Mohon tunggu...
Fakhrurrazi Muhammad Qasim
Fakhrurrazi Muhammad Qasim Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil golongan bawah dan terhina

Pria beristeri dan beranak tiga kelahiran Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah pada tahun 1980 mulai menulis sejak dulu namun tidak pernah fokus. Hingga tahun 2023 barulah semangat menulisnya kambuh, semoga bisa mengasah kemampuannya yang telah kaku untuk lebih baik lagi, amin.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembalasan Para Tikus

25 Maret 2025   14:44 Diperbarui: 25 Maret 2025   17:51 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah mengapa, seketika aku lupa pada dinginnya pagi ini saat tanpa sengaja pandanganku tertumbuk pada sesuatu yang membuat jantungku berdegup kencang. Mataku terbelalak seakan tak percaya melihat jenazah keenam sahabatku tergeletak tanpa kepala di atas selembar kain putih. Pagi ini di teras kantor redaksi Majalah Tendo. Dari atas loteng aku memandangi orang-orang berkumpul menyaksikan pemandangan mengerikan ini. Kudengar pembicaraan dari beberapa orang bahwa jenazah keenam sahabatku ini tadinya berada dalam sebuah bungkusan paket yang dilemparkan ke dalam halaman kantor oleh orang tak dikenal saat subuh tadi.


Katanya, ada pihak yang tidak senang dengan apa yang dilakukan oleh para jurnalis Majalah Tendo sehingga mereka mengancam dengan cara mengirimkan jenazah para sahabatku ini. Aku heran, apa hubungannya kami bangsa Tikus dengan manusia sehingga kami digunakan sebagai media ancaman? Apakah Tikus bisa mengancam manusia? Apakah Tikus bisa membuat manusia takut? Bisakah manusia berhenti bekerja setelah melihat jenazah-jenazah Tikus? Itu adalah beberapa pertanyaan yang menggelayut di otakku hingga detik ini.


Keenam sahabatku ini memang telah mengilang selama dua hari yang lalu. Padahal sebelumnya aku masih sempat nongkrong di tempat sampah bersama mereka bahkan  malamnya kami masih sempat membobol dapur restoran di tengah kota dan berpesta pora di dalamnya. Hingga keesokan harinya aku tak lagi melihat mereka. Pada sore harinya aku mendapati kepala-kepala mereka telah tergeletak berserakan di comberan. Tanpa tubuh. Seluruh warga kampung tikus menyaksikan kepala-kepala keenam sahabatku itu. Aku bersama beberapa kawan yang lain telah mengumpulkan dan membersihkan kepala-kepala itu, kamipun menguburkannya di belakang wc umum.


Sampai sekarang aku masih belum habis pikir dengan kejadian ini. Aku sangat prihatin dengan keadaan keluarga keenam sahabatku. Bagaimana isteri-isteri mereka? Bagaimana dengan anak-anak mereka yang berjumlah puluhan hingga ratusan? Siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga mereka sepeninggal ayahnya? Dan yang paling aku khawatirkan adalah keadaan warga kampung Tikus di masa depan. Kami telah menjadi korban eksploitasi dan menjadi tumbal dari perseteruan antar manusia padahal kami bukan manusia, kami Tikus.


"Tikus-tikus tanpa kepala ini akan kita bawa sebagai barang bukti." Kata salah seorang dari tiga orang dalam ruangan redaksi Majalah Tendo malam ini. Aku melihat dan mendengar percakapan mereka dari atas loteng.


"Masalah ini harus kita laporkan ke Kepolisian, ini adalah ancaman terhadap jurnalis dan juga ancaman terhadap hak asasi manusia." Ujar salah seorang yang lain.


"Baiklah biar kita bertiga saja yang langsung ke Kantor Polisi, ayo bungkus tikus-tikus itu dan ikut bersamaku!" Tegas orang tadi sambil melangkah menuju mobil Daihatsunya yang diparkir di halaman lalu menghidupkan mesinnya. Dua orang yang lain segera menyusul masuk ke dalam mobil membawa bungkusan berisi jenazah keenam sahabatku. Aku menyaksikan dari atas loteng sambil berusaha  mengikuti pergerakan mereka.


Kantor Polisi berada tidak begitu jauh dari sini dan aku hafal betul tempatnya. Tanpa berpikir panjang akupun bergegas melangkah melewati loteng demi loteng, rumah demi rumah dan bangunan demi bangunan. Dua pasang kakiku yang tidak lagi muda berpacu melaju menyusuri atap dan comberan, kadang berdebu dan kadang basah oleh air got. Dari kejauhan aku menyaksikan orang-orang tadi masuk ke Kantor Polisi.


Di tengah lalu lalang kendaraan yang begitu ramai membuatku terpaksa harus menunggu untuk menyeberang. Di sini tak ada saluran air di bawah jalan yang bisa aku lalui untuk menyeberang dengan cepat. Sepertinya kendaraan tak akan pernah sunyi kecuali nanti saat larut malam. Aku memutuskan mencari jembatan penyeberangan atau apapun yang bisa kujadikan penyeberangan menuju seberang jalan. Hingga akhirnya kutemukan juga sebuah papan iklan baliho sabun Tux besar yang kali ini kujadikan jembatan penyeberangan darurat menuju Kantor Polisi.


Keadaan di depan Kantor Polisi begitu ramai membuatku harus bersembunyi dari pandangan orang-orang. Aku memutar ke belakang untuk bisa masuk tanpa ketahuan. Dari atas loteng aku menyaksikan ketiga orang tadi keluar ruangan kemudian menuju teras dan masuk ke mobilnya lalu berangkat pergi.


Aku masih di Kantor Polisi ketika kusaksikan polisi-polisi itu membuka bungkusan sehingga nampaklah lagi jenazah keenam sahabatku. Mereka seketika menutup hidung-hidung mereka dengan tangan masing-masing demi menghindari menghirup bau tak sedap.


“Ini hanya kasus sepele, tidak perlu dibahas lebih jauh, dibiarkan saja nanti juga masyarakat lupa, kita masih punya banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting daripada sekedar meneliti bangkai-bangkai tikus tanpa kepala.” Ujar Komandan Polisi dengan nada remeh, entah siapa yang dia remehkan apakah orang-orang dari redaksi Majalah Tendo ataukah kami bangsa Tikus, yang pasti aku benar-benar tersinggung dengan ucapannya barusan yang menyebut jenazah keenam sahabatku sebagai ‘bangkai’, sangat merendahkan.



“Dibakar saja biar tidak membusuk.” Seru Sang Komandan Polisi kepada salah satu bawahannya yang memegang jenazah keenam sahabatku tadi.


Polisi-polisi itu membungkusnya kembali lalu membawanya ke dalam ruangan lain. Aku  terus mengikuti  mereka, merasa penasaran atas apa yang terjadi dengan jenazah keenam sahabatku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat mereka memasukkan bungkusan yang berisi jenazah itu ke dalam tungku kremasi. Aku hanya melihat api yang menyala-nyala melumatkan tubuh-tubuh sahabatku. Api itu pula yang kurasakan telah menyalakan api dalam dadaku. Nyala api itu terus tersimpan di kedua mataku, tersimpan di pikiranku. Kesedihan bercampur kemarahan berkecamuk dalam jiwaku. Terbayang lagi kenanganku saat jalan-jalan bersama mereka berenam, saat kami bermain semenjak kecil hingga kenangan terakhir kami ketika berpesta di dapur restoran.


Polisi, benar-benar telah menjadi sebuah instansi yang memuakkan. Bukankah seharusnya mereka menyelesaikan kasus dengan baik? Bukankah seharusnya mereka meneliti barang bukti? Bukankah seharusnya mereka melayani masyarakat? Bukankah itu adalah hak dari sesama bangsanya sendiri, bangsa manusia? Aku benar-benar tak habis pikir. Wajar saja jika manusia seenaknya berbuat kejam pada bangsa Tikus, kepada bangsa sendiripun manusia saling berlaku kejam. Jika begini sepertinya aku tak punya alasan lagi untuk menahan diri, manusia-manusia ini harus diberi pelajaran atas kezaliman mereka, tak ada jalan lain, aku harus bertindak.


* * *


Malam ini tepat jam dua, aku bersama pasukanku yang berjumlah tiga ribu Tikus telah bersiap-siap di depan Kantor Polisi. Kantor yang telah membakar habis jenazah keenam sahabatku. Keenam sahabatku yang jenazahnya seharusnya disimpan sebagai barang bukti penegakan keadilan namun dimusnahkan begitu saja dengan alasan agar tidak merepotkan. Kantor ini korup. Kantor ini adalah salah satu bagian dari sistim yang rusak di negeri ini dan malam ini akan kami serang.


"Hancurkan apa yang bisa dihancurkan dari kantor ini dan jangan mengganggu selainnya, kita hanya mengambil apa yang diambil dari kita, menghancurkan apa yang dihancurkan dari kita, kita adalah Tikus tidak boleh berlaku kelewatan seperti manusia." Aku memberi instruksi kepada para pasukanku dari atas sebuah tanggul kecil.


“SIAP!! Seru ketiga ribu prajurit Tikus serempak menggema memenuhi lorong saluran pembuangan kota. Mereka bergerak cepat laaksana air bah, merambat memanjati atap dan pipa-pipa, tiang-tiang serta pinggiran bangunan. Di langit purnama telah bersinar menerangi bayangan tiga ribu pasukanku yang bergerak dalam gelap. Aku berdiri mengawasi dari atas menara kota, malam menaungi kemarahan kami yang baru saja dimulai.


* * *


Poso, 23 Maret 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun