Mohon tunggu...
Ichsan Fakhruddin
Ichsan Fakhruddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salam Smart! Fakhrul dien Alumni writers academy (Sekolah-Menulis Online).Mahasiswa The Islamic Call College Tripoli-Libya, Program studi Dakwah dan Peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sumber Api dari Monitor

12 Juni 2011   13:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di sore yang mulai senja aku telah sampai di depan kost Renol, gubuk aku bersemedi selama tiga bulan ini. Aku pulang membawa segayung keringat dingin hasil sadapan yang terus berkucuran selama aku bergelantungan di metro mini. Perasaan sesak, waha panas sepanas gurun sahara, ditambah lagi aroma asing yang berseliweran sangat terasa menyesaki hidung yang berukuran mini ini. Tak ada cara lain, semua ingin sampai, semua ingin keluar dari metro dengan selamat, walaupun akhirnya harus bermurah hati mengusap jejak-jejak buliran keringat dengan penuh ketulusan hati.
Tak seperti biasanya, kost Renol tampak menyesaki mataku, tumpukan kitab-kitab yang tadinya tersusun rapih, kini kelihatan berkeliaran seakan cerai dari rak. Namun, Renol masih kelihatan asyik ria memainkan keyboard yang telah lama bergerak seiring jarum jam berdetak.
“Renol, sibuk nian kao ni, ndak pacak apo rehat bentar bentar bae?! Renol, sibuk benar kamu ini kelihatannya, rehatlah barang sebentar!.” Tanyaku basa-basi sembari menyeduh energen serial.
Kupandangi gelagat robot di depanku itu yang tak bergerak. Renol lebih senang membisu daripada menanggapi basa-basiku dan gencar melantunkan sajak-sajak. Lembaran-lembaran sekripsi di layar komputernya seakan protes minta segera beres agar nggak menjadi beban beranak.
“Renol, ndak denger suaraku apo kao ni?! Renol, apa kamu nggak mendengar suaraku?!”
Renol kali ini mulai menjolorkan leher panjangnya dan menjawab dengan isyarat, cukup dengan isyarat gagak. Hanya dengan menundukkan kepala licinnya, sedang matanya menjalak ke arah layar yang mulai capek digelayuti bercak-bercak.
“mungkin saja monitormu itu terasa sesak oleh intimidasimu, Nol,” gumamku dalam hati.
Melihat tingkah monitor yang semakin merajuk itu, ditambah layar tiba-tiba gelap tak bersebab dan akhirnya mati padam.
“Ha, ngapo pulo kao ni monitor, cari gara-gara nian.. ha, kenapa monitor tiba-tiba seperti ini..”
“Cak mano dengan se..se…bagaimana dengan se..se..” seakan huruf tak sampai ke ujung rongga.
Renol mulai mengusik ketenangan most yang mematung di ujung tangan kanannya. Most kecil tak berdosa itu akhirnya menampung imbas atas kekesalan Renol yang tak jelas jeluntrungnya.
“kalau darah lagi naik, apapun bisa menjadi sasaran, “ celotehku lirih.
Aku hanya mengulum senyum melihat tingkah anehnya. Kutatap lekat-lekat muka merah membara semerah kobaran api, lalu kuberanikan diri bertanya kesekian kalinya.
“Ado yang pacak aku bantu, Nol? Ada yang bisa aku bantu, Nol,” tawarku.
“Apo dio kau bilang! Ndak jingok apo monitor aku merajok mak itu, mening palak bae kao ni… apa kamu bilang! Kamu nggak lihat apa monitorku error melulu, bikin tambah pusing aja kamu ni.”
“Sory deh sory, katek niat apo-apo kok. Sory banget deh, nggak ada niatan apa-apa kok.”
Aku ikut lunglai melihat sikap Renol yang membatu. Padahal, rencananya aku mau meminjam komputernya buat ngejar tugas baruku. hehe
“Wah, gimana ya…bara api masih tampak di muka Renol. Masak aku mau menambahnya lebih memerah lagi. Bisa-bisa ucapan berbisa lepas kendali dari lisan pisaunya.”
Yang ada di benakku adalah bagaimana caranya agar malam ini bisa menyelesaikan target tulisan baruku, tapi nyatanya aku harus memadamkan kobaran api di jiwa Renol.
Tidak hanya sekali ini, kejadian membara serupa terjadi di mata Renol hanya gara-gara dia lupa meletakkan kunci kost, dia membentak-bentak kesetanan, sumpah serapah ke sana-sini. Padahal dia lupa kalau kunci itu dia letakkan sendiri di atas rak buku. Karena gegabah dan egonya meluap hingga menjadi masalah bertubi-tubi.
Renol tampak menunduk di atas kursi manjanya, nggak tahu karena kelelahan atau berusaha mereda emosinya. Dalam posisi itu aku tak menata sepatah kata pun untuk menyapanya. Lagian benakku terus dikejar grafik tulisan yang harus kukumpulkan esok hari.
“gawat ni kalau nggak selesai malam ini, masak aku nggak ngumpul tugas sendiri? Kan jadi malu..”
Aku lihat jam menunjukkan pukul delapan malam, sedang aku sedari sore tadi di kost Renol, tapi nggak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada malah menampung cipratan api dari Renol. Tapi nggak apa-apa, minimal kali ini aku akan berusaha memadampak api di jiwa Renol. Tapi bagaimana caranya?.
“Renol, Renol, kao denger suaraku apo idak?! Renol, apa kamu dengar suaraku?”
“Ngapo nian, nak nambah panas bae apo..memang kenapa, mau nambah bara lagi di jiwaku?”
“Bukan mak itu, Nol.. kau tu kan la tau apo dio faidah marah, emosi macem itu… bukan begitu,Nol.. kamu kan tahu sebesar apa faidah marah dan emosi itu!”
“Katek gunonyo kan kau marahi monitor yang ndak pacak ngomong itu?!. Nggak ada gunanya kali kamu omelin monitormu yang bisu itu..?!”
“Terus, apo dio kendak kao?. Terus apa yang kamu mau,? Tanyanya ketus.”
“ Panji sarankan, pergilah dulu kao tu ke kamar mandi, ambeklah wudhu. Basuh bener-bener muka apimu itu.. Panji hanya berpesan, coba kamu ambil wudhu dulu, basuh muka baik-baik agar amarah sirna!.”
Obrolan terputus dan Renol hanya terdiam. Tak lama kemudian, Renol mulai menggeser kursi dari posisinnya dan beranjak ke kamar mandi.
“memang, api itu harus dilawan dengan air agar padam,” bisikku dalam hati.
Monitor tampak lelah akibat ego Renol yang hanya beberapa saat. Mungkin wajar kalau Renol naik pitam, karena sedari pagi dia mengetik dengan teliti, huruf demi huruf, kata demi kata hingga menjadi lembaran-lembaran. Namun, Renol ceroboh tulisannya lupa tidak disave sehingga rahib dari monitor.
“Aku pun menyadari sikapmu, Nol. Tapi tidak seharusnya sikap itu berterusan.”
“Panji, apo dio kendak kao ke sanjo sini? Panji sebenarnya ada gerangan apa kamu ke sini?”
Bayangkan hanya gara-gara emosinya, dia tidak sempat bertanya padaku di awal aku datang.
“Idak, pingen silaturamih bae. Nggak, ingin silaturahim aja.”
“Cak mano, Nol. La reda apo bara kau tu..Gimana, dah mulai reda marah kamu, Nol?”
“Mudah-mudahan bae mak itu.. Mudah-mudahan seperti itu.”
“Alhamdulilah..tak do gunonyo kan kao marah-marah mak itu.. Alhamdulillah.. nggak ada gunanya kan kamu marah-marah seperti itu, Nol.”
“Mudah-Mudahan setelah reda agek kao pacak nulis lebih jernhi.. Mudah-mudahan setelah reda nanti, kamu bisa menulis sekripsimu dengan lebih jernih”
“Insya Allah..Terima kasih, Panji.”
Setelah melihat udara segar menyemai jiwa Renol, dan senyuman mulai mengembang, tak kalah lagi wajah sumringahnya menghapus jejak bara yang sempat membakar ubunnya, aku pun akhirnya berpamit diri untuk membereskan target tulisanku buat esok hari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun