargon "Aku mau hidup 1000 tahun lagi" dapat diaktualisasikan dan dirasakan serta dunia literasi tidak akan mati akan tetapi tetap eksis dengan improvisasi-improvisasi yang signifikan kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun