Mohon tunggu...
Fakhrudin Hanif
Fakhrudin Hanif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pembelajar. Founder sekaligus Writer di wartapemuda.site

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Citayam Fashion Week dan Upaya Persaingan Eksistensi Kelompok

1 Agustus 2022   09:55 Diperbarui: 1 Agustus 2022   10:08 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam minggu-minggu terakhir ini, Citayam Fashion Week (CFW) ramai diperbincangkan oleh warganet, baik di dunia maya dan masyarakat luas. Dilansir dari Kompas.com, CFW adalah sebuah aksi peragaan busana yang biasanya diperagakan di sebuah zebra cross yang terdapat di Kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat. Layaknya gelaran Paris Fashion Week di Prancis, para 'model dadakan' ini berkontestasi dengan berlenggak-lenggok mengenakan fesyen atau busana khasnya sembari menyebrangi jalan melalui zebra cross.

Bila Paris Fashion Week dimeriahkan oleh para model profesional dari berbagai daerah dan negara, Citayam Fashion Week hanya diramaikan oleh para 'model' amatir yang rata-rata merupakan Anak Baru Gede (ABG) yang berasal dari Citayam, Depok, Bojonggede dan daerah pinggiran Jakarta lainnya

Adapun awal mula dari adanya CFW ini sebetulnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan Citayam-- sebuah desa yang terletak di Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Justru booming-nya CFW ini dikarenakan oleh beredarnya video-video wawancara yang masif di media sosial.

Video-video wawancara tersebut menampilkan narasumber-narasumber yang merupakan para ABG yang masih polos dan juga mempertontonkan jawaban-jawaban yang mengundang gelak tawa dari mereka. Selain itu, menariknya, para ABG yang diwawancara tersebut kerap mengenakan busana yang khas dan terkesan nyentrik. Nah, dari video-video wawancara yang viral tersebut, muncul nama-nama seperti Bonge, Roy, Jeje Slebew, Kurma, Alpin dan lainnya. Mereka ini merupakan para 'seleb dadakan' yang semuanya berasal dari daerah pinggiran Jakarta. Jeje dkk ini bisa dibilang sebagai daya tarik atau 'magnet' yang menjadi pusat perhatian khalayak publik sehingga mereka penasaran dan akhirnya ikut berbondong-bondong meramaikan CFW ini.

Viralnya CFW ini agaknya dapat menjadi ladang cuan, terkhusus bagi mereka para kreator konten yang mencari pundi-pundi rupiah melalui media sosial. Yang semula hanya ramai dengan para ABG dari pinggiran Jakarta saja kini jadi lautan manusia yang haus akan panggung kontestasi tersebut. Tak sedikit para content creator-- yang kebanyakan berasal dari kalangan atas memanfaatkan momentum ini untuk membuat konten di kawasan tersebut. Mulai dari selebriti, YouTuber, Tiktoker hingga pejabat pun turut andil dalam pembuatan konten di sana.

Yang lebih mengejutkannya lagi, tak hanya sekadar membuat konten. Namun, ada sebagian dari kalangan atas tersebut yang berupaya 'memonetisasi' gelaran CFW ini. Dilansir dari banyak sumber, Wong Tiger Entertainment, perusahaan milik pasutri artis nasional bernama Baim Wong dan Paula Verhoven, mendaftarkan brand Citayam Fashion Week ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementrian Hukum dan HAM sebagai kekayaan intelektual. Brand tersebut didaftarkan sebagai hak barang jasa hiburan dalam sifat peragaan busana. Dengan begitu, perusahaan Wong Tiger Entertainment tersebut berhak memproduksi konten di bidang mode peragaan busana, gelaran pameran budaya dan panggung hiburan. Namun, akhirnya pendaftaran tersebut dibatalkan oleh pria yang kerap disapa Bapau tersebut karena menuai banyak kritikan dan hujatan dari para warganet.

Terkait dari fenomena ini, sosiolog dari Universitas Indonesia, Hari Nugroho memberikan pandangannya yang sangat relevan dengan fenomena 'kapitalisasi' CFW ini. Dilansir dari Kompas.com, Hari mengatakan bahwa arena ini potensial, hanya akan diambil alih oleh mereka yang punya power and resources lebih besar. Sosiolog UI tersebut berpendapat bahwa kondisi tersebut menyebabkan anak-anak remaja SCBD tersebut akan tersingkir atau setidaknya hanya menjadi penopang, bukan lagi subjek utama.

Saya pun berpandangan bahwa eksistensi anak-anak remaja SCBD tersebut tidak akan bertahan lama. Sebab, menurut saya, yang memiliki kekuatan dan sumber dayalah yang akhirnya akan mendapatkan hak dan tempat istimewa dari sebuah hal-- CFW ini misalnya. Terlebih lagi, selain tidak memiliki banyak kekuatan dan sumber daya, mereka yang menginisiasi CFW ini hanyalah anak-anak polos nan lugu yang tidak banyak tahu apa-apa, yang mungkin hanya tahu berlenggak-lenggok saja.

Pada akhirnya, hal tersebut berpotensi memunculkan adanya eksklusi sosial. Merujuk pada Beal & Piron (2005), eksklusi sosial adalah proses dan keadaan yang mencegah individu atau kelompok untuk berperanan sepenuhnya dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kelompok remaja SCBD, yang merupakan subjek utama dari munculnya CFW ini secara tidak langsung eksistensinya terancam dan berpotensi tersingkir oleh adanya keikutsertaan kalangan well-privileged dalam tren CFW ini. 

Mereka para kelompok elit tersebut secara perlahan mencegah atau menyingkirkan kelompok remaja SCBD (yang notabene berasal dari kelompok kalangan bawah) untuk eksis atau menongkrong di kawasan elit Sudirman, yaitu dengan ikut meramaikan dengan simbol-simbol fesyennya yang mewah, bahkan dengan upaya 'intervensi' tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun