Milenialisme banyak memberikan dampak yang begitu krusial bagi peradaban dunia terlebih di kalangan para pemuda-pemudi, digitalisasi mulai menjelma menjadi sebuah kultur baru ditengah-tengah masyarakat.Â
Gadget, smartphone, internet seakan menjadi sebuah kebutuhan primer umat dengan segala manfaat kegunaannya, namun tak jarang fenomena ini juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat, sebut saja candu sosial media, game serta fitur-fitur yang lain yang dapat berujung kepada kelalaian.Â
Seiring dengan hadirnya fenomena kultur milineal yang demikian seakan menggerus kultur membaca dan menulis (literasi) para muda-mudi bangsa dengan lebih sibuk menghabiskan waktunya dalam genggaman teknologi digital.
Berkaca kepada besaran jiwa membaca di negri pertiwi secara general berdasarkan Most Littered Nation in the World indeks membaca Indonesia berada dalam posisi buncit terbelakang yakni posisi ke 60 dari 61 negera.Â
Hal ini tentunya secara eksplisit mengindakasikan betapa rendahnya animo masyarakat terhadap dunia literasi serta indikasi akan rendahnya kualitas bangsa, tentunya segenap umat bangsa ini tidak bisa tinggal diam melihat fenomena negatif yang melanda bangsa ini.Â
Mengapa disebut sebagai fenomena "negatif"? karena rendahnya animo masyarakat terhadap dunia membaca dan literasi secara implisit mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat suatu negara yang buta akan ilmu pengetahuan dan berpotensi menjadi sebuah negri yang tertinggal dan kalah bersaing dalam kancah internasional.
Oleh karena itu adakalanya spirit literasi pada era milenial sekarang kembali teraktualisasikan sebagaimana spirit bercengkrama dengan gadget, sosmed, dan yang lainnya. Sudah seharusnya narasi filosofis "Aku mau hidup 1000 tahun lagi" seorang literature dan budayawan bangsa Chairil Anwar dapat terartikulasikan dalam kehidupan milineal sekarang.Â
Secara rasio-empiris keinginan seorang manusia untuk hidup selama 1000 tahun ialah suatu asa yang mustahil, dengan durasi umur manusia yang berkiksar 60-70 tahun. Lalu mengapa Chairil Anwar mengutarakan hasrat yang demikian?Â
Adalah keyakinan atas gagasannya terhadap literasi yang ia produksi yang akan membuatnya tetap hidup meskipun sang ajal telah menjemputnya.
Dengan karya tulis yang diciptakan oleh seorang insan maka ia akan merasakan eksistensi kehidupan yang amat panjang, yang mana hasil renungan hati dan pikiran yang telah ia realisasikan dalam bentuk tulisan dapat dikenal dan dicerna oleh banyak insan.Â
Begitu pula dengan sosoknya yang akan terus didengung-dengungkan oleh dunia luas meskipun secara dzahir jasadnya telah tiada namun karyanya masih hidup dalam dunia nyata.Â