Mohon tunggu...
Fakhri Wirdiyan Hawari
Fakhri Wirdiyan Hawari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi

Saya adalah mahasiswa aktif di Universitas Siliwangi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Sejarah. Saya memiliki ketertarikan terhadap sejarah, gaya hidup, pop culture, dan berkelana. Saya juga sangat tertarik untuk mendapatkan wawasan baru dan memiliki lebih banyak pengalaman yang berkaitan dengan hidup saya. Dengan memiliki ketertarikan terhadap Sejarah, saya selalu menuliskan kembali apa yang saya baca dan pelajari terhadap sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dulu Membebaskan, Kini Terabaikan: Literasi pada Masa Politik Etis dan Masa Kini

5 Desember 2024   16:20 Diperbarui: 5 Desember 2024   16:26 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaum Terpelajar pada Masa Politik Etis/Sumber: https://images.app.goo.gl/hfDwG8UcevvPeiBy5 

Pada tahun 1901, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik etis atau biasa disebut politik balas budi sebagai respon dari tanggung jawab moral pemerintahan kolonial terhadap rakyat pribumi. Kebijakan ini merupakan gagasan dari Van Deventeer yang mengkritik sistem tanam paksa yang sebelumnya diberlakukan di Hindia Belanda. Kebijakan politik etis menghendaki perbaikan kondisi kehidupan bumiputera dengan bertujuan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat kolonial Hindia Belanda yang telah lama dieksploitasi oleh pemerintah kolonial.

Politik etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial siap memegang tangging jawab moral bagi kesejahteraan pribumi dengan mengedapankan perbaikan irigasi, Pendidikan dan emigrasi. Salah satu pilar utama kebijakan ini adalah pendidikan, yang secara langsung berdampak pada peningkatan literasi di kalangan bumiputera. Namun, jejak sejarah ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kuat karya sastra, seperti novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang membahas tentang feodalisme pemerintah kolonial dan pemerintah lokal dan ekploitasi tanah Hindia Belanda dengan sistem tanam paksa. Buku ini menjadi salah satu elemen penting yang mendorong perubahan persepsi tentang ketidakadilan kolonial dan memberikan landasan moral bagi munculnya Politik Etis.

Dengan adanya kebijakan politik etis, kaum bumiputera memilki akses yang lebih baik terhadap Pendidikan terutama pada kaum pemuda. Mereka mulai membaca menulis hinggga memiliki gagasan-gagasan kritis. secara otomatis, tingkat literasi kaum bumiputera semakin meningkat. Literasi adalah kemampuan untuk mengamati, membaca, menulis dan mengolah informasi untuk menyelesaikan sebuah masalah. Para pemuda yang berpendidikan ketika itu disebut kaum terpelajar. dengan meningkatnya literasi pada  kaum terpelajar bumiputera ketika itu menjadikan kaum terpelajar memiliki pemikiran kritis sehingga mereka sadar atas kondisi pada masa kolonial yang dimana rakyat pribumi sedang dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda.

Atas kesadaran tersebut, kaum terpelajar membentuk organisasi yang menghimpun rakyat pribumi baik dari kalangan atas dan kalangan bawah dengan tujuan membentuk nasionalisme, bahkan menghendaki akan kemerdekaan bangsa. Contoh organisasi tersebut adalah Sarekat Dagang Islam yang bertransformasi menjadi Sarekat Islam (1905), Budi Oetomo (1908), Indische Partij (1912) dan lain sebagainya. Selain daripada membentuk organisasi, kaum terpelajar mulai menulis mengenai kondisi ketika masa penjajahan sehingga menjadi media massa sebagai bentuk perlawanan dan propaganda terhadap pemerintah kolonial seperti surat kabar Bintang Hindia, Darmo Kondo yang dikelola oleh Boedi Oetomo, Fadjar Asia yang dikelola oleh Partai Sarekat Islam, dan lain-lain.

Seiring berjalannya waktu, kaum terpelajar ketika itu semakin gencar dalam mempropagandakan  perlawanan dan bersatu dengan warga pribumi lainnya untuk melawan terhadap penjajahan yang mengakibatkan ketertindasan warga pribumi dan menambah kebodohan hingga pada puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat pribumi menggapai kemerdekaannya dari penjajahan berkat buah pemikiran kritis terhadap kesadaran kondisi bangsanya yang dipelopori oleh kaum terpelajar seperti, Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.

Pencapaian tersebut bisa digapai dengan menjadikan literasi sebagai fondasi untuk mengembangkan pemikiran serta meningkatkan kemampuan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dalam konteks pembahasan ini adalah kondisi yang tertindas ketika itu. Dengan literasi, masyarakat  pribumi dapat membuahkan suatu pemikiran dan pemahaman  akan keadaan individu dan sosial sehingga mereka dapat menyalurkan pemikiran mereka dengan menghasilkan karya dan melakukan pergerakan yang masif sehingga berpengaruh terhadap kemajuan bangsa dan negara.

Pada masa kini, kesadaran akan berliterasi masih sangat relevan untuk membangun masa depan yang cerah untuk bangsa dan negara. Jika ditinjau dari para pejuang kemerdekaan pada masa lalu yang berhasil menggapai pencapaian besar yaitu kemerdekaan bangsa, diawali dengan peningkatan literasi pada sumber daya manusia dalam membangun suatu peradaban yang maju dan beradab. Kebijakan politik etis yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda memiliki pengaruh yang cukup besar dalam peningkatan literasi Masyarakat Nusantara.

Namun, pada saat ini, kesadaran akan literasi di Negara Indonesia sangat disayangkan karena Masyarakat Indonesia masih memiliki tingkat literasi yang rendah, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kondisi kemampuan literasi siswa Indonesia berdasarkan riset yang dilakukan UNESCO pada 2022 menyatakan bahwa minat membaca di Indonesia masih berada pada peringkat ke-60 dari 70 negara. Posisi ini menyatakan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia semakin rendah. Hal tersebut sudah dibuktikan melalui berbagai survei internasional.

Berdasarkan data tersebut, kita bisa melihat ketimpangan akan kesadaran literasi pada masa lalu saat zaman politik etis dengan masa kini yang tengah berada di dalam era digital. Padahal, jika melihat kondisi pada saat ini, masih banyak kebobrokan, kebodohan, bahkan ketertindasan yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti bobroknya pemerintahan, sistem Pendidikan yang tidak efektif, bahkan bisa jadi karena masyarakatnya sendiri yang masih bobrok dalam artian sumber daya manusia (SDM) rendah.

Sebagai contoh, permasalahan yang ada di Indonesia baru-baru ini, masih banyak siswa SMA di Indonesia belum bisa baca tulis. Berdasarkan konten YouTube dari Ferry Irwandy :  Ternyata permasalahan tersebut timbul karena berbagai faktor, seperti sistem Pendidikan yang tidak efektif yang menyebabkan tingkat literasi pada siswa di Indonesia menjadi rendah.

Seperti yang terjadi pada masa Politik Etis, literasi menjadi kunci kesadaran kritis yang mendorong perubahan sosial. Di masa kini, literasi memiliki peran yang sama pentingnya, tetapi tantangannya berbeda. Dengan reformasi pendidikan, kampanye literasi, pemanfaatan teknologi, dan pendekatan berbasis komunitas, Indonesia dapat mengatasi permasalahan rendahnya literasi dan memanfaatkan potensi sumber daya manusianya untuk membangun bangsa yang lebih maju, adil, dan berdaya saing global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun